Opini

Teroris itu Ada, Terorisme itu Nyata

Sel, 15 Oktober 2019 | 05:30 WIB

Teroris itu Ada, Terorisme itu Nyata

Sesama teroris beda aliran dan afiliasi. Mereka pecah dan saling kecam. (Ilustrasi: NU Online)

Oleh M Kholid Syeirazi
 
Orang yang bilang amaliah teror itu settingan tidak empati kepada korban, dan juga tidak hormat kepada peneliti dan pekerja kemanusiaan. Adik saya, Syafiq Syeirozi, kerja di NGO. Kerja utamanya menyembuhkan luka batin penyintas. Terapinya, antara lain, mempertemukan dengan pelaku. Kerjaannya tiap hari masuk dari satu penjara ke penjara, menemui napiter, mempertemukannya dengan korban. Setelah penyintas meluapkan amarahnya, ada sesi haru biru ketika pelaku meminta maaf, dan korban memaafkan.
 
Ada juga pelaku yang tidak mau meminta maaf karena menganggap aksinya jihad. Perlu beberapa kali sesi lagi untuk sampai pada adegan pelaku minta maaf. Dari proses ini secara simultan berlangsung deradikalisasi. Pelaku yang masih punya nurani merasa bersalah karena korbannya ternyata tidak berdosa. Mereka harus menanggung derita—cacat fisik dan trauma batin—akibat dari perbuatannya.
 
Napiter itu nyata, berdarah daging, punya ideologi dan keyakinan. Mereka bukan produk rekayasa dan settingan. Kalau pun mau dianggap demikian, mereka adalah produk rekayasa dari ideologi kematian. Dalam konteks Islam, ideologi itu berumur setua sejarah Islam, ada pada diri seorang lelaki pemrotes Nabi bernama Dzul Khuwaisirah At-Tamimi, pada penikam Ali RA bernama Ibn Muljam, pada fatwa Ilyasik Ibn Taimiyah, dan buku-buku jihad Sayyid Qutb, Mawdudi, Abdus Salam Farag, Said Hawwa, Abdullah Azzam, Muhammad al-Maqdisi, Abu Abdullah al-Muhajir, dan para tokoh salafi jihadi lain. Bahwa kemunculan mereka di era modern dipicu oleh faktor lain, misalnya klaim kezaliman dan ketidakadilan atau operasi intelijen, itu bisa saja terjadi. Dulu Dzul Khuwaisirah juga memprotes Nabi atas dasar klaim ketidakadilan. Level-nya Nabi saja diprotes, orang paling mulia yang diangkat oleh Allah, apalagi cuma Presiden Indonesia yang dipilih rakyat.
 
 
Saya ingin mengatakan ada faktor endogen dalam idelogi kematian, tanpa atau dengan adanya faktor eksogen. Jadi, saya tidak setuju dengan pandangan seorang tokoh, mantan pimpinan KPK, yang perspektifnya soal terorisme terus dibayang-bayangi oleh temuan riset disertasinya soal Komando Jihad. Komando Jihad dirancang oleh para veteran NII pada 1974, ditunggangi oleh intelijen negara yang bernama BAKIN, kemudian ditumpas pada 1977. Beliau berkeyakinan, Komando Jihad itu produk dari rekayasa intelijen, dibina untuk untuk mendukung Golkar, dan kemudian dibinasakan setelah nyata menjadi ancaman. Temuan ini masuk akal karena riset lain juga menemukan temuan serupa.
 
Pendekatan Orba terhadap ekstremis Islam adalah pendekatan intelijen, tarik ulur, dikasih umpan terus dimakan. Kesalahannnya, tokoh ini menganggap pendekatan terhadap terorisme saat ini dalam langgam yang sama. Teroris-teroris yang ditumpas Densus 88 adalah rekayasa aparat keamanan untuk menjatuhkan citra buruk terhadap Islam. Dia sama sekali mengabaikan fakta bahwa ada 200 orang Alumni Afghanistan dan ratusan alumni Kamp Hudaibiyah Mindanao yang terlatih. Mereka bukan orang-orang bodoh yang mudah diperalat orang kalau tidak klop dengan keyakinannya. Mereka adalah generasi kedua radikalisme Islam setelah NII. Mereka cakap, terafiliasi dengan al-Qaeda, banyak yang bisa baca kitab sekaligus mampu merakit bom. Produk amaliahnya dahsyat: bom Bali (2002), bom Marriot (2003), bom Kedubes Australia (2004), bom Bali II (2005), dan bom Marriot-Ritz Carlton (2009). Setelah itu mereka ditangkap,banyak yang dieksekusi, ada juga yang taubat dan membantu polisi seperti Nasir Abbas, Abu Tholut, dan Ali Fauzi.
 
Generasi ketiga teroris ini lebih ‘ecek-ecek,’ Banyak sekali yang awam dalam ilmu agama, kemampuan teknisnya juga terbatas. Mereka terafiliasi dengan ISIS. Tokoh sentralnya Aman Abdurrahman, pengagum Muhammad al-Maqdisi, ideolog ISIS. Mereka membentuk JAD. Rekrutmennya acak, banyak via online. Produk amaliahnya ‘ecek-ecek’ seperti bom Thamrin, bom panci Kampung Melayu, rusuh di Mako Brimob, bom bunuh diri di gereja Surabaya, dan terakhir penusukan terhadap Menkopolhukam Wiranto.
 
Sesama teroris beda aliran dan afiliasi. Mereka pecah dan saling kecam. Generasi kedua teroris mencela generasi ketiga teroris, menyebut mereka orang-orang yang tidak paham Islam.
 
Jadi, menurut saya, mengabaikan faktor endogen dan menganggap terorisme sebagai settingan dan rekayasa eksogen, dan karena itu menyampaikan opini dan advokasi terhadap teroris seolah-olah mereka korban dari produk rekayasa intelijen seperti yang terjadi pada Komando Jihad, adalah pandangan keliru dan menyesatkan. Perspektif seperti ini tidak akan bisa membantu mencabut terorisme sampai ke akar-akarnya, yaitu ideologi kematian.
 
 
Penulis adalah Sekretaris Umum PP ISNU
 
 
Baca juga: