Nasional

Sekjen PBNU Tanggapi Surat Edaran MUI Jatim yang Larang Ucapkan Salam Semua Agama

Sen, 11 November 2019 | 00:55 WIB

Sekjen PBNU Tanggapi Surat Edaran MUI Jatim yang Larang Ucapkan Salam Semua Agama

Sekjen PBNU A Helmy Faishal Zaini (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online
Beraneka ragam ucapan salam yang sering disampaikan oleh para pemimpin atau tokoh masyarakat adalah bentuk budaya yang dapat memperkuat ukhuwah wathoniyah atau persaudaraan kebangsaan.
 
Sekjen PBNU A Helmy Faishal Zaini mengatakan hal itu menanggapi surat edaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim yang menyatakan bahwa mengucapkan salam semua agama merupakan sesuatu yang bidah, mengandung nilai syubhat, dan patut dihindari oleh umat Islam.
 
"Assalaamu’alaikum, salhom, om swastiastu, nama budaya dan lain sebagainya dalam pandangan saya sudah menjadi budaya untuk memperkuat ukhuwah wathoniyyah (persaudaraan kebangsaan). Sebagai salam kebangsaan yang tentu semua para tokoh atau pemimpin bermaksud untuk mempersatukan, sepanjang yang saya lihat dari berbagai forum tidak ada satu pun yang berniat menistakan, melecehkan, atau menodai," kata Sekjen Helmy Senin (11/11) pagi.
 
Ia mengatakan salam yang dimaksud para pemimpin itu adalah dalam suatu pertemuan yang diyakini terdapat audiens dari berbagai masyarakat dengan latar belakang agama yang berbeda. Adapun salam yang dikhususkan untuk forum-forum agama dengan audiens yang khusus, yang dipakai adalah salam sesuai dengan agama masing-masing. 
 
Namun demikian, bagi kalangan yang menganggap hal itu sebagai persoalan yang melanggar syariat dalam beragama, Sekjen Helmy berharap agar pendapat itu dihargai untuk kemudian tidak saling diperdebatkan, yang justru akan menimbulkan ketegangan. 
 
"Saya justru bersyukur karena bangsa kita adalah bangsa yang toleran. Misalnya banyak istilah dalam Islam seperti alhamdulillah untuk mengucap syukur, bismillah untuk memulai sesuatu, dan lain sebagainya dalam praktiknya banyak juga digunakan oleh saudara-saudara kita yang non-Muslim. Saya melihat peristiwa itu sebagai proses akulturasi budaya," katanya.
 
Sepanjang seluruh yang diucapkan tidak bertentangan dengan niat, lanjut Sekjen Helmy, sepanjang itu pula kalimat yang menyatakan salam kebangsaan tersebut tidak akan mengganggu akidah dan teologi seseorang. "Hal itu sudah menjadi prinsip utama dalam beragama," tegas dia.
 
Sebelumnya MUI Jatim mengeluarkan surat edaran bernomor 110/MUI/JTM/2019. Surat ini ditandatangani Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin.
 
Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchori membenarkan bahwa surat itu memang resmi dikeluarkan oleh pihaknya. Imbauan tersebut merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI di Nusa Tenggara Barat, 11-13 Oktober 2019 lalu.
 
 
Editor: Kendi Setiawan