Oleh: Wasid
Kekaguman saya kepada KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur merupakan buah dari keunikan pikiran dan perjuangannya dalam merespons berbagai isu. Baik masalah agama, sosial dan kebudayaan, yang juga mendorong banyak pihak menyenanginya, baik Muslim maupun non-Muslim, dengan gerak yang terkadang zig-zag. Gus Dur selalu menggunakan nilai kemanusiaan sebagai titik pijak berpikir dan bergerak sehingga dalam banyak hal sering mendapat cibiran dan kritik pedas. Bahkan hinaan dari yang berbeda pandangan dengannya, terlebih lawan politik.
Karena itu, di ruang perpustakaan pribadi, buku-buku Gus Dur cukup banyak menghiasi dengan judul yang beragam bersandingan dengan buku lain. Bagi saya, buku Gus Dur adalah wasilah atau perantara bagi pengagumnya untuk mengenal lebih dekat dalam rangka menyelami pikiran kemanusiaan dalam bingkai Islam dan kebangsaan.
Salah satu buku yang saya sukai tentang Gus Dur dan pemikirannya adalah yang berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Sederhana alasannya, karena dalam buku ini Gus Dur mampu mengajak pembacanya untuk melakukan koreksi, sekaligus perlu mewujudkan gerak refleksi kembali atas keberislaman yang telah diyakini dan terpraktikkan oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan sudut pandang aku, anda dan kita.
Pada awal kemunculannya, bagi saya dengan gaji pas-pasan dan tidak menentu, harga buku ini cukup mahal. Apalagi kala itu tengah merintis ekonomi bersama keluarga. Tapi memang hasrat untuk membaca dan memiliki buku ini sangat menggebu sehingga dalam batin terucap "apapun yang terjadi, saya harus memiliki buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita yang terbit pada Agustus 2006 melalui lembaga the Wahid Institute.
Singkat cerita, akhirnya buku tulisan Gus Dur saya miliki setelah dapat uang di luar dugaan dari pemberian seseorang atas jasa kepenulisan dan editing naskah. Dengan begitu, buku ini menjadi salah satu buku penting menghiasi perpustakaan pribadi bersama kumpulan buku lain. Yakinlah, sambil menunggu waktu senggang, di tengah rutinitas harian, buku akan saya lalap habis, tegas dalam benak batin terdalam. Pasalnya, beli buku bukan untuk disimpan, tapi dibaca agar pembacanya dapat mengambil hikmah untuk dipraktikkan dalam kehidupan nyata.
Pada saat berbeda, saya juga harus menyiapkan kepindahan rumah ke kontrakan bersama keluarga, sebuah rumah yang diharapkan sebagai tempat yang representatif untuk berkumpul dan merajut urusan rumah tangga bersama keluarga, sekalipun bukan milik sendiri. Bagi saya yang penting kontrakan bisa jadi tempat tidur dan tempat teduh untuk menghilangkan kepenatan setelah seharian bekerja. Dan lebih dari itu, buku-buku bisa diamankan dengan baik, terlebih buku yang disayang-sayang dan belum terbaca dengan judul Islamku, Islam Anda, Islam Kita.
Setelah proses perpindahan dan penataan buku usai, saya bersama istri dan anak pertama dari rumah kontrakan memulai aktivitas, sekaligus beradaptasi dengan keadaan baru. Sementara hari-hari yang saya lalui bersamaan dengan datangnya musim hujan. Dalam benak terucap, saya bersyukur telah berada di rumah untuk berteduh, meskipun hanya rumah kontrakan. Tekad tertanam, saya kontrak, maka saya –yakin—ada. Ada sebab ---itung-itung-- sebagai pemantik untuk menuju ada yang lebih baik di hari yang lain.
Suatu hari, terjadi hujan yang sangat deras di wilayah Sidoarjo-Surabaya, sementara saya belum pulang dari aktivitas rutin di kampus. Tekad akan pulang setelah hujan benar-benar reda agar tidak terkena hujan hingga membasai tubuh. Setelah hujan reda, saya pulang dan sampai rumah sudah agak malam, sementara istri dan putri saya telah tertidur lelap menyapa mimpi-mimpinya yang indah dalam kegembiraan di rumah yang teduh penuh makna.
Setelah merenggangkan waktu sejenak, sayapun mencoba melihat buku-buku di kamar. Apa yang terjadi? Ternyata buku-buku yang saya tata rapi sebelumnya, sebagian terkena hujan. Bahkan cukup parah. Buku berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita yang disayang-sayang ternyata berenang di atas air. Perasaan sedih tidak tertahan, kok bisa rumah kontrakan ini bocor, tanpa memberikan kabar. Sungguh kejadian ini terus teringat dalam benak perjalanan hidup.
Tanpa pikir panjang, saya langsung mengambil buku tersebut. Airpun menetes, dari buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita berkali-kali, pertanda buku sungguh basah kuyup. Lantas, sayapun bersegera menghidupkan kipas angin, sambil mengangkat buku itu mendekatnya. Saya bolak balik satu demi satu, dari satu halaman ke halaman lainnya agar setiap halaman yang basah dapat menyapa kerasnya desahan angin yang muncul dari putaran kipas angin.
Dengan cara ini berharap buku bisa terselamatkan secara berlahan hingga malam dini hari tiba, sekitar pukul 02.00 pagi, buku terus dikeringkan dengan kipas angin. Singkat cerita, buku selamat dan kering setelah beberapa hari, sekalipun lem perekatnya mulai mengelupas. Dan sayapun akhirnya bisa melahap buku Gus Dur hingga tuntas, sekalipun masih dalam kesedihan sebab buku telah rusak akibat lemnya mengelupas sehingga perlu hati-hati ketika dibaca.
Sejak kejadian tersebut, sayapun bertekad. Sudah saatnya punya rumah sendiri, GPL alias gak pakai lama. Tidak tahu kapan? Setiap malam bangun tergerak shalat, sayapun tak lupa bertawasul dengan buku Gus Dur berharap kepada Allah SWT segera memberikan kemudahan, sambil memegang tembok rumah kontrakan, meskipun akal sulit menerima sebab harga rumah di perkotaan terus meroket tanpa henti. Dalam batin terus terucap, Ya Rabbi, ampuni dosa-dosa saya. Kabulkan hajat saya agar segera mampu membeli rumah sendiri. Dan jangan sampai lima tahun ya Rabbi.
Hari berjalan tanpa henti. Sayapun di hari ini dan seterusnya harus berhati-hati tinggal di rumah kontrakan agar tidak terulang kembali kejadian buku-buku terkena air hujan akibat rumah bocor. Dalam kondisi kebimbangan, saya terus berwasilah kepada Gus Dur, dengan pemantik bukunya yang sudah rusak, sambil memohon kepada Allah di tengah malam dengan istikamah agar mengabulkan hajat membeli rumah baru.
Singkat cerita, ternyata di luar dugaan, Allah benar-benar menakdirkan saya untuk bisa membeli rumah baru. Tidak lama, ya sesuai dengan maksud dalam doa-doa yang dipanjatkan di tengah malam, tidak sampai lima tahun. Dalam benak terucap, Yakinlah, di tengah kesempitan, ternyata hadir maunah-Nya untuk membuka berbagai kemudahan dengan membuka pundi-pundi rezeki di luar dugaan. Inna ma’al ‘usri yusra.
Maknanya kemudian, sungguh buku Gus Dur telah menjadi wasilah yang ampuh. Bagi saya, sejak kejadian ini, mempelajari dunia Gus Dur tidak saja dalam alam pikiran yang terangkai dalam tulisan dan karyanya. Tapi, energi dan spirit kesalehan Gus Dur sebagai pejuang kemanusiaan layak menjadi wasilah agar semua anak bangsa –terkhusus pengagumnya- dekat kepada Tuhan. Sebab perjuangan Gus Dur juga bentuk manifestasi dari gerak membumikan sifat rahman dan rahim-Nya. Dan di haul yang ke-9 ini, teriring doa semoga Gus Dur terus mendapat siraman rahmat-Nya sesuai amal shalihnya yang layak kita teladani dalam konteks beragama dan berbangsa. Amin ya rabbal alamin.
Penulis adalah dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya sekaligus Wakil Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama Jawa Timur.