Opini HAUL

KH Noer Muhammad Iskandar, Mendidik Santri ala Albert Einstein

Rab, 23 November 2022 | 08:15 WIB

KH Noer Muhammad Iskandar, Mendidik Santri ala Albert Einstein

Almaghfurlah KH Noer Muhammad Iskandar, pendiri Pondok Pesantren Asshiddiqiyah. (Foto: dok. Pesantren Asshiddiqiyah)

"If you judge a fish by his ability to climb a tree, then he will spend his whole life think that he is stupid." Quote yang sudah masyhur ini adalah milik Albert Einstein. Kalau kita artikan kurang lebih begini, "Jika anda menilai seekor ikan dengan kemampuan yang dimilikinya untuk memanjat pohon, maka dia seumur hidup akan mengira dirinya bodoh." 


Dalam hemat Einstein, tidak ada manusia yang bodoh, yang ada hanya cara mendidiknya yang kurang tepat. Orang yang lebih dominan kecenderungan otak kanan, misalnya, sulit jika dipaksakan menguasai matematika. Demikian juga yang dominan otak kiri, umpama, susah jika diharuskan menguasai seni. Semua punya potensi sendiri-sendiri. 


Santri Tak Harus Menjadi Kiai 

Adalah KH Noer Muhammad Iskandar, tokoh agama Ibu Kota ini telah berhasil menerapkan prinsip pendidikan ala fisikawan teoretis kelahiran Jerman itu. Di tangan Abah Noer (sapaan akrabnya), santri tak harus menjadi kiai, ustadz, penceramah, dan sejumlah karier 'khas pesantren' lainnya. 


Santri mau jadi dokter, polisi, politikus, wartawan, seniman, dan semua profesi yang ada, asalkan halal monggo saja. Dan Abah Noer telah menerapkan pola pengajaran ini di lembaga pendidikan yang didirikannya, Pesantren Asshiddiqiyah yang terletak di Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Para alumninya tidak saja menjadi tokoh-tokoh agama, tetapi juga berkarier di hampir seluruh profesi yang ada di negeri ini. 


Selama di pesantren, santri tidak saja diajari ilmu pengetahuan, tetapi juga bekal spiritual dan keterampilan. Ketiga komponen inilah yang berhasil membentuk kader-kader bangsa yang tidak saja cakap secara intelektual, tetapi juga moral dan mampu merespons tantangan zaman dengan bekal skill yang dimilikinya. 


“Tiga pendekatan Abah Noer dalam pendidikan santrinya, yaitu spiritual, akal/keilmuan, dan keterampilan,” terang Abdul Kholiq, sekretaris Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta tahun 1987 yang juga mendampingi Abah Noer membangun dan mengembangkan pesantren, kepada NU Online, Selasa (22/11/22). 


Dari aspek spiritual, Abah Noer banyak menerapkan riyadhah wajib yang sudah menjadi kegiatan rutin seluruh santri seperti shalat jamaah, tahajud, dhuha, istighosah setiap menjelang Maghrib dan Subuh, pembacaan Ratibul Haddad, puasa Senin dan Kamis, dan puasa Daud. 


Abah Noer sendiri dikenal sebagai sosok kiai yang kuat tirakat. Salah satu yang beliau istiqomahkan selama puluhan tahun hingga akhir hayatnya adalah puasa Daud. 


Sementara dari aspek intelektual, kiai yang juga alumnus Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur itu mengharmonisasi kurikulum pesantren tradisional dan modern. Dalam kurikulum tradisional, para santri mempelajari kitab-kitab kuning yang jamak ditemukan di sejumlah pesantren salaf seperti Matan Al-Ajurumiyah, Matan Safinatun Najah, Fathul Qarib, Tafsir Jalalain, Matan Waraqat, dan sebagagainya. 


Untuk kurikulum modernnya, selain menempuh pendidikan formal untuk tingkat SMP dan Aliyah, para santri juga mempelajari dua bahasa Asing Arab dan Inggris secara intensif. 


Sedangkan dari aspek keterampilan, Asshiddiqiyah memiliki kegiatan ekstrakurikurel yang cukup beragam seperti Pramuka, PMR, Pencak Silat Pagar Nusa, Taekwondo, Hadrah, Marawis, Tari Tradisional, Akustik, Futsal dan Sepak Bola, Bola Voly, Bulu Tangkis, Bola Basket, Ceramah, dan Qira. 


“(Prinsip Abah Noer), setiap anak yang dilahirkan memiliki keistimewaan (bakat pembawaan). Antara yang satu dengan yang lain tidak harus seragam, maka pendekatan pendidikannya disesuaikan dengan talenta yang beragam tadi,” kata Abdul Kholiq. 


Perjuangan membangun pesantren 

Setelah lulus dari Pesantren Lirboyo pada 1974, Abah Noer merantau ke Jakarta memenuhi amanah gurunya untuk melanjutkan studi dengan kuliah di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ). Singkat kisah, sepuluh tahun kemudian pada 1984 beliau menerima tanah wakaf H. Rosyadi Ambari seluas dua hektare di Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 


Diawali dengan membangun mushala kecil yang sangat sederhana, beliau mulai merintis lembaga pendidikan yang dinamainya Pesantren Asshiddiqiyah. Pada awal berdirinya, minat masyarakat masih sangat minim. Seiring berjalannya waktu, Asshiddiqiyah terus berkembang dengan penambahan sekolah formal seiring dengan animo masyarakat yang mulai terlihat dan mempercayakan anak-anak mereka untuk belajar di pesantren. 


Dari tahun ke tahun perkembangan Pesantren Asshiddiqiyah semakin pesat. Kini, pesantren telah berkembang menjadi dua belas, antara lain Asshiddiqiyah Pusat Jakarta Barat, Asshiddiqiyah 2 Batuceper Tangerang, Asshiddiqiyah 3 4 5 Karawang, Asshiddiqiyah 6 Serpong Tangerang Selatan, Asshiddiqiyah 7 Cijeruk Bogor, Asshiddiqiyah 8 Musi Banyuasin, Asshiddiqiyah 9 Gunung Sugih Lampung Tengah, Asshiddiqiyah 10 Cianjur, Asshiddiqiyah 11 Waykanan, dan Asshiddiqiyah 12 Jonggol. 


Hari ini, Rabu, 23 November 2022/ 28 Rabiul Akhir 1444 H, sudah dua tahun sejak kewafatan Abah Noer pada Ahad, 13 Desember 2020/ 28 Rabiul Akhir 1442 H, pukul 13.41 WIB, di Rumah Sakit Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. 


Tulisan ini dibuat dalam rangka mengenang almaghfurlah KH Noer Muhammad Iskandar di momen haulnya yang kedua. Untuk Abah Noer, alfatihah...


Muhamad Abror, santri KH Noer Muhammad Iskandar