Opini

Kaum Milenial dan Literasi Media

Kam, 31 Oktober 2019 | 08:30 WIB

Kaum Milenial dan Literasi Media

Di era banjir informasi seperti sekarang ini, cerdas dalam memilih media merupakan sebuah keniscayaan.

Oleh Ahmad Suhendra

 

Arus media informasi saat ini tidak dapat dibendung. Semua informasi dapat dengan diakses. Dengan gadget dunia serasa dalam genggaman. Kita dapat mengakses dan mendapatkan informasi dengan mudah dan cepat.

 

Kemajuan teknologi dan informasi itu ibarat pisau bermata dua. Satu sisi, kemajuan itu berdampak positif. Tapi di sisi yang lain, ia akan menyelakakan penggunanya. Sekarang, kita menjadi generasi yang hidup di tengah kemajuan teknologi dan infomrasi tersebut.

 

Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah penetrasi internet pada tahun 2018 mencapai 64,8 persen atau setara dengan 171,1 juta dari total penduduk Indonesia. Dari beragam platform media sosial yang ada, Facebook merupakan medsos yang paling sering dikunjungi (50 persen), menyusul Instagram (17,8 persen), Youtube (15,1 persen), dan Twitter (1,7 persen). Pengguna internet terbesar terdiri dari usia 15-19 tahun (91 persen), usia 20-24 tahun (88,5 persen), usia 25-29 tahun (82,7 persen), dan seterusnya.

 

Sayangnya, penetrasi yang begitu tinggi tak beriringan dengan meningkatnya pemanfaatan arus teknologi dan informasi itu secara maksimal. Masih banyak yang memanfaatkannya hanya sebatas selfie, update status dan semua yang berkaitan dengan eksistensi diri.

 

Kemajuan teknologi dan informasi memberikan kebebasan setiap orang untuk mengekspresikan dirinya. Masyarakat sebagai konsumen informasi masih banyak yang belum bisa memilih informasi yang benar atau hoaks, informasi yang bermanfaat atau tidak.

 

Buruknya, tidak sedikit sebagian kaum milenial terbawa arus dan tren negatif. Misalnya, secara tidak sadar ikut menyebar informasi palsu (hoaks), provokasi, fitnah, sikap intoleran dan anti Pancasila. Bahkan, digunakan menggerakkan masa untuk melawan pemerintah.

 

Berdasarkan pengamatan Shafiq Pontoh (2017) ada beberapa kategori hoaks yang sering diterima masyarakat. Yakni sebanyak 91, 8 persen masalah sosial politik, 88,6 persen masalah SARA, sekitar 41,2 persen tentang kesehatan, dan sebanyak 32,6 tentang makanan dan minuman.

 

Dengan banyaknya beredar hoaks dapat berdampak negatif pada tatanan sosial di masyarakat. Pertama, merugikan masyarakat karena hoaks berisi kebohongan dan fitnah. Kedua, hoaks dapat memecah belah masyarakat. Ketiga, hoaks menciptakan ketakutan dan keresahan masyarakat. Keempat, hoaks menyulut kebencian dan kemarahan sebagian orang.

 

Otak kita sudah overload dengan segala informasi yang beredar, termasuk di dalamnya hoaks. Dampak berita hoaks itu sangat signifikan, dapat mengancam hubungan keluarga sampai mengancam persatuan dan kerukunan bangsa.

 

Cerdas Memilih Media

Kehidupan kaum milenial erat dengan gadget dan smartphone. Dengan gadget dunia dan informasi dapat diakses dengan mudah. Bahkan, tidak sedikit yang mencari informasi permasalahan agama melalui gadget. Mereka mengakses internet dan media online untuk belajar agama. Keberagamaan generasi milenial terbentuk bersamaan dengan kecanggihan teknologi dan informasi.

 

Kaum milenial harus cerdas dalam memilih media. Salah memilih media, kita akan terjerumus pada pesan dan tujuan tersembunyi dari media tersebut. Tidak sedikit kaum milenial yang terbawa media yang sering dibacanya. Sebab itu butuh pengetahuan dan wawasan dalam memahami teks media.

 

Dengan literasi media dan teknologi informasi kaum milenial tidak menjadi konsumen pasif. Konsumen pasif ini yang berbahaya. Mereka tidak sadar dalam menyebarkan hoaks dan menimbulkan sebagian orang tersulut emosinya. Kaum milenial harus memahami literasi media agar menjadi konsumen aktif dalam menghadapi demokrasi arus informasi. Menurut Turow (2009), tindakan itu akan membangun kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga negara.

 

Melalui literasi media juga kita dapat membaca framing informasi atau berita yang dibangun media tertentu. Selain itu, pengetahuan literasi ini dapat mempermudah dalam mengenali tipologi dan ideologi yang diusung media tersebut. Karena teks media hanya sebuah produk yang dibuat sekelompok orang. Pada posisi ini, setiap orang memiliki tujuan dan misi dalam memproduksi teks media tersebut.

 

Sebagai kaum milenial, harus kritis saat mengakses dan membaca media. Misalnya, saat membaca konten keislaman. Tidak semua media online menyajikan konten keislaman yang moderat. Ada juga media online yang sengaja dibuat untuk menyebarkan ideologi dan paham tertentu kepada masyarakat.

 

Karena setiap media juga ada yang berisi konten-konten moderat dan radikal. Agak sulit memang dalam mengidentifikasinya. Tapi biasanya, media moderat menyediakan konten-konten keislaman yang ramah, menghindari justifikasi, menuduh pihak lain.

 

Media radikal biasanya menggiring pembacanya untuk membahas perbedaan (khilafiah) dalam Islam. Media radikal juga kerap menilai kelompok lain di luarnya bertentangan dengan Islam. Sebab itu, jangan sampai kita salah memilih media untuk bacaan. Baik sekadar mencari informasi maupun untuk mengetahui permasalahan dalam agama.

 

Pemahaman teks media menjadi kunci untuk mendapatkan makna objektif dan membangun kehidupan masyarakat. Kuatnya arus informasi harus diimbangi dengan nalar rasional dalam memahami setiap teks media. Pada titik ini kaum milenial tidak mudah diprovokasi dan digiring oleh opini publik yang menyebabkan perpecahan.

 

Sebab itu, pikir terlebih dahulu sebelum menyebarkan informasi yang kita baca di media sosial maupun media online lainnya. Begitu juga dalam mencari informasi permasalahan agama atau keislaman melalui media. Perlu nalar rasional dalam menyerap informasi yang disajikannya.

 

 

Penulis adalah Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang

 

 

-----------

Artikel ini diterbitkan atas kerja sama antara NU Online dan Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo