Opini

Kiai Wahid dan Mata Rantai yang Hilang

NU Online  ·  Selasa, 22 April 2025 | 12:25 WIB

Kiai Wahid dan Mata Rantai yang Hilang

Halaqah Pemikiran KH A. Wahid Hasyim di Gedung Negara Sumedang, Sabtu, 19 April 2025 (Foto: Panitia)

“Gus Dur duduk di tepi jalan menunggui ayahnya yang tak berdaya hingga ambulans datang. Akhirnya mereka diangkut ke rumah sakit di Bandung. Gus Dur tidak tidur, menunggui ayahnya. Pada pukul 10.30 pagi keesokan harinya, Wahid Hasyim tak lagi dapat bertahan, dan akhirnya meninggal dunia. Wahid Hasyim yang merupakan tokoh harapan banyak orang Indonesia, telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Ia meninggal dalam usia 38 tahun. Sementara Gus Dur baru berusia 12 tahun. Ketika ia membawa pulang jenazah ayahnya ke Jakarta, ia baru tahu betapa besar rasa hormat dan cinta orang kepada ayahnya. Gus Dur tercekam melihat demikian banyaknya orang yang berbaris di tepi jalan untuk memberi penghormatan terakhir kepada ayahnya. Di setiap kota dan desa, jalan-jalan dipenuhi oleh orang-orang yang berduka. Mereka menunggu dengan sabar di tengah terik matahari untuk dapat menyaksikan perjalanan terakhir seorang tokoh yang mereka cintai.”


Kalimat tersebut merupakan dua penggalan paragraf yang tertulis dalam buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, di mana Greg Barton, sang penulis buku, merekonstruksi kisah wafatnya KH Wahid Hasyim, ayah Gus Dur. Ia wafat pada tanggal 19 April 1953, sehari setelah mengalami kecelakaan tabrakan mobil di Cimahi Bandung pada sekitar pukul 13.00 WIB. 


Pada saat itu, KH Wahid Hasyim tengah dalam perjalanan menuju Sumedang, untuk menghadiri acara harlah NU. Sungguh memilukan, tokoh secemerlang KH Wahid Hasyim yang karir perjuangannya berdampak besar bagi NU, Islam, dan Indonesia, harus wafat di usia muda. Ajal telah menghentikan kiprah KH Wahid Hasyim yang telah berjuang dari sejak masa Kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, hingga masa Kemerdekaan.


Ingatan pada tulisan Barton itu menyergap begitu saja saat saya memandu Halaqah Pemikiran KH A. Wahid Hasyim di Gedung Negara Sumedang, Sabtu, 19 April 2025. Diskusi sebagai rangkaian dari haul itu dihelat oleh Lakpesdam PWNU Jabar, Pemkab Sumedang dan Yayasan KH A. Wahid Hasyim. Sekalipun tidak rutin setiap tahun, haul Kiai Wahid beberapa kali dilaksanakan oleh berbagai pihak. Namun kegiatan di Sumedang ini diharapkan dapat diselenggarakan secara istikomah setiap tahun.


Human Interest
Gus Arief Rahman putra dari Nyai Aisyah Hamid Baidlowi, anak kedua Kiai Wahid, bertutur bahwa ia dari usia sepuluh hingga 18 tahun, pernah hidup serumah dengan neneknya, yaitu Nyai Solichah. Dari neneknya inilah ia banyak mendapat cerita tentang sosok Kiai Wahid. Di antaranya, bahwa Kiai Wahid itu mulai belajar Al-Qur’an mulai usia 5 tahun dan hafal di usia 9 tahun. 


Oleh karena itu, Kiai Wahid sepanjang hidupnya selalu membaca Al-Qur’an setiap hari dalam kondisi apa pun, hingga dari remaja sampai wafatnya seringkali menamatkan Al Qur’an pada setiap 5 hari sekali. Selain itu ia selalu berpuasa sunnah setiap hari.


Kisah lainnya adalah tentang cara Kiai Wahid memilih pasangan hidup. Sebagai anak pertama KH Hasyim Asy’ari, dan pewaris pesantren Tebuireng, ditambah parasnya yang juga ganteng, Wahid muda banyak yang menaksir. Suatu ketika ada kembang desa cantik yang ingin dinikahi, namun Wahid menolaknya. Alasannya, kalau menikah dengan kembang desa itu, maka ia akan sibuk mengurusi dia dan tidak bisa diajak berjuang. Sementara Wahid muda ingin mencari pasangan yang mau diajak berjuang untuk umat. 


Hingga pada akhirnya, ia memilih putri KH Bisri Sjansuri yang bernama Nyai Solichah, seorang perempuan yang mungkin parasnya tidak begitu cantik, tapi tegas, ulet, bahkan bisa menembak dan turut angkat senjata bersama-sama ibu-ibu Muslimat NU lainnya di masa revolusi. 


Arief juga menambahkan bahwa sebagai kepala keluarga, Kiai Wahid adalah ayah yang care terhadap anak-anaknya, meski ia sangat sibuk sebagai tokoh nasional. Contoh sederhananya, setelah pindah ke Jakarta, Kiai Wahid setiap pagi sebelum ngantor, selalu menyisir dan merapikan rambut anak perempuannya, Aisah. Anak-anaknya juga diwajibkan untuk selalu istirahat tidur siang, dan tegas memberi hukuman apabila anak-anaknya melakukan kesalahan. 


Sebagai pemimpin Kiai Wahid sangat mampu membedakan antara kepentingan pribadi, golongan, dan jabatannya sebagai menteri. Perihal ini, ada salah satu kisah bahwa saat ia menjadi Menteri Agama, ibadah haji dihentikan karena Arab Saudi dilanda penyakit pes yang mematikan. Dana haji yang sudah dibayarkan oleh jamaah, dipertanyakan oleh anggota parlemen. Pemerintah mendapat mosi.


Saat menjawab mosi itu di depan anggota parlemen, Kiai Wahid dicecar pertanyaan oleh Amelz, temannya sendiri dari fraksi Partai Masyumi. Hingga hal ini membuat Nyai Solichah yang kebetulan ikut menyaksikan persidangan itu merasa sedikit jengkel. Selesai sidang, Amelz yang tidak memiliki kendaraan malah diajak pulang bareng oleh Kiai Wahid di mobilnya. Sepanjang perjalanan sikap keduanya begitu cair seolah sebelumnya tidak pernah terjadi perdebatan panas. 


Sesampainya di rumah, Nyai Solichah yang masih jengkel bertanya, mengapa orang itu malah dikasih tumpangan, jelas-jelas dalam persidangan orang itu telah menyerangnya. 


“Lho, nggak ada yang salah, dia itu mewakili Partai Masyumi menjalankan tugasnya untuk mengawasi pejabat-pejabat menjalankan departemennya. Sementara saya sebagai Menteri Agama menjalankan kewajiban saya untuk mengelola anggaran. Kami masing-masing hanya menjalankan tugas masing-masing.”


Tentu sikap keteladanan dan profesionalitas semacam itu sangat sulit ditemukan dalam kondisi perpolitikan Indonesia saat ini. Kebanyakaan sekarang ini, apabila seorang menteri berasal dari partai yang sama dengan sebuah fraksi partai tertentu di parlemen, maka biasanya pengawasan dan sikap kritis dari legislatif ke eksekutif itu seringkali menjadi tumpul. 


Mengabadikan Kiai Wahid
Tema Mata rantai yang hilang adalah penggambaran sebuah kondisi di mana ketokohan Kiai Wahid itu seolah “terjepit” di antara kemasyhuran ayah dan anaknya. Kiprah perjuangannya seperti tertutup oleh kilauan cahaya KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdurrahman Wahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa memori kolektif di kalangan Nahdliyin dewasa ini sedikit terbatas tentang beliau. Padahal sejatinya Kiai Wahid adalah mata rantai terpenting yang mentransmisikan nilai-nilai ke-NU-an menuju modernitas. Inilah yang diungkap oleh ketiga narasumber. 


Erwien Kusuma memaparkan kronik perjuangan Kiai Wahid pada masa pendudukan Jepang hingga akhir hayatnya. Isinya menjadi bukti otentik riwayat perjuangannya. Pada awalnya, NU tidak begitu dilirik oleh Jepang yang lebih cenderung lebih memperhatikan tokoh-tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia sebagai organisasi Islam yang anti Belanda. Tetapi kemudian berkat ketokohan KH Hasyim Asy’ari yang direpresentasikan oleh Kiai Wahid, NU menjadi organisasi yang diperhitungkan oleh pemerintah Jepang. 


Puncaknya, Kiai Hasyim Asy’ari ditetapkan sebagai penasehat Jawa Hooko Kai, lalu sebagai Kepala Syumubu atau Kantor Urusan Agama di tingkat pusat yang sehari-hari dijalankan oleh Kiai Wahid. Peran penting itulah yang mengantarkan Kiai Wahid untuk menjadi anggota BPUPKI, PPKI, Panitia 9 hingga Menteri Negara dalam Kabinet RI yang pertama.


Sementara itu Iip D. Yahya memaparkan relasi kuat Kiai Wahid dengan para ulama Jawa Barat, di antaranya dibuktikan dengan arsip dan foto-foto kebersamaan Kiai Wahid dengan beberapa Ajengan di Tatar Sunda. Bukan sekadar kebersamaan, Kiai Wahid telah menjadi influencer dalam banyak hal. Semisal Ajengan Ruhiyat, pendiri pesantren Cipasung Tasikmalaya, kerap meniru gaya busana Kiai Wahid yang nampak perlente dan modern. Malahan, sebuah foto memperlihatkan hal unik, di mana sehabis menamatkan kitab Jam’ul Jawami’, Kiai Ruhiat dan para santri Cipasung berfoto mengenakan jas dan dasi berpadu peci hitam “ala sunnati Wahid Hasyim.” 


Interaksi dan dialektika antara Kiai Ruhiyat dengan Kiai Wahid, telah menjadikan Cipasung sebagai pesantren yang paling awal memiliki sekolah formal seperti MI, SMP, SMA, hingga mendirikan Fakultas Tarbiyah (1965) yang bahkan tiga tahun lebih awal dari pendirian Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung (1968).


Dari fakta-fakta historis tersebut, Iip memberikan rekomendasi agar pengaruh besar Kiai Wahid Hasyim di Priangan itu dikenang dan terus diabadikan dalam bentuk uuseum. Pertama, sebagai pengikat dan penghubung Nahdliyin Sunda dengan keluarga pendiri NU. Kedua, menjadi situs baru bagi para Nahdliyin muda untuk memahami NU dari pemikiran salah seorang tokoh terpentingnya.


Dan Prof. Bambang Q. Anees yang akrab dipanggil Beqi, mengupas ragam pemikiran Kiai Wahid yang masih relevan hingga saat ini untuk kehidupan beragama, berbangsa, dan untuk kemanusiaan pada umumnya. Beqi mencermati bahwa sebelum KH Ahmad Shiddiq tahun 1989 mengenalkan Trilogi Ukhuwah (islamiyah, wathaniyah, dan bashariyah), Kiai Wahid sudah membicarakannya sejak tahun 1950-an atau bahkan mungkin sebelum itu. Ini terlihat pada tulisan Kiai Wahid Hasyim yang berjudul Nabi Muhammad dan Persaudaraan Manusia yang disampaikan dalam Pidato Perayaan Maulid Nabi pertama setelah penyerahan Kedaulatan, 2 Januari 1950.


Beqi juga mengulas pemikiran Kiai Wahid dalam kaitannya dengan kesadaran strategis umat Islam di tengah situasi geopolitik nasional dan dunia, antara lain tulisan Perkembangan politik masa Pendudukan Jepang (1945), Di belakang layar Perebutan kekuasaan di Mesir (1952), Apakah meninggalnya Stalin membawa Pengaruh pada Ummat Islam juga pada umat Islam Indonesia? (1953). Dari sejumlah artikel yang pernah ditulisnya, dapat disimpulkan bahwa Kiai Wahid itu sosok visioner yang jauh melampaui zamannya. Julukan yang sering juga disematkan para ahli kepada Gus Dur.    


Sosok Kiai Wahid memang unik. Sekalipun ia anak Rais Akbar dan pendiri NU, tetapi saat memilih aktif dalam jam’iyyah, ia memutuskannya dengan penuh perhitungan. Hal itu dapat dicermati dalam artikelnya Mengapa Saya Memilih NU. Haul adalah upaya untuk terus menyegarkan pemikiran-pemikirannya yang bahkan masih sangat aktual pada hari-hari ini. Sementara halaqah merupakan cara untuk terus menyambungkan mata rantai yang terputus agar tidak benar-benar hilang. Wallahu a’lam.


Agung Purnama, pengurus Lakpesdam NU Jawa Barat, dosen tetap Jurusan SPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan mahasiswa S3 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.