Nasional

Tes Saja Tidak Cukup, Cegah Covid-19 Tetap Jaga Protokol Kesehatan

Ahad, 10 Januari 2021 | 02:40 WIB

Tes Saja Tidak Cukup, Cegah Covid-19 Tetap Jaga Protokol Kesehatan

Setiap tes Covid-19 memiliki tiga unsur, yakni mutu atas sensitivitasnya, kecepatan pengujiannya, dan biaya tesnya.

Jakarta, NU Online

Virus Covid-19 tidak kasat mata. Penyebarannya yang demikian cepat membuatnya harus diidentifikasi secara cepat pula. Untuk mengetahuinya, orang harus lebih dahulu dites melalui berbagai cara, seperti PCR, TCM, tes cepat (rapid) antigen, hingga tes cepat antibodi.

 

Guru Besar Patologi Klinis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Marzuki Suryaatmadja menjelaskan bahwa setiap tes tersebut memiliki tiga unsur, yakni mutu atas sensitivitasnya, kecepatan pengujiannya, dan biaya tesnya.

 

Hal demikian disampaikannya dalam Webinar Update Covid-19, Seputar Tes dan Vaksinasi Covid-19 yang digelar Yayasan Kesejahteraan Muslimat dan Bidang Kesehatan PP Muslimat NU Nahdlatul Ulama (YKM NU) pada Sabtu (9/1).

 

Masing-masing pihak tentu mengutamakan salah satu di antaranya. Laboratorium, jelasnya, mengutamakan mutu mengenai sentivitasnya dalam mengidentifikasi keberadaan virus tersebut dalam tubuh manusia. Sementara dokter, menurutnya, lebih mengutamakan waktu pengujiannya guna lebih cepat mengambil tindakan atas pasien yang dites.

 

Lain halnya dengan manajemen yang tentu lebih mengutamakan biaya, mana yang lebih hemat di antara beragam cara pengetesan itu.

 

Adapun masyarakat, dr Marzuki tentu menegaskan bahwa mereka lebih menginginkan tes yang murah dan cepat sehingga mutu dikorbankan dalam hal ini.

 

Namun, seluruh cara pengetesan tersebut, perlu diketahui, tidak ada yang 100 persen sensitif. Hal ini memungkinkan adanya ketidaktepatan dalam hasil pengetesan. Dalam tes PCR, misalnya, hasil positif belum pasti orang tersebut betul-betul terkonfirmasi positif terinfeksi virus Covid-19.

 

"Positif bisa jadi positif palsu karena terkontaminasi," katanya.

 

Demikian juga saat hasil negatif, lanjutnya, belum tentu orang tersebut betul-betul tidak terkonfirmasi Covid-19. Ada kemungkinan hasil negatif palsu karena sampel yang diambil kurang baik.

 

Begitupun ketika hasil rapid antibodi menunjukkan hasil reaktif, belum tentu orang tersebut dinyatakan positif. Sebaliknya, jika hasil rapid non-reaktif juga tidak berarti orang itu negatif dari Covid-19. Ada kemungkinan non-reaktif palsu karena virusnya masih baru sehingga belum membelah diri sehingga tidak terdeteksi atau orang tersebut tidak bisa membentuk antibodi, seperti pasien kanker.

 

Tes rapid antibodi, menurutnya, merupakan cara tes yang paling rendah sensitivitasnya. Karenanya, tes rapid antibodi bukan digunakan untuk diagnosis. “Dulu dipakai karena PCR belum banyak,” katanya.

 

Hal senada disampaikan dr Tompi dalam Podcast #Closethedoor Corbuzier pada Selasa (5/1). “Tidak ada yang 100 persen sensitif tes,” katanya.

 

Tak sedikit di antaranya yang negatif palsu. Hal itu mengingat tidak ada tes yang 100 persen tepat.

 

Meskipun demikian, Tompi menegaskan bahwa semua tes yang sejauh ini yang dipakai memiliki makna. "Kalau dia positif, kemungkinan besar benar. Apalagi disertai dengan gejala," ujarnya.

 

Ia mengingatkan bahwa jika hasil tes menunjukkan negatif, orang tidak boleh senang dulu. Sebab, ada kemungkinan negatif palsu yang sebetulnya dia terkonfirmasi positif Covid-19.

 

Oleh karena itu, dengan hasil tes yang negatif, orang tetap harus menjaga diri dengan mengenakan masker. Khawatirnya, jika dia ternyata positif, orang lain bakal terkena dampaknya.

 

Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan