Opini

Belajar dari Kampung Sawah, Harmoni pada Masyarakat Heterogen

Sel, 1 Maret 2022 | 10:45 WIB

Belajar dari Kampung Sawah, Harmoni pada Masyarakat Heterogen

Masjid Agung Al Jauhar Yasfi. (Foto: Twitter/jasa_pengantin)

Kerukunan umat beragama adalah salah satu pilar penting bagi terwujudnya kerukunan, ketahanan, dan kesatuan nasional. Sebab itu maka perlu strategi khusus untuk mewujudkan dan meningkatkan kerukunan beragama seiring dengan keberagaman Indonesia. Hal ini bisa dilakukan dengan memotret keberagaman yang ada dalam berbagai daerah yang di dalamnya bisa menjadi teladan kerukunan antarsesama bangsa meski berbeda agama, suku, ras, dan budaya.

 

Usaha memotret wilayah kampung damai ini sepatutnya dilakukan agar menjadi teladan terciptanya reharmonisasi dan antisipasi disharmonisasi kehidupan sosial keagamaan. Sebab, seringkali masyarakat masih meraba-raba bagaimana ajaran-ajaran yang menjadi landasan sikap dan perilaku masyarakat secara umum dalam berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain yang memiliki keyakinan yang berbeda. Apalagi dengan kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural.

 

Jika ditilik dari segi positif, realitas Indonesia sebagai negara multikultural ini jelas menjadi potensi dan modal sosial serta kekayaan bangsa jika dengan telaten dirawat dan dijaga dengan baik. Namun, di sisi lain, hal ini bisa saja menjadi ancaman yang dapat merusak kesatuan bangsa jika mindset masyarakatnya terkooptasi oleh prasangka buruk, kecurigaan, kebencian terhadap kelompok masyarakat yang berbeda yang berakibat pada renggangnya ikatan sosial bahkan bisa mengarah pada konflik primodialistik.

 

Meski demikian, potret-potret keharmonisan masyarakat dalam keragaman keberagamaan banyak terlihat dan bisa dijadikan teladan bagi wilayah-wilayah rawan konflik. Dalam buku penelitian ilmiah berjudul "Toleransi Antar-kelompok Umat Beragama pada Masyarakat Heterogen" (2018) terbitan Kemenag RI tampak jelas bahwa Indonesia memiliki wilayah unik dengan teladan toleransi yang patut diapresiasi.

 

Di antara teladan toleransi itu bisa kita dapat cerita kerukunan umat beragama di Kampung Sawah, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat. Di salah satu titik pusat kampung ini berdiri megah tiga rumah ibadah utama masyarakat yakni Masjid Al-Jauhar, Gereja Kristen Pasundan, dan Gereja Katolik Santo.

 

Berdirinya tiga rumah ibadah ini selaras dengan kehidupan berdampingan penduduk di Kampung Sawah yang kaya akan suku-suku berbeda, ada suku Betawi, Jawa, Flores, Ambon, Batak, Nias dan lain sebagainya. Mereka memeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Jika dikalkulasi keseluruhan rumah ibadah di kampung ini lumayan banyak dengan rincian 33 masjid, 1 gereja Katolik, 16 gereja Kristen. Kemudian adapula Balai Banjar Hitakarma yang bisa menjadi lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi pelajar di Kampung Sawah yang ingin memperdalam Ilmu Agama Hindu mengingat di kampung ini belum terbangun Pura sebagai rumah ibadah umat Hindu.

 

Realitas masyarakat yang heterogen di Kampung Sawah membuat penduduknya memiliki toleransi yang tinggi terbukti di kampung ini ada perbedaan keyakinan agama dalam satu kelurga. Bisa saja, Bapak dan ibunya Katolik, anak-anaknya ada yang beragama Islam dan beragama Kristen. Misalnya, KH Rahmadin Afif, salah satu pemuka agama di Kampung Sawah yang beragama Islam memiliki adik perempuan beragama Kristen.

 

Kemudian, seorang tokoh Katolik bernama Jacobus Napiun memiliki adik beragama Islam. Falsafah agama adalah keyakinan yang memberikan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup sehingga apapun agama yang dianut tentu saja dibiarkan sesuai dengan keyakinan masing-masing.

 

Masjid Al-Jauhar selain sebagai pusat ibadah Umat Islam juga berfungsi sebagai mercusuar toleransi umat beragama di Kampung Sawah dengan sosok Kiai Rahmadin sebagai tokoh panutan tidak hanya bagi kaum Muslim, tapi juga umat agama lain yang berdomisili di sana. Pernah suatu hari ada penceramah di Masjid Al-Jauhar yang isi ceramahnya sensitif hubungan keagamaan. Ketika mendengar hal itu, sekitar Kiai Rahmadin memerintahkan salah seorang santrinya untuk mematikan pengeras suara yang mengarah keluar masjid. Kejadian ini ternyata tidak sekali atau dua kali. Biasanya, ketika ceramah berisi intoleransi usai, Kiai Rahmadin mengimbanginya dengan ceramah-ceramah menyejukkan.

 

Kedamaian dan toleransi yang ada di Kampung Sawah ini bukanlah produk instan, tapi terbentuk dari keseharian yang dibangun orang-orang tua dengan nasihat untuk saling menghargai dan menghormati. Sesepuh Kristen Kampung Sawah bercerita kalau hal yang paling dinanti saat dia kecil adalah momentum Idul Fitri, karena pada momentum itu dia bisa melihat dan mencicipi kue beraneka ragam dan dia pun bisa turut serta berkeliling mengiringi kumandang beduk-takbir pada malam Lebaran.

 

Dari realitas-realitas pembelajar toleransi di Kampung Sawah dapat diketahui, sejatinya kondisi damai dalam hubungan antarumat beragama perlu dipupuk terus, karena kedamaian bukanlah hal instan tapi merupakan buah hasil aktivisme yang sudah berlangsung sejak lama.

 

Nidlomatum MR, aktivis Rumah Perempuan dan Anak (RPA); pengurus Pimpinan Fatayat NU Kabupaten Bogor, Jawa Barat 


Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan UNDP