Nasional

Tak Cukup Akui Kemerdekaan, Belanda Harus Ganti Rugi Kerusakan di Indonesia

Ahad, 18 Juni 2023 | 10:00 WIB

Tak Cukup Akui Kemerdekaan, Belanda Harus Ganti Rugi Kerusakan di Indonesia

Gerilyawan divisi Siliwangi di Jawa Barat, 26 April 1949. Beberapa berikrar tetap gondrong sampai Belanda pergi. (Foto: Twitter Potret Lawas)

Jakarta, NU Online 
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte baru saja mengakui kemerdekaan Indonesia terjadi pada 17 Agustus 1945 setelah hampir 78 tahun Indonesia merdeka.


Menanggapi hal itu, Dekan Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Ahmad Suaedy menyampaikan bahwa tidak penting pengakuan kemerdekaan dari Belanda.


“Soal kemerdekaan sebenarnya tidak penting diakui atau tidak,” kata Suaedy kepada NU Online pada Ahad (18/6/2023).


Namun, hal yang penting adalah pengakuan Belanda terhadap apa yang telah mereka lakukan kepada bangsa Indonesia, yakni mengeksploitasi dan merusak sumber daya alam, kebudayaan, dan manusianya.


“Terpenting adalah mereka telah mengakui bahwa dulu telah menjajah dan mengeksploitasi sumber alam Indonesia dan kebudayaan bangsa Indonesia,” ujarnya.


Bukan saja mengeksploitasi, Belanda bahkan menindas hingga membunuh bangsa Indonesia, termasuk para kiai dan santri.


“Dulu pernah merusak kebudayaan Indonesia dan mengejar-ngejar bangsa Indonesia, menindas dan membunuh santri membunuh para kiai, membunuh bangsa Indonesia,” tuturnya.


“Itu yang perlu diakui,” lanjut Sekretaris Lembaga Pendidikan Tinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPT PBNU) itu.


Lebih dari itu, Suaedy juga menegaskan bahwa Belanda tidak cukup hanya mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun, mereka harus mengganti kerugian segala kerusakan akibat tindakan eksploitasi dan perusakan yang mereka lakukan pada zaman penjajahan.


“Mereka juga harus memberi ganti rugi terhadap segala kerusakan kebudayaan itu,” tegas Sueady.


Oleh karena itu, lanjut dia, bangsa Belanda harus menuntut pemerintahannya sendiri untuk mengakui tentang eksploitasi, apartheid, diskriminasi, dan penindasan terhadap bangsa Indonesia.


“Dan mereka wajib mengganti kerusakan yang terjadi dalam kebudayaan, agama, alam, dan tradisi,” jelas penulis buku Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka itu.


Belanda, misalnya, memfasilitasi agama-agama dari Eropa untuk menghancurkan local wisdom dari Indonesia dan Nusantara.


“Saya kira, Indonesia harus menghitung kembali terhadap utang yang dimiliki bangsa Belanda dan mereka harus mengembalikan kerusakan kebudayaan di masa lalu,” tegasnya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Musthofa Asrori