Obituari

Kisah Diplomasi Cancut Taliwondo dari KH Dimyati Rois

Sab, 11 Juni 2022 | 15:30 WIB

Kisah Diplomasi Cancut Taliwondo dari KH Dimyati Rois

Almaghfurlah KH Dimyati Rois. (Foto: Alif.id)

Saat itu, kami semua tertegun atas berbagai kisah dan sejarah yang disampaikan oleh mbah Dim. Bukan saja karena kisahnya yg menarik, tapi juga karena banyaknya data-data sejarah yang selama tersembunyi, dipinggirkan atau lepas dari perhatian para penulis sejarah. Gairah kami untuk menggali data-data sejarah kian membara, meski kami yakin keikhlasan para ulama terdahulu tidak memerlukan jasanya ditulis dalam sejarah. Tapi kami, sebagai menerus jejak mereka memerlukan cacatan sejarah ini, selain untuk mengobarkan semangat dan referensi hidup juga untuk meniti jejak agar kami tidak salah arah dalam melangkah.


Jika melihat dan memahami sejarah para ulama NU, sebenarnya warga NU punya jalan dan pijakan sendiri yang jelas dan tegas dalam bermain politik. Para Ulama NU telah memberikan petunjuk praktis operasional politik Islam dalam konteks Indonesia. Salah satunya bisa kita lihat pada sosok KH Wahab Chabullah. Dalam hal ini Mbah Dim menyatakan: "awwalu man ya'rifu al-siyaasata al-ma'ashirati fi Indonesia sawaaun kaana qabla al-intiqaabi au ba'da al-intiqaabi huwa Abdul Wahab Chasbullah (orang pertama yg memahami politik modern di Indonesia baik sebelum maupun sesudah pemilihan umum adalah mbah Wahab Chasbullah)" 


Untuk menjelaskan pernyataan ini kemudian Mbah Dim cerita soal peran Kiai Wahab dalam proses perebutan kembali Irian Barat (Papua). Sebagaimana dicatat dalam sejarah, dalam Konferensi Meja Bundara (KMB) yang ditanda tangani tanggal 23 Agustus 1949, disebutkan Belanda mengakui kemerdekaan RI, kecuali Papua Barat yang akan diserahkan dua tahun kemudian. Pernyataan ini dikukuhkan kembali pada saat penyerahan kedaulatan RI pada Desember 1949.


Namun ternyata Belanda ingkar janji. Sampai dengan batas waktu yang dijanjikan Belanda tidak menyerahkan Papua Barat ke NKRI. Bung Karno minta pendapat pada Mbah Wahab mengenai hal ini. Dengan merujuk pada kitab Fathul Qarib Mbah Wahab menjelaskan bahwa Belanda telah ghasab (menyerobot) Papua Barat. Untuk itu, sebagai pemilik sah, Indonesia harus merebut kembali secara baik-baik. 


Atas saran Mbah Wahab inilah kemudian Bung Karno mengutus para pejabat dan diplomat Indonesia untuk melakukan negosiasi dengan Belanda dan lobi ke beberapa negara untuk minta dukungan. Soekarno membawa kasus ini ke PBB, kemudian pada bulan Mei 1956 Bung Karno menemui presiden AS, Eisenhower untuk membahas masalah pengembalian Papua Barat ke NKRI, namun ditanggapi dingin oleh presiden AS.


Upaya merebut kembali Papua Barat ternyata menghadapi banyak rintangan. Dari dalam negeri rintangan datang dari kelompok oposisi yg dimotori oleh PSI dan Masyumi. Sementara itu dari luar negeri muncul kritik dari AS melalui Dubes Jones dan Menlu Foster Dulles. Mereka memutar balik fakta dengan isu bahwa perebutan kembali Papua Barat merupakan ambisi pribadi Soekarno untuk pengalihan isu kemiskinan.


Pendeknya, jalur diplomasi gagal. Belanda tidak mau mengembalikan Papua Barat ke NKRI bahkan melakukan manuver untuk mempertahankan. Atas kejadian ini kemudian bung Karno kembali minta saran kepada Kiai Wahab. Dengan merujuk pada kirab Hasiyah Bajuri yang merupakan syarah (penjelasan) dari kitab Fathul Qarib, Kiai Wahab menyatakan jika orang yg ghasab tidak mau menyerahkan secara baik-baik maka harus diambil secara paksa.

 

Saran mbah Wahab ini kemudian dikenal dengan diplomasi cancut taliwondo yang berisi delapan langkah penyehatan politik dalam negeri. Demikian mbah Dim menceritakan sejarah ini dengan runtut kepada kami. (catatan: kisah ini juga ditulis oleh Abdul Mun'im DZ dalam buku Fragmen Sejarah NU, 2012)


Nasehat mbah Wahab ini langsung dijalankan oleh bung Karno dengan membentuk Tri Kora, mengutus Soebandrio untuk lobi ke Uni Sovyet minta dukungan senjata. Ini dilakukan dalam persiapan konfrontasi fisik merebut Papua Barat. Misi ini berhasil sehingga Indonesia dapat membeli senjata dari Sovyet. Keberhasilan misi ini dilanjutkan dengan langkah memutus hubungan diplomatik dengan pemerintah Belanda pada 1960. Soekarno menyebut perjuangan pada saat itu sebagai "Jalan Revolusi Kita Bagaikan Malaikat Turun Dari Langit"


Langkah-langkah politik Soekarno ini mendapat dukungan penuh dari NU, karena dianggap sebagai realisasi dari pikiran Mbah Wahab Chasbullah selaku Rais Aam PBNU. Ini dibuktikan dengan banyaknya jamaah NU yang mendaftarkan diri menjadi sukarelawan. Atas keberhasilan Bung Karno melakukan mobilisasi massa dan mendapat dukungan senjata dari Sovyet yang dibeli pemerintah RI, sikap negara luar menjadi berubah hingga akhirnya Papua Barat bisa kembali ke pangkuan NKRI pada tahun 1963.


Kisah ini mencerminkan bagaimana para ulama dahulu merealisasikan dan mengaktualisasikan konsep politik Islam sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, yaitu situasi revolusi dan kondisi keindonesiaan. Jelas, yang dilakukan mbah Wahab merupakan ekspresi dari Islam Nusantara yang menyublimasi teks Qur'an dan hadits dalam suatu konstruksi pemikiran politik. Di sini Mbah Wahab tidak langsung merujuk pada teks Qur'an hadits, tetapi merujuk pada kitab-kitab karya ulama sebagai bentuk dari penjabaran dan penafsiran atas ayat-ayat Qur’an dan hadits. 


Kalau dilihat dari rujukan kitab yang dipakai, menunjukkan tafsiran level ke tiga dan ke empat (hashiyah dan sarah, posisinya di bawah kitab-kitab induk yang merupakan tafsiran langsung dari Qur'an dan hadits). Pada level ini sifatnya lebih rinci dan operasional. Dengan kepekaan membaca situasi dan ketajaman pikir, para ulama Nusantara, khususnya NU, menderivasikan teks-klasik dalam realitas kehidupan. Melalui cara ini jiwa nasionalisme dapat diintegrasikan secara kokoh dengan ajaran Islam dan digelorakan dalam spirit perjuangan membela dan menjaga NKRI


Waktu terus berjalan dan tak terasa telah memasuki senja hari. Meski demikian rasanya kami belum ingin beranjak apalagi ketika mbah Dim bercerita seputar berdirinya NU dan peran para ulama khowas serta para ahli riyadlah dalam proses pendirian NU. Namun kami harus meneruskan perjalanan, karena malam itu rombongan harus sampai di Rembang. Akhirnya kami pamit melanjutkan perjalanan setelah menyantap makan sore bersama yang disajikan tuan rumah. Kami pulang dengan perasaan kenyang lahir batin karena mendapat santapan jasmani dan rohani yang tidak saja penuh gizi tapi juga menyegarkan pikiran. 


Kini Mbah Dim telah pergi meninggalkan kita semua. Membawa data-data sejarah yang tersimpan dalam memori. Kami tak dapat lagi menimba dan menggali data-data itu lagi. Kepergian Mbah Dim seperti tertutupnya mata air ilmu dan padamnya obor pengetahuan. Kami bersyukur sempat menciduk air jernih itu meski hanya setetes. Terima kasih mbah Dim, kami akan mencatat dan menyimpan setetes air pengetahuan dari panjenengan. Kami berdoa semoga panjengan damai di sisi-Nya. Lahu Al-Fatihah.


Ngatawi Al-Zastrouw, Budayawan, Dosen Fakultas Islam Nusantara Unusia