Opini

Apakah Semua Agama Sama?

Jum, 17 September 2021 | 03:00 WIB

Apakah Semua Agama Sama?

Apakah Semua Agama Sama? (Ilustrasi)

Agama itu haknya Tuhan. Manusia diberi dua modal untuk melaksanakan fungsi kekhalifahan. Modal pertama ilmu pengetahuan. Modal kedua agama. Ini ditegaskan oleh wahyu yang pertama kali turun: ‘Bacalah dengan nama Tuhanmu.’ Membaca itu jendela pengetahuan. Bacalah apa saja, agar kamu mengenali dirimu, alam semesta, dan Tuhanmu. Dalam adegan pengangkatan Adam sebagai khalifah, Allah mendemonstrasikan keunggulan Adam di hadapan malaikat karena ilmu. Namun, modal ilmu belaka tidak cukup. Adam dan Hawa tergelincir oleh bujuk rayu setan. Mereka diusir dari surga dan disuruh tinggal di bumi. Allah lantas memberi bekal agama: « فتلقى آدم من ربه كلمات ٠٠٠». ‘Kalimat’ di situ adalah simbol dari ajaran-ajaran agama.
 

Agama adalah jalan manusia untuk kembali ke Tuhan. Agama adalah peta agar manusia menemukan rute kembali ke surga. Tapi banyak manusia lupa asal-usulnya. Mereka asyik di bumi. Allah mengirim utusan di setiap generasi. Tujuannya sama: menyampaikan janji dan ancaman. Bumi tempat menyemai amal. Jika amalmu baik, bagimu surga. Jika amalmu buruk, bagimu neraka. Itulah inti Islam, agama semua nabi dan utusan, dari Adam as hingga Muhammad saw. Siapa saja yang mengikuti ajaran itu, di setiap generasi, dijanjikan bahagia di sisi Tuhan (QS Al-Baqarah/2: 62; QS Al-Ma’idah/5: 69).
 

Dalam konsep Al-Qur’an, agama semua nabi dan rasul adalah Islam. Keturunan Ya’qub, yang dikenal sebagai Bani Israil, adalah Muslim (QS Al-Baqarah/2: 133). Ketika mereka membunuh para nabi dan utusan dan mengubah isi kitab, mereka keluar dari Islam. Kaum Hawari, para penganut Isa as, adalah Muslim (QS Ali Imran/3: 52). Ketika mereka menuhankan Yesus, dan mengubah isi kitab, mereka melenceng dari Islam (QS Al-Maidah/5: 73).
 

Ketika Nabi Muhammad saw diutus, Bani Israil yang tersisa dikenal sebagai Yahudi. Mereka mendustakan Nabi. Meski mengingkari Muhammad, status mereka dibedakan dari musyrik pagan. Mereka disebut sebagai Ahlul Kitab. Mereka tidak dipaksa masuk Islam. Mereka diterima sebagai bagian dari komunitas muslim, dengan membayar jizyah. Wanita-wanitanya boleh dinikahi. Sembelihannya halal dimakan (QS Al-Ma’idah/5: 5). Ini berlaku juga untuk kaum Nasrani.

 

 

Ahlul Kitab punya modal untuk kembali kepada Islam. Sebab, berbeda dengan kaum politeis, mereka sama-sama percaya kepada Allah dan hari akhir. Ajaran dasar mereka sama: hanya menyembah Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, anak yatim, dan kaum miskin. Mereka juga disuruh shalat dan membayar zakat. Mereka juga dilarang membunuh (QS Al-Baqarah/2: 83-84). Ketika mereka menolak Muhammad, Allah menegaskan bahwa tugas Nabi hanya menyampaikan risalah (QS Ali Imran/3: 20). Nabi disuruh mengatakan sebagai penerus risalah Islamnya Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan keturunannya, Musa, Isa, dan nabi-nabi lainnya (QS Ali Imran/3: 84). Nabi Muhammad saw penerus misi para Nabi sebelumnya, dan menyempurnakannya.
 

Mestinya, orang-orang Yahudi yang mengikuti Musa atau orang-orang Nasrani yang mengikuti Isa, harus mengikuti ‘versi’ Islam yang disempurnakan. Tetapi, karena mereka menolak, padahal mereka tahu, Al-Qur’an melarang memaksa mereka: « لا إكراه في الدين » (QS Al-Baqarah/2: 256). Mereka dikasih kebebasan: « فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر ». Tentu saja, yang kafir diancam sengatan api neraka, kelak (QS Al-Kahfi/18: 29). Kaum Yahudi merasa masih Muslim dan mengklaim setia di garis ajaran Ibrahim. Al-Qur’an membantah. Mereka telah keluar dari Islam dan ajaran Ibrahim. Muhammad dan para pengikutnya lebih berhak atas Ibrahim dibanding mereka (QS Ali Imran/3: 68). Nabi Muhammad diutus karena Yahudi dan Nasrani tidak lagi mengemban risalah Islam. Dua agama samawi ini dinyatakan telah mengalami distorsi dan manipulasi.
 

Sekarang kita jawab pertanyaan: apakah semua agama sama di sisi Tuhan? Seorang Muslim tidak mungkin menyatakan semua agama sama. Allah menegaskan: hanya Islam agama di sisi Allah (QS Ali Imran/3: 19). Selain Islam tidak diterima (QS Ali Imran/3: 85). Ini doktrin internal. Jika semua agama sama, buat apa kita memeluk Islam. Wajar orang Islam meyakini keyakinannya. Begitu juga pemeluk agama lain. Muslim tidak tersinggung jika orang Nasrani, misalnya, meyakini bahwa selain mereka adalah domba-domba yang hilang dan tersesat. Atau orang Yahudi menganggap selain Israil adalah kafir. Sekali lagi ini doktrin internal. Sah dan wajar. Tanpa meyakini keyakinan kita benar, orang kehilangan basis untuk meyakini keyakinannya. Bolehkah kita fanatik di situ? Boleh. Tapi ranahnya internal. Di ruang batin masing-masing pemeluk agama.
 

Masalahnya, bagaimana kita mengelola keyakinan kita berhadapan dengan orang lain? Al-Qur’an jelas mengajarkan toleransi antarumat beragama. Tidak ada paksaan dalam agama. Bagiku agamaku, bagimu agamamu (QS Al-Kafirun/109: 6). Bagimu amalmu, bagiku amalku (QS Al-Qashas/28: 55). Al-Qur’an melarang keras mengolok-olok agama lain (QS Al-An’am/6: 108). Pun dalam keadaan bermusuhan, dilarang merusak tempat ibadah agama lain (QS Al-Hajj/22: 40). Al-Qur’an membolehkan kerja sama dan tolong-menolong antarpemeluk agama dalam perkara muamalah (QS Al-Mumtahanah/60: 8). Ketentuan ini tidak berlaku bagi mereka yang agresif (QS Al-Mumtahanah/60: 9; QS Ali Imran/3: 118; QS Al-Ma’idah/5: 51), kecuali sebagai taktik atau siasat (QS Ali Imran/3: 28). Terhadap orang lain, yang menentang keyakinan kita, Al-Qur’an mengajarkan bahasa diplomatis, untuk mengurangi ketegangan akibat fanatisme:
 

وَاِنَّآ اَوْ اِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

 

“Apakah kami atau kamu yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata” (QS Saba/34: 24).


Tentu saja ini uslub. Dengan uslub ini, kita semua seolah punya potensi benar dan salah. Ini agar kita tidak ngotot memaksakan kebenaran bagi orang yang tidak mempercayainya. Al-Qur’an mengajarkan cara yang elegan, tergantung audiensnya. Bagi mukmin, yang imannya kokoh, terus diberi penguatan, dengan bahasa-bahasa afirmatif, agar tidak goyah. Kepada orang lain, yang belum atau tidak percaya, tidak perlu menyampaikan bahasa-bahasa fanatisme, apalagi insinuasi, yang menimbulkan ketegangan.

 

 

Selain menimbang siapa audiensnya, perlu juga dilihat kedudukan pembicaranya. Seorang pendakwah di majlis ta’lim, atau pendeta di gereja, atau rahib di sinagog, tidak mungkin bilang semua agama sama. Jamaahnya bisa bubar. ‘Kalau sama, kita tidak perlu kumpul di sini.’ Pasti semua pemuka agama, di tempatnya masing-masing, akan bilang agamanya sebagai jalan keselamatan. Namun, jika pembicaranya adalah pejabat publik, di negara multiagama, dia harus mengatakan, ‘Semua agama adalah jalan menuju kebaikan. Terserah agamamu. Kamu hanya akan dinilai baik sejauh bermanfaat bagi orang lain.’ Jika kebetulan dia tokoh agama, lalu kembali ke komunitasnya, dia akan balik lagi sebagai true beliver, yang meyakini agamanya sebagai satu-satunya jalan keselamatan.
 

Apakah begini bermasalah? Sama sekali tidak. Kita memang harus proporsional. Kapan kita fanatik dan menggebu-gebu dengan keyakinan kita, kapan kita tepo seliro, tenggang rasa, dan berempati dengan keyakinan orang lain. Kapan kita menjadi pemeluk agama yang taat, kapan kita menjadi warga negara yang baik. Hidup itu, mau tidak mau, harus berada dalam dualitas seperti itu.


M. Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU); penulis buku "Wasathiyah Islam: Anatomi, Narasi, dan Kontestasi Gerakan Islam"