Opini

Gus Yahya yang Menolak Laa Yahya wa Laa Yamut 

Sel, 26 Juli 2022 | 10:30 WIB

Gus Yahya yang Menolak Laa Yahya wa Laa Yamut 

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf. (Foto: NU Online/Suwitno)

Setelah muktamar Desember 2021, saya jarang sowan, menemui, atau ketemu Gus Yahya, Ketua Umum PBNU saat ini. Bukan menghindar, tetapi jadwal dia memang sudah sangat padat. Semua orang harus memaklumi bahwa Gus Yahya berubah. Posisi berubah, agenda berubah, pekerjaan berubah, tanggung jawab berubah, cara berkomunikasi berubah, lingkungan dan jaringan juga berubah. Ya memang harus berubah. Wajib. 


Sekarang ini, dia tidak semata-mata Yahya bin Kiai Cholil Bisri, pengasuh pesantren di Leteh, Rembang itu. Dia tidak semata-mata keponakan Kiai Mustofa atau Gus Mus. Tidak pula semata-mata posisi-posisi sosial yang selama ini diemban dan membuatnya begini dan begitu. Yang semata-mata itu saja saya yakin sudah bikin ngilu, apalagi sekarang yang tidak semata-mata itu. 


Saat ini, sekujur tubuh Gus Yahya pasti kayak digebuki malaikat. Hati dan pikirannya pasti terasa dikeremes-keremes malaikat. Malaikat? 


Saya termasuk orang yang yakin setiap orang pernah didatangi malaikat. Calon wali didatangi malaikat, pengasuh pesantren didatangi malaikat, dokter didatangi malaikat, politisi didatangi malaikat. Pelukis, sastrawan, penari, musisi, dosen, petani, bankir, teknisi nelayan, lurah, pedagang, supir taksi, tukang antar surat, calo, buzzer, admin medsos, Anda, dan semua orang di muka bumi ini pernah ditemui malaikat. Mereka semua pernah didatangi malaikat. Ngapain malaikat datang? 


Menyampaikan pesan untuk khalifah di muka bumi. Kita ini khalifah, masa tidak diberi bekal oleh Allah? 


Dalam bahasa agama, pesan ini disebut ‘wahyu’ bagi para nabi atau ‘ilham’ untuk orang-orang saleh. Bagi manusia biasa, bahasa Jawa punya istilah ‘wangsit’.


Sekian judul puisi Rendra, misalnya, pasti ada judul yang makcleng di hati. Demikian pula sekian lukisan Raden Saleh ada yang nyes di mata, lalu merembes ke hati. Sekian teorinya Einstein ada yang menggetarkan alam pikir kita. Ini dari Allah yang dikirim melalui malaikat-Nya. Percaya silakan, tidak percaya silakan. 


Memang wajar jika orang tidak sadar bahwa karyanya itu pesan dari Tuhan. Rasulullah Muhammad bin Abdullah saja pernah ragu bahwa yang sering datang itu Malaikat Jibril. 


Apakah Gus Yahya didatangi malaikat juga? 


Iya, saya yakin malaikat pernah menemui Gus Yahya. Entah di rumah Rembang, di rumah kontrakan Tebet, Kalibata, di rumah mertuanya, di kuburan, atau saat sedang menengok anaknya yang sedang nyantri. Ngomong-ngomong, apakah Ketua Umum PP Muhammadiyah ditemui malaikat juga? Sama. Tak ketinggalan pula Ketua Umum PKB. 


Saya merasakan bahwa Gus Yahya didatangi malaikat karena dia sudah tidak rileks lagi. Kata-katanya tidak terduga; maksud dan tujuannya tidak mudah ditangkap.


Bicara Gus Yahya yang tas-tes tas-tes itu sudah dari dulu, sudah biasa. Tapi sekarang, saya merasakan kata-katanya jika didengar dari dekat bikin makdeg, makprak. Pidatonya di depan para pengurus, yang sering kali terbuka dan disiarkan luas, malah terasa seperti kilat yang menyambar-nyambar. 


Saya merasakan ada kegalauan pada dirinya. Wajar. Amanah bergunung-gunung sekarang ini ada di pangkuannya. Misi ayahnya, perjuangan kakek dan buyutnya, ide Mbah Hasyim dan ratusan wali pesantren nempel di punggungnya. Cita-cita Gus Dur mencengkeram di otak kanan dan kirinya, jutaan Nahdliyin pengamal mazhab, pelaku tarekat, mengelilingnya, rapat dan dekat. 


Semua itu menutupi kesayangan dan kesukaannya sehari-hari. Istrinya ditinggal terus. Dia tidak tahu anaknya sedang ngapain di pesantren, adik-adiknya apalagi. Bahkan ibundanya terkasih sekarang ini lebih sering dibayangkan saat jelang tidur daripada bertemu. 


Jadi, sekali lagi, wajar jika kita pangling dan terkejut-kejut menyaksikan atau mendengar Gus Yahya begitu. Begitu itu gimana? Ya begitu. 


Sebetulnya, selera humor dia tidak hilang, malah levelnya naik. Bukan untuk lucu-lucuan, melainkan untuk menekuk orang-orang yang malas berpikir. Memang gak asik banget. Sedang konsolidasi organisasi pascamuktamar, kok, ada segelintir orang yang langkah-langkah dan pernyataannya tidak jelas. Pantas saja jika humor Gus Yahya terkesan marah, meski dikemukakan dengan nada seloroh. 


"PKPNU itu jangan diterus-terusin, kecuali kader NU pengin seperti BJP," katanya. 


PKPNU itu pengaderan yang diinisiasi oleh beberapa orang di NU yang kemudian dinilai "menyimpang" karena tidak menggunakan logo NU, tidak ada payung lembaganya, lepas dari struktur, dan lain-lain. Bukan PKPNU itu tidak bermanfaat; tapi indoktrinasi, merasa benar sendiri, dan kleniknya, kata Gus Yahya, bikin kader jadi militan kayak orang-orang BJP. 


BJP (Bharatiya Janata Party) itu partainya Perdana Menteri India sekarang yang bukan cuma nauzubilah fundamentalisnya, tetapi juga memolitisasi agama Hindu habis-habisan. Para aktivis PKPNU mendengar itu bersungut-sungut.


Humor Gus Yahya tentang MKNU, pengaderan oleh PBNU era Kiai Said, tak kalah nyelekit. Gus Yahya bilang materi MKNU itu seperti judul opini di koran. Saya ketawa terbahak-bahak mendengarnya. Tapi bagi aktivis MKNU, pasti bikin telinga memerah. 


Kadang-kadang, saat Gus Yahya sedang mengajak bercanda, saya ingin menimpali juga, tapi saya ngempet, takut direspons dingin-dingin saja. Humor yang direspons dingin-dingin saja itu jauh lebih tidak enak dari cinta bertepuk sebelah tangan. Terakhir saya melontarkan humor sudah lama, 2 jam sebelum Gus Yahya terbang ke Lampung untuk muktamar. Waktu itu saya tanya, "Gus, jika nanti jadi Ketua Umum, mau dipanggil Abuya atau tetep Gus atau Mas?" 


"Yang manggil aku Abuya tak keplak ndase," jawabnya sambil terkekeh-kekeh. 


Rileks adalah Kunci 

Pemimpin di manapun, di level apapun, yang punya mimpi besar, berpikir keras, bekerja keras, pasti mudah merasa kesepian. Entah kenapa seperti itu. Pemimpin-pemimpin dengan karakter demikian pasti punya kegiatan ekstra di luar rutinitas. Biasanya berhubungan dengan seni atau sesuatu yang tenang, rileks, atau yang memantik gelak tawa. 


Khalifah Harun al-Rasyid butuh Abu Nawas, Soekarno butuh seniman-seniman, Mahatma Gandhi butuh menenun kainnya sendiri. Begitu juga Gamal Abdel Nasser butuh Umi Kalsum. Gus Dur? Seabrek hobi Presiden RI ke-4 ini: dari melontar lelucon hingga menulis tentang sepak bola, dari mendengar musik klasik hingga ziarah kubur, dari Jumatan keliling hingga wayangan. 


Gus Yahya pun demikian. Savic Ali pernah merekam Gus Yahya membaca puisi. Pada 14 Juli 2022, puisi Gus Yahya muncul di akun Instagram-nya. Saya petikkan beberapa baris awalnya di sini: 


"Dua bulir berkilau di pipi. Hangat pendarnya. Atau lembut jemari? Meresap di kulit jantung? 


Kutatap dalam relung. Seolah tak mungkin."


Saya tidak tahu kenapa puisi itu diunggah di IG, saya tidak tahu juga puisi Gus Yahya ini apa judulnya. Tetapi jelas, penulisnya sedang memendam keresahan. Perasaan itu ditulis dengan terang, tanpa kiasan: "Aku bingung", napas dalam, "Aku tak mengerti perasaanku sendiri". Membaca puisi ini, sepertinya benar adanya dugaan saya bahwa Gus Yahya sedang tidak rileks, sedang pegal-pegal.


Dia juga pernah bilang para pengurus PBNU belum pernah libur, belum pernah piknik. Untung saja dia menyadari itu dan berikhtiar untuk rileks di tengah kondisi yang tidak biasa-biasa saja. Berpuisi, berkelakar, mendengar Umi Kulsum sembari mengikutinya bersenandung, dan lain-lain. 


Kesadaran Gus Yahya butuh rileks membuat saya optimis. Dan alhamdulillah, satu per satu urusan dia yang bikin kita deg-degan, was-was, bahkan skeptis, terlewati dengan mulus. Duh, saya tidak bisa makan dengan enak ditanya banyak orang terkait statement-nya tentang wacana penundaan pemilu.


"Masuk akal, tapi harus dibicarakan semua komponen bangsa," kata Gus Yahya yang waktu itu belum dilantik. 


Ramainya minta ampun dan hampir semua membuli, termasuk saya kena buli. "Belum apa-apa sudah leda-lede jagoanmu," kata seseorang lewat pesan WhatsApp kepada saya. 


Saya kemudian bertanya Gus Yahya tentang penundaan pemilu itu. Jawabnya, "Awakmu turu wae." Kamu tidur saja.


Urusan berikutnya tak kalah bikin ngilu. Beberapa hari setelah dilantik, pernyataan Gus Yahya dianggap tidak clear. Saya membelanya. Ndak mungkin Gus Yahya tidak clear. 


Dia mendukung rakyat soal semen di Rembang. Dia aktif membebaskan Kiai Aziz Kendal yang dikriminalisasi. Lah wong PWNU Jateng dan Banser dukung rakyat, masa Gus Yahya tidak tahu. Bahwa Gus Yahya lebih hati-hati, itu iya. Wajar toh, tidak frontal? 


Kalau Ketua Umum PBNU frontal, bisa rusuh di bawah. Dia harus moderat, tapi pembelaannya clear. 


Belakangan Gus Yahya digoyang lagi terkait kasus bendaharanya, Mardani H. Maming. Suaranya, baik dari internal NU ataupun dari luar, tidak terkira. Saya merem-melek merasakannya.


Peristiwa-peristiwa di atas, yang saya rasakan seperti lindu, hanyalah contoh. Masih ada beberapa lagi yang membikin kita berdebar-debar. Belum lagi saling lempar statement dengan PKB. 


Jika Gus Yahya terlihat keras dalam pidato atau dalam pembicaraan-pembicaraan internal adalah sebuah kewajaran. Tapi bahwa para "penonton" sudah tidak sabar, itu juga iya. Penonton gemes melihat tim kesayangannya tidak kunjung mencetak gol dan menang. Saya awalnya seperti penonton juga. Resah. Kok, bola tidak bisa mengarah ke depan? Ada apa muter-muter di belakang terus? Permainannya seperti tidak berkembang?


Namun belakangan, saya pelan-pelan tenang. Dalam beberapa hal, saya bisa ambil kesimpulan bahwa Gus Yahya sedang berpikir keras dan bekerja keras untuk menyelesaikan semuanya dengan baik. Dan pelan-pelan kelihatan hasilnya. 


Soal pengaderan, misalnya, Gus Yahya berhasil membuat keputusan cemerlang. Ada yang tidak puas pasti, tapi hasilnya tepat dan keren. Pengaderan sekarang ini punya payung lembaga, yaitu Lakpesdam. Proses menuju sistem yang mapan berjalan, timnya dari banyak kelompok yang berbeda, dan nama pengaderannya bikin senang 2 jenis pengaderan sebelumnya. Tampak sederhana, tapi keputusan soal pengaderan ini penting karena akan berdampak positif terhadap pergerakan organisasi ke depan dan virus kebaikan akan banyak merembes di kalangan NU berbagai tingkatan. 


Gus Yahya, saya lihat, tidak mau setengah-setengah mengambil keputusan penting dan bersifat jangka panjang. Keputusannya harus clear. Dia tidak peduli dianggap keras dan membongkar sistem. 


Agenda global Nahdlatul Ulama pun dikerjakan secara simultan dengan agenda nasional dan lokal. Sepertinya memaksa, ngoyo-woro, tapi dia menyampaikan argumentasi: 


"Kita tidak bisa menunda-nunda visi peradaban baru untuk dunia. Ini amanat para muasis NU," kata Gus Yahya kepada saya, setelah bertemu dengan Syekh Muhammad bin Abdul Karim Al Issa, Sekretaris Jenderal Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia), di Makkah pada pekan kedua bulan Juli. "Saya juga sebetulnya tidak mau buru-buru. Tapi momentumnya sekarang, kita tidak bisa menghindar." 


Setelah jadi Ketua Umum, Gus Yahya sudah bolak-balik datang ke Arab Saudi. Dari Syawal sampai hingga Dzulhijjah ini, dalam hitungan saya, sudah 3 kali, mungkin lebih. Dan kedatangan yang sekarang memanfaatkan haji untuk ketemu Syekh Muhammad bin Abdul Karim Al Issa. Agendanya mensyiarkan visi NU dan mengundang hadir di acara R20 (Religion 20) November mendatang.


Siapapun jika mengikuti langkah-langkah dan tindak-tanduk Gus Yahya akan geleng-geleng kepala, mulai dari gayanya bicara hingga isi pembicaraannya. Tampak ambisius, mengawang-awang, dan mengada-ada bagi orang yang tidak terbiasa mendengar seorang pemimpin yang punya cita-cita bersama, cita-cita tinggi. Tetapi ia punya argumen kuat, baik dari sisi kesejarahan NU ataupun konteks dunia (Islam) mutakhir.


Kegigihan dia dalam berikhtiar dan bekerja dalam memimpin NU, bahkan terlihat keras, tidak berlebihan. Ya, memang harus begitu. Ada ketidaknyamanan di sana-sini bagi koleganya, ya, wajar saja. Ada yang tidak tepat dari sisi ini dan itu, ya, wajar saja. Anggap saja ini plus minus seorang pemimpin. Dan Insyaallah, dia punya mekanisme untuk memperbaikinya. 


Gus Yahya ingin Nahdlatul Ulama hidup betul, betul-betul hidup. Dalam bahasa Arab, hidup itu berarti yahya. Dia tidak ingin setengah-setengah bekerja; dia tidak ingin laa yahya wa laa yamut, hidup entah mati wegah. Caranya? Ngotot.


Hamzah Sahal, Sekretaris LTN PBNU