Nasional

Tambang Nikel di Raja Ampat Jadi Sorotan: Masyarakatnya Terbelah, Keindahan Alamnya Terancam

NU Online  ·  Kamis, 12 Juni 2025 | 18:00 WIB

Tambang Nikel di Raja Ampat Jadi Sorotan: Masyarakatnya Terbelah, Keindahan Alamnya Terancam

Potret pulau Raja Ampat yang jadi lokasi pertambangan. (Foto: dok. Greenpeace Indonesia)

Jakarta, NU Online

Pegiat literasi di Tanah Papua, Alan Ambrau menceritakan kondisi tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.


Ia mengungkap bahwa meskipun Menteri ESDM Bahlil Lahadalia telah menutup empat dari lima perusahaan tambang di wilayah tersebut, PT Gag Nikel yang dinilainya paling berbahaya tidak ikut ditutup.


Pria yang tinggal di Distrik Kofiau itu melihat bahwa permasalahan tambang yang merusak lingkungan itu telah membuat warga Raja Ampat menjadi terbelah, ada yang pro dan kontra terhadap pertambangan.


Alan menyebut, warga yang pro adalah masyarakat yang bekerja di dalam salah satu perusahaan tambang.


"Kalau secara pribadi saya lihat, untuk masyarakat lokalnya yang mereka menerima perusahaan tambang karena minimnya pekerjaan yang disiapkan pemerintah, terus mereka juga tidak merasakan dampak langsung pariwisata di Raja Ampat," kata lulusan Universitas Papua, Fakultas Peternakan, saat dihubungi NU Online, pada Rabu (11/6/2025) malam.


Sebenarnya, lanjut Alan, masyarakat yang kontra itu tergabung dalam pegiat pariwisata yang merasa terancam akibat limbah tambang yang mayoritas pengelola penginapan lokal.


"Di sekitar Pulau Gag itu ada khusus wisata untuk diving (kegiatan menyelam di bawah air) dan dikhawatirkan akan terkena dampak," katanya.


Alan menyoroti ketimpangan dalam penanganan perizinan tambang. Empat perusahaan tambang lain yang beroperasi yaitu PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham, sedangkan PT Gag tetap beroperasi.


"PT Gag Nikel ini punya ANTAM. Kita tahu toh kalau PT tersebut punya siapa? Pejabat-pejabatnya siapa? Akhirnya empat PT selain itu menjadi korban pencabutan IUP sedangkan PT Gag tidak (dicabut) dan tetap berjalan," katanya.


Alan menegaskan bahwa keindahan Raja Ampat yang dikenal sebagai surga biodiversitas laut dunia terancam atas kegiatan pertambangan. Ia melihat, jika tidak dieksploitasi maka pulau-pulau kecil yang menjadi lokasi tambang yang menjadi daya tarik wisata bisa hilang dalam 10-20 tahun ke depan.


"Saya pribadi minta kepada pemerintah dan juga kabupaten dan provinsi mengevaluasi secara total dan menyeluruh proses evaluasi yang ada di Raja Ampat, karena Raja Ampat sudah menjadi terkenal juga," jelasnya.


"(Saat ini) tidak ada skema yang disiapkan khusus dari teman-teman NGO (non-governmental organization), pemerintah dan lainnya ketika tambang ditutup, pengalihan untuk pekerja tambang ini akan dikemanakan, itu yang menjadi salah satu masalah internal yang terjadi di masyarakat," tambahnya.


Kritik soal tambang di Raja Ampat juga datang Ketua PBNU Mohamad Syafi' Alielha (Savic Ali). Ia menyoroti praktik eksploitasi sumber daya alam (SDA) karena selama ini hanya memperkaya segelintir orang.


Menurutnya, pemerintah harus berpikir mengurangi ketergantungan pada eksploitasi SDA karena dampaknya merusak lingkungan tanpa membawa kesejahteraan nyata bagi rakyat.


"Sudah puluhan tahun kita mengeksploitasi sumber daya alam, lingkungan, hutan dan bumi tapi Indonesia enggak juga menjadi negara kaya. Kita mestinya menaruh energi lebih besar untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) kita," kata Savic kepada NU Online Selasa (10/6/2025).


Terbaru, pemerintah melalui Menteri ESDM Bahlil telah menyetop dan mencabut izin usaha pertambangan (IUP) 4 perusahaan tambang yang berada di pulau-pulau kecil Raja Ampat.


"Jadi sekali lagi, ini adalah arahan Presiden atas keputusan rapat, kami langsung mencabut empat IUP dari lima IUP yang ada di Raja Ampat," ujar Bahlil di Istana Negara, Selasa (10/6/2025).