Opini

Lenggang Kangkung Israel

Sab, 10 Oktober 2020 | 15:00 WIB

Lenggang Kangkung Israel

Selama ini dunia Arab menolak berdamai dengan Israel dan hal itu tidak mengurangi sedikit pun tindak pencaplokan Israel atas tanah Palestina.

Hubungan Arab-Israel mendapat perhatian lebih belakangan ini bukan karena aksi intifadah (gerak perlawanan) warga Palestina terhadap tentara Israel, tapi kebalikannya. Yaitu pakta perdamaian Uni Emirat Arab dengan Israel (the Abraham Accord Peace Agreement) yang ditandatangani pada 13 Agustus di Gedung Putih. Dan pakta serupa antara Bahrain dan Israel di tempat yang sama pada 15 September. Dengan penandatangan itu Emirat dan Bahrain menjadi negara Arab ketiga dan keempat yang berdamai dengan Israel setelah Mesir pada 1979 dan Yordania pada 1994.

 

Meski kontroversial di mata umat Islam, melihat dari komposisi pengakuan dan penolakan terhadap keberadaan Israel, sebenarnya jumlah mereka yang menolak pendirian negara Israel amatlah kecil. Hingga September 2020, sebanyak 161 dari 192 negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengakui keberadaan negara Israel yang berdiri pada 14 Mei 1948. Tinggal 31 negara yang didominasi negara Islam anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) plus Kuba, Korea Utara dan Venezuela yang tidak mengakui Israel sebagai negara.

 

Perdamaian ini mengundang protes faksi-faksi Palestina dan negara Islam seperti Kuwait meski banyak yang diam dan menganggapnya sebagai kedaulatan negara untuk menentukan kebijakan luar negeri tanpa diintervensi oleh negara lain. Meski demikian sebuah negara bukan bebas sebebas-bebasnya dalam kebijakan luar negeri. Sebuah negara harus mempertimbangkan wacana luar khususnya pandangan organisasi internasional yang dia menjadi anggota di dalamnya. Dalam hal ini Emirat dan Bahrain adalah anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang berketetapan memperjuangan kemerdekaan Palestina.

 

Sekjen OKI Yousef al- Othaimeen mengatakan di website OKI bahwa masalah Palestina-Israel adalah masalah sentral yang menjadi sumber persatuan negara-negara anggota OKI. OKI menuntut agar Israel menarik diri dari tanah Palestina yang diduduki dan menaati resolusi PBB tahun 1967 yang membagi wilayah itu menjadi dua dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Normalisasi seperti yang dikehendaki Israel dengan sendirinya akan terjadi manakala Israel menarik diri dari tanah Palestina yang didudukinya. Bukan sebaliknya, Israel selalu menuntut normalisasi hubungan, sementara dia terus merampas tanah Palestina. Pada titik ini, maka perdamaian antara beberapa negara Arab dengan Israel adalah sebuah pelanggaran terhadap kebersamaan memperjuangan nasib Palestina.

 

Langkah Emirat yang mengakui negara Israel dianggap oleh Donald Trump sebagai pemecah kebekuan seperti dimuat koran the Economist. “Siapa yang akan menyusul kemudian?”, tanya Trump. Keberanian Emirat mengakui Israel yang akan diiringi dengan pembukaan kedutaan mengundang sejuta tanya meski dunia Arab memakluminya. Yaitu bahwa negara Israel terlalu kuat untuk dilawan dengan cara yang ditempuh selama ini. Dengan dukungan 161 negara lawan 31 negara yang kontra Israel, terlalu berat Israel dilawan secara konvensional. Perlu ditempuh cara lain yang bisa mewujudkan impian Palestina merdeka atau setidaknya Israel mau manaati batas wilayah Israel yang ditetapkan PBB dan tidak menyerobot tanah Palestina. Hal itu dengan menuruti keinginan Israel terlebih dahulu berbalik imbalan kepentingan Palestina.

 

Selama ini dunia Arab menolak berdamai dengan Israel dan hal itu tidak mengurangi sedikit pun tindak pencaplokan Israel atas tanah Palestina. Bahkan Israel semakin memperluas aneksasinya meski dikecam oleh banyak pihak. Sekarang bagaimana jika apa yang diinginkan Israel yaitu normalisasi hubungan (Arab: tatbi’) dituruti dan hubungan diplomatik dibuka satu sama lain, akankah hal ini mampu membuat Israel mendengarkan aspirasi dunia Arab setelah keinginan Israel dituruti terlebih dahulu? Barangkali inilah yang sedang dicoba Emirat.

 

Normalisasi hubungan yang diminta Israel terhadap dunia Arab adalah agar dunia Arab benar-benar bisa menerima kehadiran Israel sebagai tetangga mereka. Meski Israel hadir di kawasan dengan merebut tanah warga Palestina, tapi Israel berharap dunia Arab menerima mereka. Secara hukum, bagi Israel, Deklarasi Balfour pada 1917 yang berisi dukungan Inggris kepada warga Yahudi memiliki negara sendiri di tanah Palestina adalah cukup memberikan legalitas pendudukan Israel atas Palestina sebab Inggris adalah penguasa Palestina saat itu. Namun tidak demikian halnya bagi dunia Arab, Inggris boleh disebut penguasa tapi bukan pemilik. Inggris adalah penjajah yang tidak berhak memberikan tanah jajahannya ke warga Yahudi. Untuk itu secara hukum tetap berdirinya negara Israel adalah ilegal. Karena legalitas Israel bermasalah, maka oleh Israel penguasaan atas wilayah Palestina terus diperluas bahkan melebihi batas peta PBB untuk memperkuat penguasaan de facto atas tanah Palestina. Perkara hukum bagi Israel bisa diperdebatkan tapi penguasaan atas tanah nyata di bawah dia. Dia dapat satu setengah sementara Arab hanya setengah. Dengan asumsi penguasaan tanah bernilai satu dan hukum setengah berbagi dengan Palestina. Dengan rasio seperti itu Israel tidak terlalu dirugikan dengan perlawanan dunia Arab. Dia bisa membangun di segala bidang dan menjadi negara maju seperti umumnya negara Eropa dan Amerika dan menjadi anggota European Community biarpun dia berada di Asia.

 

Dengan posisi yang kuat seperti ini apalagi dengan dukungan mayoritas dunia, maka perjuangan kemerdekaan Palestina sulit untuk tidak mempertimbangkan tuntutan normalisasi Israel. Konsesi Emirat pun bukan tanpa balasan konsesi dari pihak Israel. Dalam hal ini setelah pengakuan itu diberikan oleh Emirat, pembangunan pemukiman warga Israel di tanah Palestina pun dihentikan oleh Israel. Ini menunjukkan bahwa ternyata kalau keinginan Israel dituruti maka dia pun menuruti keinginan dunia Islam agar menghentikan aneksasi tanah Palestina. Protes pun muncul di kalangan masyarakat Yahudi yang menolak penghentian itu. Bagi mereka tidak penting pengakuan Emirat jika harus berbalas penghentian pembangunan itu.

 

Emirat pun segera membuka kantor investasi di Israel di mana bisa dipastikan ia akan membuka lapangan kerja bagi warga Palestina yang selama ini bekerja di proyek-proyek Israel. Belum lagi sebagian warga Palestina mengajukan kewarganegaraan Israel demi menyambung hidup, sebuah fenomena yang patut dipertimbangkan pengadaan lapangan kerja oleh saudara Arab sendiri di Israel. Kebijakan Emirat yang out of the box ini setidaknya telah coba dilontarkan oleh mantan presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid, sebuah pandangan yang menuai penolakan keras dari mana pun meski tidak mungkin tidak, hal itu adalah untuk kemaslahatan saudara-saudara bangsa Palestina.

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya