Opini

Bubarnya Ideologi Qadafi dan Tumbuhnya Liberalisme di Libya

Ahad, 24 Oktober 2021 | 10:30 WIB

Bubarnya Ideologi Qadafi dan Tumbuhnya Liberalisme di Libya

Ide kritis Qadafi untuk menghilangkan limbah demokrasi liberal yang dianut Barat ternyata tidak selalu mendapat respons positif dari warga Libia sendiri.

Dalam perjalanan di sebuah negara kecil di laut Mediterania yang dijuluki the Jewel of Mediterranean, penulis berbincang dengan salah seorang warga Libya, Gomoah. Penulis sampaikan kesan positif isi dari Buku Hijau/al-Kitab al-Akhdar yang menjadi pegangan sosialisme Libya. Moammar Qadafi pemimpin Libya yang mengarang buku itu menjelaskan praktik demokrasi yang berlaku di negaranya yang meniadakan institusi partai politik. Atau bisa dibilang “demokrasi tanpa partai”.

 

Qadafi membuat Komite Umum untuk Rakyat (al-lajnah al-sha’biyyah al-‘ammah/general people committee) dari tingkat bawah hingga atas sebagai wadah penyaluran aspirasi warga dan akan menjadi PR negara untuk mewujudkannya. Lembaga ini menjadi mediator antara rakyat dan pemerintah yang dipimpin oleh seorang sekjen, 20 sekretaris dan 600 anggota. Sistem ini diyakini mampu menghapus banyak hal buruk dari demokrasi berbasis partai yang dianggap lebih banyak mengurusi kepentingan partai daripada rakyat. Persaingan antarpartai banyak merugikan rakyat dan negara dan menjadi sumber manipulasi dan korupsi. Untuk itu, menurut Qadafi, partai harus dihilangkan dan diganti musyawarah rakyat yang diisi wakil-wakil daerah, bukan partai.

 

Apa yang dianut Qadafi di atas, lazim disebut dengan penolakan sistem multipartai dalam demokrasi. Kaum komunis termasuk yang menolak sistem multipartai. Sebagai gantinya, dia mendukung sistem partai tunggal yaitu partai komunis. Kritik komunis terhadap multipartai atau demokrasi Barat, bertumpu pada beberapa alasan. Di antaranya, sistem itu berdiri di atas perbedaan kelas sosial. Ketika itu dihapus, maka tidak perlu ada multipartai. Ia juga membuka perang urat saraf antarpartai dalam mengampanyekan ideologi masing-masing yang oleh kaum kritikus, seperti kritikus Mesir dianggap retorika kosong laksana burung beo yang mengoceh tanpa paham ocehannya (Arab: babgha’iyatul libraliyyah). Lagi, sistem multipartai, menciptakan iklim politik yang tidak sehat yang merugikan rakyat. Ia melegalkan menyerang lawan politik dengan berbagai argumen yang tidak valid demi mencuri simpati rakyat. Selain itu, sistem ini menimbulkan korupsi untuk menutupi kebutuhan kampanye partai.

 

Melihat banyak sisi negatif sistem multipartai, Qadafi pada 1977 menghapus meniadakan lembaga kepartaian dan menggantinya dengan demokrasi langsung melalui komite umum yang disebut dengan Jamahiriyyah.

 

Hal senada terjadi pada negara komunis yang mengadopsi sistem partai tunggal dan memfokuskan partai untuk pendidikan kader yang cakap yang ke depan layak menjadi pemimpin dalam level bawah sampai atas. Pembentukan loyalitas, mental yang tangguh, pendalaman komunisme, sistem politik, tata pemerintahan, dan keterampilan kepemimpinan, diajarkan dalam pengaderan partai.

 

Ide kritis Qadafi untuk menghilangkan limbah demokrasi liberal yang dianut Barat seperti tertuang dalam Buku Hijau, meski menjadi rujukan pemimpin sosialis Bolivia Evo Morales dalam membangun negaranya, ia tidak selalu mendapat respons positif dari warga Libya sendiri. Gomoah mengatakan bahwa pemerintahan Qadafi menjadikan urusan negara seperti mainan: like joke!. Gomaah kemudian mengatakan bahwa dia lebih mendukung sistem kapitalis. Warga Libya yang lain, Mahmoud mengatakan, bahwa ideologi itu membuat di Libya, tidak boleh ada yang terkenal. Sebab itu akan menjadikannya lebih tinggi dari yang lain. Pemain sepakbola dilarang mencantumkan nama di punggung kaos. Yang ada hanya nomor. Kenyataannya, karena semua dilarang terkenal, yang terkenal hanya Qadafi seorang. Sementara ada warga Libya yang kagum dengan Qadafi dan mengatakan bahwa dia adalah pemimpin hebat.

 

Sistem partai tunggal seiring dengan runtuhnya Uni Soviet telah banyak berubah menjadi multipartai. Kini setidaknya hanya tersisa China, Kuba, Korea Utara, Laos, Vietnam, Eritrea, dan Sahara Barat. Runtuhnya Uni Soviet (1991) menjadi penyebab dari bubarnya sistem partai tunggal. Seperti halnya Libya yang setelah tewasnya Qadafi pada Februari 2011, ia berubah menjadi multipartai yang kini sebanyak 70 partai.

 

Pandangan kritis yang ingin mengoreksi demokrasi Barat ternyata bangkrut. Terkait hal itu, Nurcholis Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur dalam ceramah Isra’ Mi’raj di Islamic Center Surabaya pada 1989 mengatakan, negara komunis yang saat itu sudah megap-megap, adalah karena tidak mengembangkan kebebasan dan kesadaran rakyat, dan yang ada adalah pengawasan yang ketat terhadap aktivitas rakyat. Hal ini menjadikan mereka sibuk membangun sistem pengawasan lewat agen intelijen KGB. Ketidakpercayaan komunis terhadap agama sebagai lembaga penjaga moral, menjadikan warga komunis tidak takut kecuali kepada lembaga pengawasan.

 

Hal ini menjadikan pemerintah terbebani secara berlebihan untuk kerja pengawasan. Tidak ada dalam kamus rakyat Uni Soviet yang disebut malaikat pencatat perbuatan baik dan dosa yang bisa mengarahkan rakyat kepada kebajikan tanpa pengawasan intelijen. Belum lagi faktor kreativitas yang mati oleh ketatnya sistem komunis membuat usaha keras tidak banyak berarti. Mereka pun menjadi pasif dan lelah. Inilah yang pada akhirnya menjadikan nilai kebebasan menang lawan nilai idealis yang mengekang. Idealisme Qadafi yang bercita-cita menjadikan semua rakyat makmur hingga uang tidak lagi berlaku berujung sirna. Idenya untuk menghilangkan perbudakan manusia oleh manusia—dalam Buku Hijau: isti’bad al-nas bi al-nas (Prancis: exploitation de l’homme par l’homme) kandas karena rakyat lebih memilih kebebasan meski harus terganggu oleh berisik celoteh politisi yang tiada henti.

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya