Opini

Jihad Ekonomi NU Zaman Now

Ahad, 11 Maret 2018 | 23:00 WIB

Oleh Nur Rohman Suwardi

Founding Father NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari mencetuskan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Dari Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Rais Akbar NU tersebut, semangat Muslim Indonesia terpacu, khususnya NU untuk memerangi penjajahan di bumi pertiwi; bahwa tanah air harus merdeka; bahwa mencintai tanah air atau nasionalisme adalah sebagian dari iman, adalah kewajiban bagi umat Islam.

Begitulah adagium masyhur yang digaungkan oleh Mbah Hasyim, yang akhirnya memacu semangat perjuangan bangsa Indonesia untuk lepas dari pendudukan pihak asing.

Kita tahu, Fatwa Resolusi Jihad memiliki sumbangsih besar terhadap perjuangan rakyat  Surabaya melawan 24.000 tentara Inggris, pada 10 November 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Saat itu muncul fenomena di mana masyarakat, terutama yang berada pada radius 94 km dari medan pertempuran, untuk berjuang sepenuh hati membela Tanah Air. 

Saat ini, muncul fenomena dari ghirah warga NU terkait pemberdayaan ekonomi, melalui Gerakan Koin NU. Diawali dengan tradisi jimpitan di Sukabumi, kemudian PCNU Sragen dengan massif menggalakkan program Koin (Kotak Infak) NU. Bahkan PCNU Sragen membikin Kotak Infak Raksasa, guna menampung dan menambah ghirah masyarakat untuk berbagi, untuk peduli, mengapresiasi apa yang telah diinisiasi oleh Ketua PCNU Sragen KH Ma’ruf Islamuddin. Kotak raksasa tersebut direncanakan akan dikirab, mulai dari Banten sampai Banyuwangi, dilepas oleh Presiden Jokowi dan Rais ‘Aam PBNU KH Ma’ruf Amin.

Mengapa ghirah masyarakat begitu besar? Karena, apa yang diberikan oleh masyarakat akan kembali lagi kepada masyarakat. Manfaat langsung dirasakan oleh masyarakat. Artinya, tidak ada lagi keraguan masyarakat Sragen untuk mengapresiasi; turut mengisi dan menyukseskan program Koin NU.

Tradisi jimpitan di Sukabumi telah memberi manfaat nyata kepada warga Sukabumi, berupa Klinik ZIS, Program Lampunisasi, Program Peternakan Kambing, Biaya Kematian dan Tahlil, dan seterusnya. Kemudian Sragen, menunjukkan kesuksesan program Koin NU lewat pembangungan Rumah Sakit NU Sido Waras, yang pada akhir Januari kemarin diresmikan langsung oleh Rais ‘Aam PBNU KH Ma’ruf Amin.

Dari Sragen, kesuksesan Gerakan Koin NU ditiru oleh NU Jombang, Banyumas, Kulonprogo, Tangerang Selatan, Surabaya, Kota Bandung, Semarang, Lampung, Nganjuk, dan banyak lagi daerah lainnya dengan eksplorasi program, sesuai kondisi dan potensi daerah masing-masing.

Hal demikianlah yang menjadikan penulis membuat judul Jihad Ekonomi NU Zaman Now. Bahwa sekarang saatnya ekonomi warga Nahdliyin harus ditegakkan, bahwa NU betul-betul mesti mandiri. Nahdliyin mampu berdiri di atas kaki sendiri tanpa intervensi pihak lain. Salah satunya lewat kemandirian ekonomi. Inilah jihad zaman now.

Pola Jihad Ekonomi Umat
Bicara tentang pola jihad ekonomi umat yang sesuai untuk Nahdliyin, hemat penulis ada tiga pola yang harus menjadi acuan. Pertama, pola penghimpunan atau fundraising. Sudah sejak dahulu kala, Nahdliyin akrab dengan sistem gotong-royong, entah itu lewat tradisi tahlilan, manaqiban, dan lainnya. Pola fundraising gotong royong atau jimpitan jadi model yang paling pas jika diterapkan oleh Nahdliyyin.

Warga NU, lewat kebersamaannya, semangat gotong-royongnya, menunjukkan bahwa komunitas masyarakat ini gemar membantu, gemar bersedekah. Sedekah dalam sikap hidup Nahdliyin menjadikan sukses dan berkah. Hal ini penulis saksikan dengan apa yang terjadi di Sukabumi. Spirit sedekah ini menggema di warga Sukabumi, tidak hanya warga NU, namun di luar jamaah NU, bahkan non Muslim sekali pun turut mengapresiasi dan memberikan kontribusi atas tradisi jimpitan di Sukabumi. Di situlah, menurut penulis, muncul fenomena dan gelora ekonomi mulai bangkit dan bergairah.

Kedua, pola pengelolaan. Prinsip dari pola pengelolaan yang diterapkan oleh NU, lewat lembaga NU Care-LAZISNU yaitu prinsip akuntabel dan transparan. Pengelolaan model lembaga keuangan syariah seperti BMT menjadi model yang sangat pas untuk diterapkan. Selama ini, manajemen pengelolaan dana Nahdliyin boleh dibilang kurang begitu tertib.

Maka, pola BMT ini akan menjawab bahwa manajemen pengelolaan dana Nahdliyin akuntabel dan transparan. Terbukti, BMT NU di Sumenep mampu mengelola dana sekitar 1,2 triliun, disusul Semarang 300 miliar, dan Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur dengan dana 60 miliar.

Itu hanya sebagian prestasi pengelolaan dana warga NU. Masih banyak lagi BMT NU di daerah lainnya yang luar biasa.

Pengelolaan dana NU Care-LAZISNU pun mengalami pertumbuhan yang sangat menggembirakan. Pada tahun 2016 dengan penghimpunan senilai 59 miliar menjadi capaian yang cukup baik pada awal periode. Tahun 2017 naik menjadi 210 miliar. Sangat mungkin, jika semangat kemandirian ekonomi umat terus berkobar seperti semangat Resolusi Jihad, maka capaian di tahun 2018 ini akan sampai 500 miliar bahkan mungkin sampai dengan angka 1 triliun. Ikhtiar harus terus dilakukan. Perlu juga doa serta dukungan dari kiai, pengurus NU, dan semua pihak, demi kemandirian ekonomi umat.

Ketiga, pola pen-thasaruf-an dan pendayagunaan. Komitmen dalam kemandirian ekonomi umat menjadi spirit warga Nahdliyin, karena kemandirian ekonomi merupakan amanat dari Muktamar NU ke-33 di Jombang. Hal ini bisa terwujud jika semua energi difokuskan dalam kegiatan yang tidak hanya bersifat seremonial belaka, tetapi lebih kepada aksi. Aksi atau jihad ekonomi. Lewat Muktamar di Jombang, NU berkomitmen memandirikan ekonomi, terutama warga atau masyarakat kelas bawah dan sering dianggap lemah.

Kemandirian tersebut salah satunya dilakukan Nahdliyin Blora. Hal luar biasa, bukan saja tidak mampu secara ekonomi yang memicu kemandirian Blora, namun keterbatasan fisik mereka yang tergabung dalam KomunitasDifabel Blora Mustika (DBM). Wujud kemandirian mereka pada usaha produksi batik. DBM didirikan pada tahun 2011. UKM ini dipimpin oleh Pak Ghofur (33 tahun) bersama Pak Kandar (58 tahun).

Pak Ghofur adalah warga Desa Kamolan, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora. Kedua kaki Pak Ghofur diamputasi karena tertimpa musibah sengatan listrik. Pak Ghofur pun kehilangan pekerjaan dan tidak ada yang mau menerima karena kondisi fisiknya. Sempat putus asa, ia bekerja serabutan untuk menghidupi istri dan kedua anaknya yang berusia 5 tahun dan 8 bulan. Begitu pula Pak Kandar, kedua tangannya telah diamputasi.

Bermodal nekat dan keyakinan, Pak Ghofur dan Pak Kandar merintis UKM batik. Kita pantas salut kepada semangat Pak Ghofur dan Pak Kandar karena mereka berprinsip hidup tanpa kedua kaki bukanlah alasan untuk berpasrah dan bergantung kepada orang lain.

Saat ini, berkat keyakinan dan doa mereka, tercatat ada 786 orang difabel di Kabupaten Blora yang tergabung dalam UKM DBM. Bermula dari pengelolaan yang serba sederhana, kini batik DBM sudah memproduksi sekitar 20 motif batik tulis dan 25 motif batik cap.

Prinsip lainnya yang Pak Ghofur pegang adalah meskipun tidak punya kesempatan seperti orang lainnya, mereka-lah yangmembuat kesempatan itu.

Pada akhir Februari kemarin Tim NU Care-LAZISNU kembali berkunjung ke Blora. Kunjungan tersebut untuk melaksanakan Program Pelatihan Marketing dan Penyaluran Bantuan Alat Produksi kepada UKM Difabel Blora Mustika.

Penulis berkeyakinan Nahdlatul Ulama memang harus terus mendampingi umat sebagaimana komitmennya untuk memandirikan ekonomi umat. Inilah jihad ekonomi Nahdliyin, dan sekaligus semangat untuk berkontribusi kepada agama dan bangsa.

Penulis adalah Direktur Fundraising NU Care-LAZISNU, Rais Syuriyah PCINU Hong Kong, Pembina Majelis Rajeg Tangerang.