Opini

Hati Suhita, Kritik Perjodohan di Kalangan Pesantren

Kam, 1 Juni 2023 | 11:00 WIB

Hati Suhita, Kritik Perjodohan di Kalangan Pesantren

Para pemeran film Hati Suhita. Film yang diadaptasi dari novel laris karya Khilma Anis, Hati Suhita. (Foto: instagram @filmhatisuhita)

Novel Hati Suhita karya Khilma Anis yang filmnya sedang tayang di bioskop bercerita tentang perjodohan yang terjadi antara Rayhan Al Birruni atau Gus Birru, anak semata wayang Kiai Hannan pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar dengan Alina Suhita, anak Kiai Jabbar, seorang pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur.


Celakanya, perjodohan ini tidak berlangsung mulus kendati keduanya telah menikah. Hubungan dua anak kiai ini renggang dan dingin. Sepanjang usia pernikahan keduanya pisah ranjang, bahkan belum pernah melakukan hubungan selazimnya suami isteri.


Perbedaan latar belakang dan orang ketiga

Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan kerenggangan ini terjadi. Pertama adalah perbedaan latar belakang. Gus Birru dan adalah anak kiai yang berkuliah dan terjun ke dunia keaktivisan. Ia gemar berorganisasi, mendalami filsafat, dan mengelola penerbitan buku dan kafe. 


Sedangkan Alina adalah anak kiai yang dipingit dan menghabiskan masa remaja sebagai santri pondok salaf yang mendalami hafalan Al-Qur'an. Ia sedari kecil sudah dipersiapkan untuk menjadi menantu Kiai Hanan. Pernikahan Gus Birru juga hambar karena kehadiran masa lalu Gus Birru, yakni Ratna Rengganis. Ia adalah junior Gus Birru dalam organisasi, namun lebih aktif di lembaga pers kampus. Kepiawaian Rengganis dalam menulislah yang menjadikan keduanya akrab dan kemudian menjalin hubungan.


Kritik terhadap perjodohan di kalangan pesantren

Novel ini menarik karena hadir sebagai kritik di tengah tradisi perjodohan di kalangan pesantren dengan alasan menjaga trah. Seorang anak kiai pengasuh pesantren biasanya akan dijodohkan dengan sesama anak kiai yang dipandang setara dan bisa meneruskan trah kepesantrenan. Novel ini juga secara tidak langsung menggambarkan eksklusivitas pondok pesantren yang hanya menerima penghuni baru dalam keluarga pengasuh dari kalangan kiai pesantren juga.


Kisah Gus Birru dan Ratna Rengganis menjadi korban dengan dampak terberat mengingat hubungan kasih mereka terpaksa berakhir karena perjodohan. Gus Birru dengan wanita yang dipilih ibu-bapaknya, Alina Suhita. Ratna sendiri bukan berasal dari latar belakang santri dan putus asa bisa diterima oleh keluarga Gus Birru. Alina Suhita juga terkena batunya. Ia harus menjalani hari-hari sebagai istri yang dianggap tidak ada, bahkan oleh suaminya sendiri.


Idealisme Gus Birru

Gus Birru diceritakan tidak menyentuh, bahkan hampir tidak pernah menyapa Alina kendati mereka berdua hidup sekamar selama tujuh bulan lebih. Kelakuannya seakan menggambarkan keangkuhan dan kekeraskepalaan Gus Birru yang memang keberatan dengan perjodohannya. Di balik itu, terdapat idealisme Gus Birru yang bertekad tidak menyentuh Alina selama ia belum mencintai Alina sepenuh hati. Ia ingin 'bercinta' dengan Alina secara lahir dan batin, tidak hanya batin semua.


Kendati terang-terangan menolak perjodohan di depan Alina Suhita, ia berusaha tampak biasa saja di depan ummik dan bapaknya. Ia begitu menghormati ummiknya karena ialah yang selalu mendukung apapun yang Gus Birru cita-citakan. Sebaliknya, ia terlibat perang dingin dengan bapaknya yang selalu menuntut Gus Birru untuk mengurus Pondok Pesantren Al-Anwar, pesantren besar yang turun-temurun telah dirawat nenek moyang Gus Birru.


Kisah Pewayangan

Penulis menggambarkan Alina sebagai “mbak-mbak santri Jawa” yang punya pengetahuan luas mengenai cerita pewayangan dan para penyebar Islam di Jawa, serta filosofi-filosofi. Dalam cerita yang diambil dari sudut pandang Alina, banyak ditemukan pengkiasan apa yang dihadapi Alina dengan kisah pewayangan dan para penyebar Islam di Jawa. Tak lupa dibumbui dengan pengamalan filosofi-filosofi Jawa dalam rangka menghadapi deritanya yang begitu berat.


Penceritaan Derita Alina dan Rengganis

Menurut hemat pengulas, penulis novel cakap dalam menceritakan penderitaan Alina dan Ratna Rengganis. Kedua bagian ini diramu sedemikian rupa dengan pilihan diksi yang tepat sehingga mampu mengaduk-aduk perasaan pembaca. Kedua bagian ini menjadi pilar penting dalam menggiring emosi pembaca kepada rasa haru dan geregetan.


Meski tak dijumpai antagonis murni, namun membaca bagian curahan hati Alina Suhita dan Ratna Rengganis dapat mengaduk-aduk perasaan pembaca. Duka Alina Suhita yang mendapat perlakuan dari Gus Birru sanggup membuat pembaca merasakan rasa sedih dan geregetan sekaligus.


Nestapa yang menaungi hidup Ratna Rengganis juga tak kalah pilu. Hubungannya dengan Gus Birru yang begitu berbunga harus berakhir karena perjodohan senior yang ia cintai dengan wanita pilihan orang tuanya.


Alur yang Menanjak Terlalu Dini

Sejak bagian awal novel, pembaca akan langsung disuguhi prahara ikatan pernikahan Gus Birru dan Alina Suhita yang masih berumur jagung. Gus Birru begitu cuek dengan Alina, bahkan hingga tak mau menyentuh Alina Suhita selama lebih dari tujuh bulan. Ia juga pisah ranjang sejak hari pertama pernikahan. Menurut pengulas, bagian seyogyanya ditaruh di tengah: bagian setelah diperkenalkan siapa Gus Birru, Alina, dan Rengganis.


Namun, susunan yang seakan-akan menjadikan klimaks berada di awal adalah agar para pembaca menghujat habis-habisan Gus Birru, baru kemudian pembaca disuguhi klarifikasi Gus Birru, si pembuat onar di bab-bab awal novel. 


Tokoh-Tokoh Sempurna

Novel ini sedikit membosankan karena tokoh-tokoh utama di novel ini digambarkan begitu sempurna. Baik Gus Birru, Alina Suhita, Ratna Rengganis, Kiai dan Bu Nyai Jabbar digambarkan gilang-gemilang. Tiga tokoh utamanya digambarkan begitu rupawan dan enak dipandang. Ketiganya adalah figur-figur tanpa cela di bidangnya: Alina Suhita, si mba-mba santri Jawa yang cantik dan begitu tekun menghafal Al-Qur’an. Ia diceritakan begitu shalehah dan berpengetahuan luas dalam hal pewayangan, tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa, serta filosofi Jawa.


Rengganis, mahasiswa jelita anggota lembaga pers mahasiswa yang kritis dan piawai dalam menulis, khususnya mengenai tokoh-tokoh wanita. Ia yang awalnya cuek dengan lawan jenis, klepek-klepek ketika dihadapkan pada sosok aktivis progresif bernama Birru.


Terlebih-lebih Gus Birru. Ia digambarkan rupawan dan begitu gemilang dalam banyak hal. Ia adalah aktivis progresif yang hebat dalam mengembangkan bakat anggota dari organisasi mahasiswa yang dipimpinnya. Ia adalah pemilik percetakan tempat pesantren-pesantren di mana ia mendidik santri-santri tentang jurnalistik mencetak majalah pesantren mereka.


Gus Birru juga dinarasikan sebagai singa podium dan pengelola kafe yang berpihak pada literasi dan dakwah keagamaan. Pengulas teringat dengan tokoh-tokoh di karya-karya Habiburrahman El Syirazi yang senada. Tokoh-tokoh utama rekaan Habiburrahman pada karya-karyanya digambarkan sebagai manusia sempurna tanpa cela.


Romantisasi Perjodohan

Kendati mengkritik praktik perjodohan yang memang jamak di lingkungan pesantren, novel ini juga sekaligus meromantisasinya. Hal ini terlihat dari akhir cerita di mana Gus Birru akhirnya "menyerah" dengan apa yang dititahkan orang tuanya dan menerima Alina Suhita sebagai istri.


Di sini, seakan-akan penulis ingin menerangkan bahwa walaupun banyak kerikil tajam yang harus dilalui perjodohan Gus Birru dan Alina, namun perjodohan adalah yang terbaik dan berakhir bahagia. Perjodohan antarputra-putri kiai digambarkan sebagai jalan terbaik dalam menikahkan mereka. Sudah menjadi takdir bahwa putra kiai berjodoh dengan putri kiai pula. Mereka yang bukan berasal dari kalangan non-pesantren memang tidak pantas bersanding dengan puta-putri kiai.


Novel mungkin akan lebih hebat kritiknya jika Gus Birru akhirnya bisa memperjuangkan cinta sejatinya, Ratna Rengganis. Ending yang demikian juga bisa menampik anggapan eksklusivitas pesantren. Bagaimana dengan Alina? Ia akan jauh lebih nyambung dengan Kang Darma yang punya latar belakang sama. Lagi pula Alina juga diam-diam mencintai dan mengagumi ustaznya dulu di pesantren itu.


Rifqi Iman Salafi, alumnus Sastra Inggris UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pondok Pesantren Darus-Sunnah Ciputat, dan Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes