Opini

Akselerasi Khidmah NU di Akar Rumput

Sab, 28 Mei 2022 | 18:43 WIB

Akselerasi Khidmah NU di Akar Rumput

Foto: Vivanews. Ilustrasi: Emje

Seperti halnya orang yang sedang jatuh cinta, kehadiran sang kekasih selalu dinantikan. Begitu juga kehadiran NU, jelas selalu dinantikan oleh para pecintanya, jamaahnya. Tidak hanya hadir sesaat, namun diharap selalu membersamai sepanjang waktu.  

 

Pada beberapa kesempatan, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan agar NU melalui organisasi dan pengurusnya bergegas menyingsingkan baju, hadir memberikan pelayanan kepada umat atau jamaahnya. Bahkan Ketum menegaskan perlunya NU hadir memberikan khidmah inklusif, yang berarti pelayanan bagi semua warga, tidak pandang latar belakang sosial, agama maupun kelompoknya, tidak hanya sebatas warga NU saja. 

 

Seruan tersebut perlu kita sambut, karena kiprah nyata NU jelas ditunggu-tunggu oleh anggotanya. Lantas bagaimana caranya mengakselerasi khidmah itu? Apakah pengurus dan organisasi NU perlu membuat program yang macam-macam, dengan anggaran yang besar? 

 

Setiap program membutuhkan biaya untuk menjalankannya. Bahkan seringkali kita mengikuti saja sebuah pola pikir: jika anggaran sudah ada, program baru bisa berjalan. Atau, cari uangnya baru kemudian tentukan program. Nalar yang seperti ini merupakan jebakan yang kerap membuat sebuah perkumpulan tidak bergerak ke mana-mana, atau susah berjalan maju.

 

Lalu, program yang seperti apa, seberapa besar jangkauannya, apa dampaknya, siapa yang bisa diajak bekerja sama; pertanyaan-pertanyaan ini kerap kali harus dipecahkan oleh para fungsionaris di sebuah organisasi.

 

Sementara itu, di mata para anggotanya, kegairahan terhadap NU itu telah hadir menjadi bagian dari kegiatan kulturalnya, seperti acara yang bernapaskan keagamaan sebagaimana halnya tahlil, istighotsah, haul, ratib, barzanji, dan sebagainya. Aktivitas kultural ini sudah menjelma menjadi identitas NU. Namun, aksi kultural ini jelas tidak cukup, karena persoalan yang dihadapi warga masyarakat sangat kompleks: ekonomi, perumahan, pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan seterusnya. 

 

NU bersama-sama dengan organisasi masyarakat yang lain, dan tentu saja pemerintah, perlu hadir untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Tidak harus menjadi satu-satunya yang hadir memberikan solusi, tapi menjadi bagian di dalamnya. 

 

Bagaimana konkretnya? NU perlu hadir mendampingi warga masyarakat, melakukan aksi nyata di akar rumput. Menjadi pengurus NU berarti menjadi penggerak dan pendamping warga masyarakat. Di tingkat ranting, idealnya aktifis NU bisa bergerak dalam pendampingan tersebut. 

 

Ketika petani desa menghadapi masalah modal untuk menanam, misalnya, aktivis NU di situ harus hadir untuk membantu informasi dan cara mengakses lembaga permodalan. Ketika di suatu perkampungan sarana jalan desa rusak berat, pengurus ranting atas nama NU perlu bersuara, menyampaikan aspirasi di musyawarah desa dan melakukan pengawalan. Ketika ada warga yang terjerat renternir, NU bisa membantu cara meringankan. Membantu untuk memperbaiki akses dan sarana kesehatan, pendidikan, demikian seterusnya, dan demikian juga tuntutan kehadiran di daerah perkotaan.

 

Dengan adanya sumber daya (alam dan manusia) yang dimiliki oleh masyarakat, dan mekanisme pembangunan reguler dalam kebijakan dan penganggaran dari pusat hingga desa, rasanya pengurus atau aktivis NU tidak perlu bingung untuk membuat program atau kegiatan. Cukup dengan hadir dan memperjuangkan kepentingan warga atau jamaahnya. 

 

Cara pendampingan ini sekaligus menguatkan budaya politik dari tingkat bawah. Membangun komunikasi, dengan menyediakan sarana yang terbuka, mekanisme dialog dan musyawarah, dengan mengoptimalkan penggunaan tehnologi komunikasi yang saat ini ada. Ini merupakan pilihan yang terhormat, sehat dan bermartabat.

 

Fungsi artikulasi kepentingan warga sebenarnya perlu diperankan oleh partai politik, namun hingga sekarang parpol sering absen dalam masalah kewargaan. Pendidikan politik tidak berjalan, warga hanya disuguhi akrobat politik menjelang pemilihan. 

 

Data, informasi dan pengalaman sepanjang pendampingan warga menjadi basis utama bagi NU di tingkat cabang, wilayah, hingga pusat, untuk melakukan pengawalan dengan advokasi untuk melahirkan kebijakan yang mendukung keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya. Langkah ini perlu dilakukan agar perbaikan kondisi warga bisa berjalan secara berkelanjutan.

 

Bagi fungsionaris NU di semua tingkatan, perlu menguatkan prinsip pengabdian dan pelayanan dalam hubungan keorganisasiannya. Pola relasi yang dibangun dan dikembangkan oleh pengurus NU di hadapan jamaahnya adalah hubungan yang dilandasi jiwa dan spirit melayani, bukan dilayani.

 

Menyiapkan diri untuk hadir di setiap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Kuncinya adalah kepekaan sosial. Membuka mata untuk mengamati fenomena di lingkungannya, membuka telinga untuk mendengarkan kesulitan dan aspirasi warga, dan kemudian membuka pikiran untuk mengumpulkan informasi dan melihat dari beragam sudut pandang (perspektif), dan menganalisis masalah secara lebih komprehensif. 

 

Kemudian membuka hati untuk melahirkan dan mengasah empati, bersolidaritas, agar ikatan persaudaraan terbangun secara tulus atas dasar panggilan kemanusiaan. Setelah itu, membuka tekad untuk bersungguh-sungguh mengubah situasi menuju pencarian solusi dan perbaikan situasi dan kondisi di semua ranah kehidupan dalam bentuk tindakan.

 

Pendampingan sebenarnya bukanlah gagasan baru, tapi masih belum terasa banyak yang melakukan. Tantangannya adalah kemalasan dan keengganan menghadapi konsekuensi. Jika model pendampingan akar rumput ini dilakukan secara bersamaan dan simultan, kehadiran NU akan membawa dampak perubahan yang luas dan berlipat (muta’addi).

 

Penulis adalah Manajer Program Jaringan GUSDURian