Nasional

Tradisi Makan Bersama saat Idul Fitri di Sejumlah Daerah

Ahad, 1 Mei 2022 | 09:00 WIB

Tradisi Makan Bersama saat Idul Fitri di Sejumlah Daerah

Ilustrasi makan bersama. (Foto: Shutterstock)

Jakarta, NU Online

Hari raya Idul fitri menjadi momen yang selalu dinantikan oleh umat Muslim setiap tahunnya. Berbagai daerah di Indonesia memiliki tradisi untuk merayakan hari kemenangan setelah sebulan berpuasa Ramadhan. Saat hari raya Idul fitri tiba, ada tradisi yang masih tetap terjaga, yaitu makan bersama. 


Makan bersama menjadi salah satu cara untuk bersilaturahim antara sanak keluarga maupun tetangga sekitar. Berikut tradisi makan bersama di berbagai daerah yang masih terjaga hingga saat ini yang berhasil dirangkum NU Online:


Pertama, Makmeugang di Aceh. Makmeugang atau meugang merupakan tradisi memasak dan makan bersama saat lebaran yang ada di Aceh. Dilansir dari laman bandaacehkota.go.id, tradisi ini telah muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh yaitu sekitar abad ke-14 M.  Ali Hasjimy menyebutkan bahwa tradisi ini sudah dimulai sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam.


Tradisi ini merupakan tradisi turun temurun, biasanya warga sekitar kampung berkumpul di masjid untuk memasak daging dan makan bersama-sama. Daging tersebut biasanya diolah menjadi beragam masakan khas Aceh seperti sup daging, daging rebus, rendang, dan kari putih. Daging tersebut nantinya akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Selain saat Idul fitri, tradisi ini juga dilakukan saat perayaan idul adha.


Kedua, Bedulang di Bangka. Di Bangka, tradisi makan bersama setelah silaturahmi dan bermaaf-maafan disebut dengan Bedulang. Bedulang dilakukan setiap tahunnya setelah warga selesai melaksanakan salat id. Warga akan menikmati makanan khas Bangka yang disajikan menggunakan tudung saji, antara lain tumis rebung, tumis keladi, lalapan, lempah kuning ikan kakap, ikan jebung bakar, lempah kulat pelawan dan sambal belacan.


Makan bersama ini tidak diperbolehkan memakai sendok atau garpu, namun harus menggunakan tangan. Sebelum makan bersama dimulai, warga diwajibkan mencuci tangan dengan urutan orang yang lebih tua terlebih dahulu, kemudian diikuti yang muda. Begitu pula saat makan, semua mendahulukan orang yang lebih tua.


Ketiga, Saprahan di Pontianak. Dilansir dari laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Makan besaprah, atau biasa disebut dengan Saprahan, di hari raya Idul fitri merupakan salah satu tradisi dari suku Melayu di Pontianak. Tradisi ini diadakan setiap awal bulan Syawal atau hari pertama lebaran. Saprahan berasal dari kata ‘saprah’ yang berarti berhampar.


Masyarakat akan makan bersama sembari duduk lesehan secara berkelompok. Setiap kelompok biasanya terdiri dari enam orang. Berbagai menu makanan lebaran akan dihidangkan di atas kain saprah. Menu makanan yang wajib dihidangkan adalah nasi kebuli, pacri nanas, sayur dalca, semur daging, lengkap dengan minumannya berupa air serbat.


Keempat, Binarundak di Sulawesi Utara. Tradisi ini berasal dari Sulawesi Utara, tepatnya di Motoboi Besar. Binarundak ini diselenggarakan tiga hari setelah hari raya idul fitri. Warga akan memasak nasi khas Sulawesi Utara yang disebut dengan nasi Jaha.


Nasi Jaha dibuat dengan campuran jahe, santan, dan juga beras ketan yang dimasukkan ke dalam batang bambu yang berlapis daun pisang. Bambu tersebut kemudian dibakar dengan serabut kelapa. Tradisi ini dilakukan di sepanjang jalan rumah warga atau di lapangan terbuka. Tradisi ini juga merupakan ajang untuk menjalin tali silaturahmi bagi perantau dengan sahabat lama.


Kelima, Bajamba di Riau. Bajamba dilakukan dengan cara menyantap makanan secara bersama dalam satu wadah besar. Tradisi Bajamba saat lebaran biasa dilakukan di hari ketujuh setelah idul fitri. Biasanya setelah idul fitri, masyarakat akan melakukan puasa sunah selama enam hari terhitung sejak tanggal 2 Syawal. 


Usai puasa sunah ini, masyarakat berkumpul kemudian ziarah ke makam para orang tua dan usai itu berkumpul untuk makan bersama. Kegiatan makan bersama ini dilakukan di surau atau masjid sekitar, dimana seluruh kerabat berkumpul dan makan bersama tokoh adat, alim ulama hingga pejabat. Tanpa memandang kelas sosial, semua kalangan dapat duduk berdampingan sambil menikmati makanan bersama. 


Kontributor: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad