Nasional

Yenny Wahid Tegaskan Perempuan Berpotensi Tapaki Jalan Sufisme

Jum, 5 Februari 2021 | 05:05 WIB

Yenny Wahid Tegaskan Perempuan Berpotensi Tapaki Jalan Sufisme

Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid. (Foto: dok. istimewea)

Jakarta, NU Online

Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menegaskan, perempuan adalah makhluk Allah yang berpotensi untuk menapaki jalan sufisme. Sebab pada dasarnya, perempuan merupakan makhluk yang penuh dengan pengabdian. 


Di dalam Islam, pengembaraan manusia untuk menuju Tuhannya tidak dibatasi oleh gender. Semua orang, baik laki-laki maupun perempuan punya kesempatan yang sama untuk menghamba kepada Tuhan. 


Bahkan Yenny menyebut bahwa Al-Quran merupakan kitab suci yang sangat emansipatoris. Di dalamnya kerap disebutkan, laki-laki dan perempuan punya hak yang sama untuk menuju Allah tanpa pembeda sedikit pun. Sebab yang membedakan hanya kadar ketakwaannya saja.


Pernyataan tersebut diungkapkan Yenny dalam webinar bertajuk Spiritualitas dan Gender dalam Tasawuf yang diselenggarakan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Sudan, dalam rangka Harlah ke-95 NU, pada Rabu (3/2) malam.


“Jadi, Islam sungguh mengajarkan soal kesetaraan gender, dan itu banyak di dalam Al-Quran. Misalnya Al-Ahzab ayat 35. Ini adalah ayat yang jelas-jelas menyatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan itu setara,” tegas putri ketiga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.


“Orang-orang yang mau puasa, yang gemar bersedekah, orang yang suka berdzikir, itu semua punya hak sama di mata Allah yaitu akan diberikan ampunan, kepada mereka semua. Dari sini jelas bahwa Al-Quran itu adalah kitab suci emansipatif. Tidak ada pembedaan kalau semua orang ingin melaksanakan segala hal yang bisa membawanya menuju Allah,” sambung Yenny.


Dari pemaknaannya terhadap ayat tersebut, Yenny berkesimpulan bahwa tasawuf sebenarnya memberikan jalan kepada perempuan untuk bisa mendapatkan sebuah momentum aktualisasi diri. Namun aktualisasi diri itu dilakukan dalam semangat ketuhanan.


“(Tasawuf) ini yang saya lihat terutama dari kalangan bu nyai, yang sebetulnya punya karamah dan masyarakat mengakuinya. Masyarakat datang kepada beliau-beliau ini, sowan untuk mendapatkan petunjuk agar bisa tetap berada dalam jalan yang benar,” tutur Yenny.


“Ini artinya bahwa ada ruang yang bisa dieksplorasi dengan lebih kental lagi oleh perempuan dalam bidang keagamaan. Mungkin kalau dalam bidang lainnya, masyarakat kita masih terjebak kepada definisi kodrat yang salah kaprah, seolah-olah perempuan hanya dianggap layak dalam ranah domestik saja. Tetapi tidak boleh berada dalam ranah lebih luas lagi,” lanjutnya.


Salah kaprah soal kodrat perempuan


Menurutnya, pemahaman yang dinilai salah kaprah itu mesti didobrak. Sebagian besar orang telah keliru memahami kodrat. Yenny menjelaskan bahwa kodrat itu adalah biological construct atau konstruksi biologis. 


Konstruksi biologis itu datang langsung dari Allah tanpa rekayasa ciptaan manusia. Terdapat empat hal kodrati yang dimiliki perempuan yakni menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Keempat itulah yang disebut sebagai kodrat perempuan.


Di luar dari hal-hal yang tidak berkaitan dengan keempat itu, tidak bisa disebut sebagai sebuah kodrat karena tidak berdasar pada biologis. Dikatakan Yenny bahwa di luar dari keempat itu disebut sebagai social construct atau konstruksi sosial.


“Ketika sesuatu itu adalah konstruksi sosial, maka bisa dinegosiasikan. Jadi misalnya soal perempuan bekerja, itu adalah konstruksi sosial bukan konstruksi biologis atau kodrat, sehingga boleh dinegosiasikan. Kalau keluarganya setuju perempuan bekerja dan suaminya ikhlas maka tidak ada masalah,” katanya. 


Begitu pula, ujar Yenny, jika perempuan ingin kuliah tinggi hingga ke luar negeri. Hal tersebut tentu saja diperbolehkan karena itu merupakan konstruksi sosial dan tidak ada kaitannya dengan kodrat atau konstruksi biologis.


“Jadi boleh pergi untuk belajar, menuntut ilmu setinggi-tingginya. Begitu pula soal memasak. Boleh tidak lelaki memasak? Sangat boleh, karena ini tidak diatur oleh Allah. Ini yang mengatur manusia sendiri,” tegas perempuan bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh ini.


Ia menyatakan, jika masyarakat masih menganggap segala hal yang bersifat konstruksi sosial dikatakan sebagai kodrat atau konstruksi biologis, maka akan berdampak merugikan kedua belah pihak. Baik laki-laki maupun perempuan. 


“Laki-laki yang punya potensi juru masak yang tangguh misalnya, jadi malu karena ini dianggap sebagai profesi perempuan, kemudian tidak bisa mewujudkan potensinya. Padahal saat ini juru masak terkenal di dunia, gajinya mencapai jutaan dollar. Gordon Ramsay misalnya,” terang Yenny.


Dalam realita kehidupan, Yenny berharap, dapat mengambil contoh dari prinsip tasawuf yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal fungsi sosialnya. Terlebih pada fungsi menuju jalan ketuhanan.


“Semua diperbolehkan dan semua boleh menuju Allah dengan caranya masing-masing. Baik laki-laki atau perempuan,” tegasnya.


Pada kesempatan webinar ini, hadir pula dua narasumber lain yakni Cendekiawan Muslim Haidar Bagir dan Pakar Tasawuf KH M Luqman Hakim. Masing-masing menyampaikan pandangannya mengenai perempuan dalam konteks tasawuf. 


Haidar Bagir menjelaskan bahwa terdapat banyak teks tasawuf yang ditulis oleh para sufi yang berbeda pandang satu sama lain mengenai posisi perempuan. Terdapat tiga kelompok pandangan para sufi laki-laki tentang perempuan sufi. 


Kelompok sufi pertama seperti Abu Bakar Al-Kalabadzi yang tidak satu pun menyebut ada sufi perempuan dalam bukunya yakni At-Ta’aruf Li Madzhab Ahl At-Tasawuf. Begitu pun Imam Ghazali yang memandang perempuan hanya sebagai pelengkap.


Kemudian ada kelompok sufi kedua yang berpandangan bahwa perempuan bisa saja jadi sufi. Bahkan banyak perempuan-perempuan yang dicatat dalam sejarah sufi. Namun umumnya, perempuan lebih dilihat dari sudut pandang hanya sebagai ‘abidat atau muta’abbidat. Di antara nama-nama sufi dalam kelompok ini adalah Al-Hujwiri, Imam Asy-Sya’roni, dan Abdurrahman Jami.


Sementara kelompok sufi ketiga seperti Syekh Muhyiddin Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi, berpandangan bahwa perempuan benar-benar bisa mencapai tingkatan tertinggi dalam tasawuf. Bukan hanya menyamai, tetapi perempuan bisa melampaui laki-laki.


“Dalam tradisi ini, sufi perempuan bisa mendapat gelar Rijalullah,” jelas Haidar. 


Sementara itu, KH M Luqman Hakim menyatakan bahwa di dalam tradisi tasawuf tidak ada pembeda antara laki-laki dan perempuan. Karena yang ditekankan dalam tasawuf adalah soal bagaimana menjalankan kehambaan dan menegakkan hak-hak Allah.


“Jadi ada dua hal yang diburu para sufi, yakni menjadi hamba Allah yang benar dan menegakkan hak-hak ketuhanan. Jadi Allah itu punya sejumlah predikat yang tak terbatas. Nah kehambaan kita yang menegakkan ketuhanannya,” papar Kiai Luqman.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad