Opini

Inspirasi Fiqih Siyasah Ulama NU

Kam, 12 Januari 2023 | 13:00 WIB

Inspirasi Fiqih Siyasah Ulama NU

Kepemimpinan sebagai elemen utama politik menurut Imam Al-Ilustrasi: Mawardi terbagai dalam dua hal: menjaga agama dan mengelola dunia. (Foto: DOk. NU Online)

Politik adalah instrumen menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Kepemimpinan sebagai elemen utama politik menurut Imam Al-Mawardi dalam kitab yang populer di pesantren Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah wa Al-Wilayat Al-Diniyyah bertujuan untuk melanjutkan visi perjuangan Nabi Muhammad yang diringkas dalam dua hal: menjaga agama dan mengelola dunia.


Dalam konteks menjaga agama, maka seorang pemimpin sebagai pemegang kebijakan (policy maker) harus menegakkan pilar-pilar agama, seperti tegaknya shalat, zakat, ibadah haji, puasa, dan lain-lain. Dalam konteks mengelola dunia, seorang pemimpin harus melindungi segenap rakyatnya dari segala gangguan dan ancaman, mengatur peradilan yang adil, mengelola keuangan Negara yang transparan dan akuntabel, mengelola pertanian, memberantas kriminalitas, menegakkan hukum pidana, dan mengembangkan aspek keilmuan dan moralitas luhur.


Dalam Muktamar ke-11 NU di Banjarmasin pada 19 Rabi’ul Awwal 1355 H/ 9 Juni 1936 diputuskan bahwa Indonesia adalah Negara Islam karena umat Islam pernah menguasai Negara ini, meskipun pernah dijajah orang kafir. Dasar keputusan ini adalah kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyid Abdurrahman Ba’alawi. Tujuan keputusan ini tidak lain adalah menumbuhkan nasionalisme militan kepada seluruh umat Islam untuk mempertahankan Indonesia dan mengusir penjajah dengan segenap jiwa dan raga.


Para ulama Nahdlatul Ulama juga memberikan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa, khususnya dalam wilayah melakukan integrasi dan rekonsiliasi nasional dengan wawasan kebangsaannya. Mereka meneguhkan Pancasila sebagai platform bangsa yang mampu membawa kemaslahatan hakiki bangsa Indonesia.

 

Pancasila menjadi jaminan tegaknya maqasidus syariah (tujuan pemberlakuan syariat Islam), yaitu menjaga agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Semua umat beragama bebas menjalankan ibadahnya sesuai keyakinan, terjaga keselamatan dan keamanan dalam beraktivitas, mampu bekerja untuk mencukupi kebutuhan, terjamin usaha meningkatkan kualitas dalam dunia pendidikan, dan terpelihara hubungan keluarga yang dipenuhi nilai-nilai keislaman dan kebangsaan sekaligus. (Asmani, 2022)


KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh misalnya adalah salah satu eksponen ulama NU yang aktif memberikan kontribusi kebangsaan dan keumatan yang layak kita teladani dalam membumikan fiqih kebangsaan Nahdlatul Ulama. Banyak pemikiran beliau yang luar biasa. 


Pertama, KH MA Sahal Mahfudh membagi politik menjadi politik rendah dan tinggi. Politik rendah adalah politik kekuasaan pragmatis. Sedangkan politik tingkat tinggi adalah politik kebangsaan yang merukunkan bangsa dan politik kerakyatan yang selalu memberdayakan masyarakat dari berbagai aspek kehidupan.


KH MA Sahal Mahfudh mendorong para kiai dan segenap informal leader untuk aktif memberikan kontribusi kepada bangsa dan masyarakat sesuai dengan potensinya masing-masing. Jangan merasa inferior. Justru ini adalah politik tingkat tinggi yang harus dilakukan oleh segenap elemen bangsa, khususnya para tokoh masyarakat.


Kedua, KH MA Sahal Mahfudh mendorong agar dalam demokrasi, partisipasi publik secara penuh tanpa adanya ancaman, intimidasi dan paksaan dimaksimallkan. Umat Islam diharapkan mampu menjadi promotor yang menjadikan Islam sebagai kekuatan integratif.


Ketiga, KH MA Sahal Mahfudh mendorong sikap toleransi dalam interaksi dengan nonmuslim untuk menggapai kemaslahatan umum yang tidak lain adalah saling memahami satu dengan yang lain yang akan melahirkan kedisiplinan sosial. 


Pemikiran KH MA Sahal Mahfudh di atas seyogianya menginspirasi seluruh elemen bangsa untuk berjuang memberikan kontribusi kepada masyarakat dan bangsa sehingga ke depan bangsa Indonesia rukun, Bersatu, dan sarat prestasi.


Jamal Ma’mur Asmani, Wakil Ketua PCNU Pati, Dosen IPMAFA, Direktur Lembaga Studi Kitab Kuning (LESKA)