Opini HAUL KE-14 GUS DUR

Gus Dur Bikin Demokrasi di Indonesia Tidak Seolah-olah

Sab, 16 Desember 2023 | 16:00 WIB

Gus Dur Bikin Demokrasi di Indonesia Tidak Seolah-olah

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

14 tahun sudah salah satu guru bangsa, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, wafat meninggalkan kita semua. Kendati raganya telah terpisah jauh dan mustahil untuk kembali, ragam pemikiran yang beliau torehkan masih terus hidup dan dapat kita nikmati untuk menerangi ruang-ruang kehidupan saat ini, tak terkecuali tentang kehidupan demokrasi di Indonesia. Banyak buah pemikiran Gus Dur yang masih relevan untuk terus dikaji, dipahami dan diimplementasikan baik untuk kehidupan individual maupun komunal.


Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Gus Dur kerap merespons pergulatan politik di Indonesia dengan pemikirannya tentang demokrasi. Tipe kepemimpinan pada masa pemerintahan orde baru yang ‘sentralistik’ bermuara pada demokrasi yang ‘seolah-olah’. Kebebasan pers sebagai manifestasi dari kebebasan berekspresi dan menjadi nilai dasar demokrasi selalu dibredeli. Gus Dur membangun fondasi kehidupan demokrasi yang hakiki, yakni tidak seolah-olah demokrasi.


Jika kita refleksikan dengan masa kekinian, agaknya masalah yang menyelimuti demokrasi cenderung masih sama meskipun dengan kualitas dan bentuk yang berbeda. Apa yang pernah dilontarkan oleh Gus Dur mengenai demokrasi terasa menemui kembali pada tahun politik ini. Oleh karena itu, demokrasi sebagai tema haul ke-14 Gus Dur sangat relevan dengan tantangan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini.


Parameter demokrasi

Pemikiran Gus Dur tentang demokrasi lahir dari keprihatinannya terhadap kondisi politik yang terjadi. kata yang cukup tepat untuk mewakili suasana dan keadaan politik pada masa orde baru saat itu adalah ‘mencekam’. Di mana kekuasaan pemerintahan tidak bisa diganggu gugat. Segala bentuk tindakan yang dianggap mengancam eksistensi pemerintahan akan dibekuk dengan alasan keamanan dan keutuhan negara.


Pemikiran Gus Dur soal demokrasi sejatinya merupakan antitesa terhadap realitas yang ada. Ia vokal menggembor-gemborkan demokrasi disamping kebebasan, desentralisasi dan pemenuhan hak-hak minoritas. Pemikirannya muncul dari kegelisahan filosofis atas otoritarianisme pemerintahan. Pemikiran Gus Dur mencoba untuk mengentaskan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku politik yang mengatasnamakan negara. Oleh Jeans Bartelson kekerasan ini disebut sebagai kekerasan represif dan koersif.


Untuk melenyapkan demokrasi seolah-olah yang terjadi, Gus Dur memberikan beberapa poin yang dijadikan sebagai parameter berhasil atau tidaknya demokrasi.


Pertama, kedaulatan hukum. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam konstitusi kita. Bahwa setiap persoalan yang terjadi harus diselesaikan berdasarkan hukum (supermasi hukum). Dalam hierarki perundang-undangan Indonesia, UUD 1945 berada di puncak (grundnorm) sekaligus menjadi sumber dari segala hukum. Dimana di dalam UUD 1945 tersebut diatur mengenai hubungan antar lembaga negara dan masyarakat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Artinya, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tidak boleh bertindak sewenang-wenang.


Syaiful Arif dalam Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Biografi Intelektual, mengungkapkan bahwa menurut Gus Dur, esensi dari konstitusi adalah mengatur kekuasaan, hubungan antar kekuasaan sekaligus meneguhkan hak-hak warganegaranya dan memberikan perlindungan kepada mereka. Konstitusi memberikan perlindungan kepada warganegara dari kesewenang-wenangan penguasa.


Oleh karena itu, kedaulatan hukum perlu untuk diperjuangkan oleh seluruh komponen masyarakat. Hal ini guna menciptakan keadilan dan kesejahteraan seluruh warganegara. Proses penyelesaian perkara melalui kegiatan transaksi di luar prosedural resmi yang hingga kini masih marak terjadi harus distop. Hal ini bisa dilakukan hanya dengan kesadaran akan pentingnya kedaulatan hukum.


Kedua, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). HAM merupakan hak kodrati yang melekat bagi setiap manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang perlu dihormati, ditegakkan dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia, negara dan hukum.


Bagi Gus Dur, komitmen untuk menegakkan HAM merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Baginya, memenuhi hak bagi setiap orang merupakan nilai kemanusiaan yang tidak bisa dilepaskan dari agama. Tanpa nilai tersebut, dunia akan dipenuhi oleh konflik dan perpecahan.


Dalam tulisannya berjudul Mencari Perspektif Baru dalam Penegakan Hak-hak Asasi Manusia, Gus Dur bersemangat untuk menawarkan cara pandang dalam pemberian hak kepada setiap manusia. Bahwa dengan memandang manusia sebagai manusia maka akan melahirkan sikap mulia dan hormat kepada sesama. Oleh karena itu, masuknya norma-norma HAM dalam konstitusi perlu untuk diimplementasikan secara konsisten.


Dalam konteks Islam, hak-hak ini terangkum dalam maqashid al-syari’ah, yaitu hifdzu al-nafs (melindungi jika), hifdzu al-diin (melindungi agama), hifdzu al-maal (melindungi harta), hifdzu al-’aql (melindungi akal), dan hifdzu al-nasl (melindungi keturunan).


Ketiga, penghargaan terhadap pluralitas. Realitas Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, keyakinan dan bahasa merupakan sebuah potensi sekaligus ancaman. Dengan paradigma pluralisme, keragaman tersebut bisa memperkokoh demokrasi.


Dalam hal ini, Gus Dur mengaitkan pluralisme dengan nilai keislaman, yaitu dengan konsep universalisme Islam. Dimana ajaran Islam yang universal tidak akan terwujud tanpa inklusifitas terhadap peradaban lain yang membuat Islam berkosmopolitan. Harus diakui, bahwa dalam proses sejarah berdirinya negara Indonesia adalah karena adanya kesadaran berbangsa ketimbang ideologi agama.


Keempat, Peningkatan Kesejahteraan Rakyat. Hal ini bertalian erat dengan bidang ekonomi. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin akan merusak sistem demokrasi. Dimana biasanya demokrasi akan dikuasai oleh yang kaya. Maka hal perlu untuk diperbaiki adalah demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan.


Dalam pandangan Gus Dur, hal ini bisa diupayakan dengan optimalisasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Bentuknya adalah dengan pemberian kredit bunga rendah sebagai modal baki UKM.


Komitmen menjaga demokrasi

sebagai tokoh yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran besarnya, Gus Dur juga pandai dalam mengimplementasikan apa yang menjadi gagasaanya. Tidak terkecuali dalam hal merawat demokrasi. Tidak heran jika Syaiful Arif menyebut Gus Dur sebagai bapak demokrasi negeri ini karena kiprahnya dalam menegakkan demokrasi sungguh luar biasa.


Dari sisi kedaulatan hukum, Gus Dur gencar menyuarakan akan adanya pengujian peraturan perundang-undangan terhadap konstitusi sebagai upaya demokratisasi. Selain itu, penting juga adanya peradilan untuk mengakomodir masyarakat yang hak konstitusionalnya ditindas. Lembaga yang diusulkan oleh Gus Dur adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Kini lembaga tersebut telah mewujud kendati tidak sama persis dengan gagasan yang Gus Dur lontarkan.


Dalam konteks HAM, Gus Dur terkenal sebagai pendekar pembela kaum minoritas. Contoh konkretnya adalah dengan memberikan legitimasi Tionghoa sebagai agama resmi di Indonesia. Perayan-perayaan umat Tiong Hoa yang sebelumnya dilarang kini bisa berjalan dengan khidmat semenjak kebijakan Gus Dur tersebut.


Selain itu, kesenjangan ekonomi yang akan merusak jalannya demokrasi juga menjadi perhatian Gus Dur. Upaya-upaya dilakukan seperti pembebasan hutang pupuk para petani untuk mempermudah kelanjutan usaha mereka. Selanjutnya, Gus Dur menyediakan pupuk-pupuk dengan harga yang jauh lebih terjangkau sehingga petani bisa melangsungkan pertaniannya dengan lebih ringan.


Gagasan-gagasan substantif dan aksi nyata Gus Dur dalam mewujudkan demokrasi sebagaimana di atas perlu dilestarikan dan terus dikembangkan. Aturan-aturan normatif harus melalui perenungan filosofis supaya menghasilkan suatu kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan bermuara pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai cendekiawan, Gus Dur telah memerankan sosok yang demokratis, sebuah keharusan bagi kita sebagai santrinya untuk meneruskan perjuangan belau.


Dikri Mulia, Santri Pesantren Luhur Ciganjur, Jakarta Selatan