Nasional

Urgensi Tingkatkan Integrasi Nilai Agama dan Kebangsaan di Sekolah 

Kam, 31 Oktober 2019 | 05:30 WIB

Urgensi Tingkatkan Integrasi Nilai Agama dan Kebangsaan di Sekolah 

NU dan Pancasila tidak boleh dibenturkan. (Ilustrasi: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Hasil survei Wahid Foundation terhadap aktivis Rohani Islam (Rohis) pada 2016 menemukan, 86 persen aktivis Rohis di SMA ingin berjihad ke Suriah. Sementara survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap guru-guru PAI mengungkapkan, 78 persen responden setuju jika Pemerintah RI berdasarkan syariat Islam dan 77 persen responden mendukung organisasi yang memperjuangkan syariat Islam.
 
Gerakan jihad kekerasan dan berdirinya negara Islam di kalangan dunia pendidikan selalu memiliki motif sama, yakni berupaya membenturkan agama dengan nilai-nilai kebangsaan, seolah keduanya bertentangan satu sama lain. 
 
Padahal kedua nilai tersebut tidak bertentangan. Bahkan, saling melengkapi. Hubungan antara keduanya telah ‘selesai’ sebagaimana tertuang dalam “Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”, hasil Munas Alim Ulama NU di Sukorejo, Situbondo, pada 21 Desember 1983 yang bertepatan dengan 16 Rabi’ul Awwal 1404 H.
 
Pasal 1 Deklarasi ini menyebut: “Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama”. Dalam Pasal 4 disebutkan: “Penerima dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.”
 
Terkait upaya pembenturan agama dan kebangsaan semacam itu, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Hamli, menyebutnya sebagai ‘penyesatan’. Untuk menghadapi hal itu, perlu mengintegrasikan nilai agama dan kebangsaan. 
 
“Menjadi sangat penting peran bapak ibu guru agama untuk memberikan pengajaran dan pemahaman agama yang benar, menghadapi berbagai upaya penyesatan oleh kelompok radikal seperti membandingkan Pancasila dengan simbol agama,” ujarnya.
 
Hamli menjelaskan, terorisme bukan ajaran agama. Lebih-lebih Islam yang mengajarkan untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam. Selain itu, faktanya, gerakan teror bisa dilakukan semua penganut agama. Ia memberi contoh teror penyerangan dua buah masjid di Selandia Baru yang menelan 51 korban jiwa dan beberapa gerakan teror di negara lain seperti Norwegia dan Jepang.
 
“Terorisme faktanya menyakiti semua agama. Tetapi bukan agamanya, melainkan orang yang menganut agama itu. Jadi tidak bisa distigmakan pada satu agama,” jelas Hamli.
 
Menurut hasil penelitian Maarif Institute, radikalisme di lingkungan SMA bisa masuk dari beberapa tiga jalur. Pertama, melalui kebijakan sekolah. Kedua, melalui guru yang terpapar radikalisme. Ketiga, melalui alumni.
 
Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Musthofa Asrori