Nasional KONBES NU 2022

Terjebak di Konbes NU, Gus Mus Nge-prank Gus Yahya

Sab, 21 Mei 2022 | 08:00 WIB

Terjebak di Konbes NU, Gus Mus Nge-prank Gus Yahya

KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) saat didaulat berbicara di arena Konbes PBNU di Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Menyimak ceramah KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang popular disapa Gus Mus, sungguh cair dan begitu mengalir. Sesekali, celetukan humor penasihat atau Mustasyar PBNU itu bikin hadirin meledak tawanya. Apalagi saat Gus Mus ‘nge-prank’ Gus Yahya, Ketum PBNU, yang notabene keponakannya sendiri. 


Itu terjadi di pembukaan Konferensi Besar (Konbes) NU di Hotel Yuan Garden Jakarta, Jumat (20/02/2022) malam. Sebuah forum yang diikuti pengurus PBNU, badan otonom, lembaga NU dan PWNU se-Indonesia.


Sejak kehadirannya di ruang pembukaan, Gus Mus memang sudah menarik perhatian. Banyak tamu yang menyalaminya. Sorot kamera juga selalu ditembakkan kepadanya. Maklum, ia memang dikenal luas karena karya dan sepak terjangnya. Sebut saja misalnya, selain mengaji dan ceramah, ia juga menulis puisi, cerpen dan esai. Juga menjadi 'penengah' ketika terjadi polemik di Muktamar ke-33 NU di Jombang, 2015 silam.


Malam itu Gus Mus memakai pakaian serba putih. Di penghujung acara, ia dipanggil MC untuk menyampaikan mauidhah hasanah, sebuah sesi yang tak tercatat dalam agenda resmi Konbes. Tak ingin mengecewakan panitia, Gus Mus pun maju menuju podium.


Mengawali ceramah, Gus Mus langsung menembak panitia. “Ini NU yang asli dan kuno, menjebak orang datang dan disuruh mau’idhah,” ujarnya disambut tawa. “Ini belum peradaban dunia. Untungnya saya orang NU. Orang NU itu paling mudah dijebak-jebak,” imbuh Gus Mus mencairkan suasana.


Ia menambahkan kelakar mengenai perbedaan NU dengan yang lain. “Kalau orang lain muballighnya enggak datang, jadi libur, enggak jadi pengajian. Tapi kalau NU, muballigh enggak datang, siapa saja bisa naik,” seloroh Gus Mus.


Karena sudah diberi kesempatan di podium, sahabat karib Gus Dur itu pun memanfaatkan untuk kepentingan dirinya sendiri terlebih dahulu. Ia mengucapkan Selamat Idul Fitri dan mendoakan para pengkhidmah NU. Gus Mus meminta maaf atas kesalahannya, terutama karena ia sering menggeneralisasi kesalahan sebagian orang dengan mengatakan secara lebih umum.


Sebaliknya, penulis buku Lukisan Kaligrafi itu pun juga sudah memaafkan apabila ada orang berbuat salah kepadanya. “Saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri: orang yang menyalahi saya, akan saya maafkan sejak dia menyalahi saya,” kata Gus Mus.


Dalam kesempatan itu, pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien, Leteh, Rembang juga kembali mengungkap ujaran lamanya. Ia mengibaratkan NU seperti ‘pisau cukur’ yang tajam, tetapi hanya digunakan untuk mengiris bawang.


“Jadi, sayang pisau penyukurnya. Tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki Nahdlatul Ulama, dengan apa yang dilakukan oleh NU,” imbuh ungkap Gus Mus.


Oleh karena itu, setiap ada pengerahan tenaga untuk kepentingan khidmah warga NU, Indonesia dan dunia, ia mengaku selalu berdoa kepada Allah agar mereka diberikan kekuatan oleh Allah, lahir dan batin.


“Mudah-mudahan mereka dijauhkan dari cobaan-cobaan yang mengganggu, dari khidmah mereka kepada NU. Mudah-mudahan Allah Ta’ala selalu mengilhami mereka dengan pikiran-pikiran kreatif yang dapat menumbuhkan kebaikan yang bertambah-tambah bagi kepentingan warga Nahdlatul Ulama, warga Indonesia, warga dunia,” doanya.


Bertemu tokoh Wahabi
Gus Mus lalu bercerita saat dirinya dulu bertemu dengan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, tokoh Wahabi dan pimpinan Darul Ifta di Saudi Arabia. Waktu itu ia belum masuk jajaran pengurus PBNU. Ia diajak karena ketika bermain ke PBNU, diketahui tulisannya bagus. Lalu disuruh menulis surat-menyurat kepada Darul Ifta’. Berkah tulisan bagus itu, Gus Mus diajak ke Saudi Arabia.


Supaya tidak menyulitkan Kiai Sahal dan Gus Dur dalam memperkenalkan, Gus Mus disebut sebagai juru bicara. “Padahal mereka semua, bisa bicara semua itu dan lebih fasih dari saya,” kata Gus Mus disambut tawa hadirin.


Gus Mus mengisahkan, Bin Baz setiap jumat menerima tamu dari berbagai negara, setelah mengaji tafsir. “Kita yang diundang, itu enggak diajak ngomong sendiri. Saya sudah suudzan pada waktu itu: wah, payah ini kalau PBNU, organisasi besar, enggak dikasih kesempatan,” gerutu Gus Mus dalam hati.


Ternyata setelah pamitan semua, dan Bin Baz sudah masuk ke dalam tempat istirahatnya, ada asisten yang datang. “Dari PBNU, Indonesia, dimohon untuk datang ke ruang istirahat,” kata asisten.


“Di ruang kecil itu, ada Bin Baz, Kiai Sahal, Gus Dur, dr Fahmi Saifuddin, Abdullah Syarwani, dan juru bicaranya,” kata Gus Mus, menyebut dirinya. “Pertanyaan Bin Baz: Anda punya anggota berapa, organisasi NU?” kata Gus Mus, menirukan.


Hadirin di situ diam semua. Karena Gus Mus sudah diangkat sebagai juru bicara, dialah yang menjawab. “Khamsin milyun, ya Syeikh (50 juta, Syekh),” kata sang juru bicara, yang mengaku berspekulasi saat itu. Bin Baz pun bangkit dari tidurannya, sambil berkata: “Khamsin milyun?”


Melihat Bin Baz terkejut, Gus Mus pun senang dan menambahi “Bal yumkin aktsar min dzalik, ya syeikh. (Bahkan mungkin lebih banyak dari itu, syekh)” imbuhnya.


Masyaallah, tabaarakallah,” jawab Bin Baz, terkagum-kagum.


Pada waktu itu, menurut Gus Mus, tahun 1989 penduduk Saudi Arabia masih sekitar 18 juta. Jadi wajar jika kaget mendengar jawaban 50 juta. “Ternyata menurut sensus, (warga NU) 80 juta pada waktu itu,” terangnya, ketika tahu data di kemudian hari.


“Itu dananya dari mana,” tanya Bin Baz lagi. Gus Mus pun tak bisa menjawab. “Meskipun juru bicara, saya diam saja,” terangnya, diikuti tawa seisi forum Konbes. “Itu bukan wewenang saya. Masa saya bilang: iuran,” celetuk Gus Mus disambut tepuk tangan. Karena mereka itu, sambungnya, sampai yang adzan pun dibayar. “Ini NU 50 juta, siapa yang membiayai.”


Lalu Gus Mus pun teringat NU dulu, di mana ketua NU dipilih yang banyak duitnya, supaya kalau rapat-rapat yang memberi hidangan sang ketua. “Kemudian datang KH Mahfudz Shiddiq dan KH Wahid Hasyim. Itu perlu kita kenang sebagai pembaharu Nahdlatul Ulama. Ditertibkan,” katanya mengingatkan. “Kemudian datang masanya Gus Dur. Sekarang ada masanya Yahya,” sambungnya.


Akselerasi khidmah
Sebelumnya, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) melaporkan perkembangan PBNU selama empat bulan terakhir. Di antaranya peremajaan sawit rakyat hingga 80 ribu hektare di seluruh Indonesia. Program ini melibatkan 130 PCNU di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.


Lalu ada program pemberdayaan kampung nelayan di 80 titik se-Indonesia dan pengembangan Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama (BUMNU) dengan target mencapai 250 BUMNU di seluruh Indonesia hingga 2023.


PBNU juga memiliki agenda mencetak 10 ribu santri hingga 2024, bimbingan perkawinan oleh MWCNU se-Indonesia, serta program pelatihan kader yang sistemnya akan diputuskan dalam Konbes NU 2022.


Gus Yahya mengatakan, agenda program itu akan terus bertambah. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penandatanganan nota kesepahaman dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) di bidang teknologi dan informasi.


“Saya kira, tidak berlebihan jika saya katakan bahwa empat bulan yang sudah kita lalui sejak muktamar adalah empat bulan akselerasi khidmah yang belum pernah terjadi di NU sepanjang sejarah. Bekerja dengan irama yang sulit dicari tandingannya,” tandas Gus Yahya.


Melihat tekad sang Ketum baru, Gus Mus pun merasa terpukau. Ia berharap bahwa ini era baru, di mana “pisau cukur” seperti gambaran di atas betul-betul untuk mencukur, bukan hanya untuk mengiris bawang.


“Mudah-mudahan laporan (Gus Yahya) betul-betul itu. Bukan hanya untuk menyenangkan rais aam dan mustasyar saja,” seloroh Gus Mus, nge-prank Gus Yahya. Hadirin pun kembali tertawa.


Lalu, Gus Mus segera mengakui bahwa ia melihat sendiri banyak pengurus NU yang mengerahkan tenaga yang luar biasa. “Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberikan kekuatan lahir dan batin,” imbuhnya.


“Kalau Anda membaca Qanun Asasi dari Hadratussyekh Hasyim Asy’ari saja, enggak usah yang lain, Anda akan mendapat kekuatan yang lebih besar,” tutur pria kelahiran 10 Agustus 1944 itu.


Memungkasi ceramah, Gus Mus bercerita bahwa kiai dulu jarang mengemukakan dalil. Tetapi dari perilakunya sudah mencermikan dalil itu sendiri. “Ini juga tantangan untuk kiai-kiai sekarang: apakah dia bisa jadi dalil apa tidak?” selorohnya yang kembali disambut tawa.


“Sekian, mohon maaf. Kalau lama-lama nanti terlalu sadar sebagai mustasyar,” kata Gus Mus jenaka. “Sekian saja. Kurang lebihnya mohon maaf. Wallahu yuwaffiquna ilaa maa fihi khairul Islam wal Muslimin, wa khairu Nahdlatil Ulama’ wan Nahdliyyin, wa khairu Indonesia wa Indonesiyin. Wa astaghfirullaahal ‘adzim li walakum. Wal ’afwu minkum,” pungkasnya.


Kontributor: Ahmad Naufa KF
Editor: Musthofa Asrori