Opini

Berpegang Teguh pada Pancasila secara Kaffah

Sab, 29 Agustus 2020 | 14:00 WIB

Berpegang Teguh pada Pancasila secara Kaffah

Pancasila. (Ilustrasi: NU Online)

Pancasila merupakan refleksi dari falsafah dan budaya bangsa, termasuk di dalamnya bersumber dan terinspirasi dari nilai-nilai dan ajaran agama yang dianut bangsa Indonesia. Syarah pada lima asas dasar negara ini akan menguraikan nilai-nilai yang terdapat pada masing-masing sila dan relasinya dengan nilai-nilai ajaran agama, khususnya Islam.


Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa (At-Tauhid). Semua agama pada dasarnya mengajarkan keesaan Tuhan (tauhid). Bersama dengan konsep lain, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini membentuk satu kesatuan dasar Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan spiritual yang direfleksikan dalam Bab XI tentang agama.


Pada Pembukaan dan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Secara tidak langsung UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yang tinggi yang berhubungan dengan akidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.


Dalam konteks ini, agama memberikan kerohanian yang dalam sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan. Artinya negara sebagai lembaga publik harus melindungi hak dan kepentingan warganya yang termuat dalam konstitusi, termasuk kebebasan beragama tanpa membeda-bedakan antara penganut yang satu dan penganut agama yang lain.

 


Kedua, Kemanusiaan (Al-Insaniyah). Kemanusiaan sebagai landasan moral dan etika bangsa yang direfleksikan dalam hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah klaim yang harus dipenuhi demi mempertahankan eksistensi harkat dan martabat manusia.


Hal ini sejalan dengan konsep Islam tepatnya Firman Allah (QS. Al-Isra’ [17]: 70) yang memandang manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah, lebih dari makhluk-makhluk lain di alam semesta ini.


Konsep hak-hak insan dalam Islam bisa dirujuk pada konsep al-Ghazali dan segenap ahli ushul fikih dengan apa yang mereka sebut sebagai al-Kulliyat/al-Maqasid al-Khamsah bagi negara dan bangsa Indonesia (lima hak-hak dasar universal), yaitu (1) Berhubungan dengan perlindungan jiwa dan tubuh (hifdzun nafs). (2) Berhubungan dengan perlindungan akal (hifdzul ‘aql). (3) Perlindungan atas agama/keyakinan (hifdzud din). (4) Perlindungan atas harta benda (hifdzul mal). (5) Perlindungan atas kehormatan dan keturunan (hifdhul-irdl wan-nasl).


Ketiga, Persatuan (Al-Wihdah). Persatuan menggambarkan konsep menyatunya unsur-unsur yang berbeda, dalam konsep satu derap langkah bersama karena memiliki dan ingin mencapai cita-cita yang juga sama. Dalam bahasa Islam disebut dengan jamaah. Bergabungnya sejumlah orang secara sadar dalam wadah dan pola kebersamaan yang terstruktur, dengan visi, misi dan aturan main serta kepemimpinan tertentu untuk mencapai cita-cita dan tujuan bersama yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 


Sebagaimana dalam firman Allah SWT, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran [3]: 103)


Persatuan sebagai landasan sosial bangsa yang dijabarkan dalam perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Persatuan dan semangat kekeluargaan untuk saling berbagi, saling bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan demi mencapai tujuan mulia ini sejalan dengan Firman Allah dalam Al-Maidah ayat 2.


“.... Dan tolong-menolong lah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwa lah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 2)

 

Keempat, Kerakyatan (Ar-Ra’iyyah). Kerakyatan sebagai prinsip kenegaraan berarti bahwa kepentingan rakyatlah yang harus menjadi sumber inspirasi kebijakan dan langkah kekuasaan negara. Di samping itu juga suara dan kemaslahatan rakyat harus menjadi acuan tertinggi bagi setiap kebijakan pemerintah dan negara.

 


Untuk merumuskan konsep kebijakan kenegaraan, baik program maupun organisasi, maka musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan prinsip dasar dalam proses pengambilan keputusan di antara pihak (konstituen/stakeholder yang berkepentingan. Urusan orang banyak (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.


“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Syura [42]: 38).


Dengan musyawarah dapat dipelihara sikap saling pengertian, saling menghargai, dan menumbuhkan tanggungjawab bersama, sehingga demokrasi yang sejati dapat terwujud dengan baik dan nyata. Di samping itu, keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Allah.


Pemegang amanah kepemimpinan suatu negara wajib mengutamakan kesejahteraan rakyat. Dalam kesempatan lain Rasulullah menegaskan bahwa,“Semua kalian adalah pemimpin, semua kalian akan dimintai pertanggungjawaban perihal yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)

 


Kelima, Keadilan (Al-‘Adalah). Unsur pertama keadilan adalah “kesetaraan”. Perbedaan suku, ras, budaya dan semisal tidak boleh menjadi alasan untuk mendiskriminasikan orang lain. Keanekaragaman bahasa, budaya, maupun warna kulit adalah salah satu tanda kebesaran Allah SWT. Keadilan sebagai tujuan bersama dalam bernegara.


Mengelola negara dengan prinsip keadilan yang meliputi semua aspek, seperti keadilan hukum, keadilan ekonomi, dan sebagainya, yang diikuti dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat merupakan amanat setiap agama bagi para pemeluknya. Dalam Islam diajarkan agar pemimpin negara memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, dan apabila menghukum mereka hendaklah dengan hukuman yang adil.


"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. An-Nisa’ [4]: 58)


Pancasila mesti kita hidupkan kembali di berbagai ranah serta bidang kehidupan sosial. Tanggung jawab itu diemban siapa pun, termasuk butuh peran media. Media elektronik, cetak, dan online, kini tidak dimungkiri memiliki pengaruh dalam menyebarkan nilai-nilai, informasi, merubah persepsi, bahkan menentukan sikap seseorang.


Institusi berita sebagai aktor sosial ekonomi yang memiliki pengaruh sangat besar. Media merupakan suatu “sebab” terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur.

 


Kaitan dengan itu, penyebaran terhadap nilai-nilai Pancasila serta penguatan Pancasila melalui media adalah sarana yang cukup efektif untuk mengembalikan falsafah bangsa itu dalam realitas sosial. Mengingat media memiliki dampak sosial yang tinggi di masyarakat. Sosialisasi dan pendidikan dalam kerangka memperkuat eksistensi Pancasila dapat dijalankan media secara masif.


Mendekatkan kembali Pancasila dengan masyarakat menjadi bagian dari ikhtiar untuk menjaga kerukunan, toleransi, kedamaian, kebersamaan, dan persatuan di tengah berbagai kemajemukan bangsa; agama, suku, adat istiadat, budaya, bahasa, dan perbedaan lain. Kita tahu potensi keragaman yang menjadi keniscayaan di negeri ini kadang dijadikan alasan atau pembenaran oleh oknum tertentu atas aksi-aksi yang mereka lakukan sehingga menimbulkan kerawanan sosial, pertikaian, konflik, hingga frustrasi sosial.


Dengan masih maraknya kejadian sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila menunjukkan bahwa masih adanya tantangan dan pekerjaan rumah besar yang meski kita pikul bersama. Seperti dikatakan diawal, bagaimana Pancasila dapat diamalkan sementara diketahui ada upaya menjauhkan Pancasila dari ingatan maupun laku kehidupan masyarakat dengan berbagai problematika sosial yang terjadi.


Dengan demikian problematika sosial kebangsaan itu sejatinya dapat ditepis dengan nilai-nilai kebaikan yang bisa dimainkan oleh media. Dengan kalimat lain meminjam bahasa agama dalam hal ini Islam, Islam dalam perdamaian antar sesama manusia juga memerintahkan umat selalu berbuat baik, dan menjauhkan dari perkara yang keji dan mungkar.

 

Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online