Opini

Hak Pemanfaatan Air Tanah dan Amblesnya Permukaan Tanah di Wilayah Pesisir

Ahad, 29 Januari 2023 | 16:00 WIB

Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Menggarisbawahi amanat UUD 1945 ini, Jam’iyah Nahdlatul Ulama lewat Keputusan Munas Tahun 2012 menolak dilakukannya privatisasi pemanfaatan air sebagai wujud dari upaya mencegah terjadinya dampak yang lebih parah serta merugikan terhadap masyarakat dan ekologi atau lingkungan. 
 

Semangat yang dibawa Munas NU 2012 pada dasarnya adalah berusaha melakukan pembelaan atas hak rakyat untuk mendapatkan haknya atas air secara murah. Itu sebabnya, air harus dikelola oleh negara lewat Perusahaan Air Minum (PAM). Hal itu akan lain ceritanya bila diprivatisasikan, yang secara tidak langsung mengizinkan pihak swasta untuk mendirikan perusahaan air minum sendiri dan bersaing dengan Perusahaan Air Minum Negara.
 

Dampak langsung dari hasil Munas NU ini adalah dibatalkannya UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Alam (SDA) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan​​​​​​ menjadikan diberlakukannya lagi UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.

 

Problem Baru Pemanfaatan Air Tanah

Karena dilarang melakukan pengelolaan air dalam bentuk badan swasta dengan dalih bahwa pemberian hak pengelolaan adalah sama dengan pemberian hak penguasaan, maka timbul ide yang lahir dari sejumlah individu masyarakat, khususnya para pelaku usaha, yang dilatarbelakangi oleh kebutuhan pasokan air bersih guna melangsungkan usahanya. 
 

Bukan tanpa sebab. Mengandalkan pasokan air dari PAM sudah barang tentu harus mengeluarkan biaya tambahan yang besar, dan itu pasti membebani kas perusahaan. Itupun juga masih ditambah dengan kendala lain berupa debit air pasokan yang terbatas sehingga dipandang tidak mencukupi.
 

Sebab-sebab ini selanjutnya menjadi landasan timbulnya niat para pelaku usaha untuk mengambil air secara langsung dan gratis ke alam dengan jalan melakukan pengeboran (scafolding)
 

Karena jumlah pelaku usaha semakin banyak dan masyarakat juga senantiasa menderita kekurangan pasokan, maka muncul jasa-jasa scafolding yang menawarkan pengeboran air tanah tersebut. Karena dirasa dapat mengatasi kekurangan pasokan air dari PDAM, pengeboran air tanah ini kemudian berlangsung terus dan masif tanpa terkendali. 
 

 

Akibat Pengeboran Masif Air Tanah

Dampak tak langsung yang ditimbulkan oleh aktifitas pengeboran ini selanjutnya, adalah:
1.    turunnya air permukaan tanah;
2.    turunnya permukaan tanah akibat ambles; dan
3.    interusi air laut dalam bentuk banjir rob.
 

 

Fakta Penurunan Permukaan Air Tanah

Beberapa waktu ini diberitakan sejumlah daerah yang dilanda banjir rob, misalnya wilayah Jakarta Utara, Pekalongan dan Semarang. Beberapa perkampungan telah dinyatakan hilang dan berubah menjadi laut.

 

Di pesisir Pekalongan, masyarakat sekitar pantai berlomba-lomba meninggikan lantai rumahnya hingga hampir setinggi 1 meter. Diperkirakan, sekitar 40% wilayah Pekalongan ini senantiasa digenangi oleh air laut. Apa penyebabnya? Menurut penjelasan dari Badan Geologi, hal itu disebabkan telah terjadi penurunan permukaan air tanah.
 

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di sejumlah wilayah Jakarta. Bahkan diprediksi bahwa Tahun 2050, kurang lebih 95% wilayah DKI akan terendam air laut jika aktifitas penurunan permukaan tanah ini tidak bisa dikendalikan. 
 

 

Problem Kebijakan

Ternyata larangan privatisasi pengelolaan air oleh swasta belum menjadi solusi bersama guna mengatasi persoalan air. Perlu ada regulasi lain yang mampu mengurangi tindakan eksploitasi air tanah secara berlebihan oleh masyarakat. Jika tidak, maka tenggelamnya sejumlah wilayah pesisir tidak akan lagi mampu ditanggulangi. 
 

Apakah penerbitan regulasi ini tidak bertentangan dengan hak masyarakat untuk mendapatkan manfaat air secara murah? Sebab, adanya regulasi, sudah pasti meniscayakan pemanfaatan air oleh masyarakat akan menjadi berbayar sebab ada kulfah (kepayahan) untuk mewujudkannya. Simalakama memang. 

 


Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur