Opini

Majelis Taklim Kitab Kuning, Pesantren Besar di Jakarta

Rab, 4 September 2019 | 22:00 WIB

Majelis Taklim Kitab Kuning, Pesantren Besar di Jakarta

Ilustrasi: google plus

Oleh Rakhmad Zailani Kiki
Dari tahun 2016 hingga 2018, Jakarta Islamic Centre (JIC) melakukan riset majelis taklim kitab kuning di Jakarta.  Untuk riset majelis taklim kitab kuning konvensional di DKI Jakarta dilakukan oleh JIC dari tahun 2016 sampai tahun 2017 dengan jumlah 234 majelis taklim kitab kuning.

Adapun untuk kajian majelis taklim kitab kuning online, riset dilakukan pada tahun 2018 dengan jumlah 9 majelis taklim kitab kuning online yang terbaik di medianya masing-masing. Dikarenakan beberapa keterbatasan, tentu belum semua majelis taklim kitab kuning di wilayah Provinsi DKI Jakarta masuk dalam kajian ini.

Hasil kajian ini-dengan mengkaji 234 majelis taklim kitab kuning yang tersebar di lima wilayah kota dan satu kabupaten Provinsi DKI Jakarta dengan 111 kitab kuning dari berbagai disiplin ilmu keislaman-telah dapat mewakili seluruh majelis taklim kitab kuning tersebut.

Riset yang dilakukan JIC ini dalam ruang lingkup majelis taklim kitab kuning yang diselenggarakan dan atau difasilitasi oleh masyarakat. Bukan yang diselenggarakan atau difasilitasi oleh pimpinan atau pejabat pemerintahan. Maka, majelis taklim kitab kuning yang diadakan dan atau difasilitasi di rumah Gubernur DKI Jakarta, di rumah Wakil Gubernur DKI Jakarta atau rumah Sekretatis Daerah DKI Jakarta juga di kantor atau rumah walikota dan bupati tidak termauk dalam kajian atau riset ini.

Adapun riset ini menghasilkan minimal tujuh kesimpulan, yaitu sebagai berikut: 

Pertama, dari penjelasan hasil kajian ini diketahui bahwa hampir semua disiplin ilmu keislaman diajarkan di majelis taklim-majelis taklim kitab kuning di Jakarta. Walau ada disiplin ilmu keislaman yang belum terlihat diajarkan, seperti ilmu falak (astronomi Islam), namun bukan berarti ilmu falak tidak diajarkan sama sekali di majelis taklim kitab kuning tersebut.

Mengingat kekhasan dan butuh persyaratan khusus bagi peserta didiknya, umumnya di Jakarta, ilmu falak tidak diajarkan secara klasikal, tetapi secara personal atau kelompok terbatas sehingga tidak terjangkau dalam kajian ini.

Kedua, dari penjelasan hasil kajian ini diketahui bahwa kitab tafsir yang paling populer atau banyak digunakan oleh majelis-majelis taklim kitab kuning di Jakarta adalah Tafsir Jalalain. Sedangkan kitab fiqihnya yang paling populer adalah Safinatun Naja dan Fathul Qarib. Sedangkan untuk kitab tasawufnya yang paling populer adalah Ihya Ulumiddin dan Al-Hikam.

Ketiga, kitab-kitab karya ulama Nusantara, baik yang ditulis dalam aksara Arab, Arab Melayu atau Latin, masih cukup mendominasi sebagai sumber bahan ajar kitab kuning di DKI Jakarta, yaitu Kitab Riyadhul Badi`ah, Tafsir Munir, Kasyifatus Saja syarh Safinatun Naja, Nashaihul ‘Ibad, Tanqihul Qaul, dan Uqudul Lujain karya Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani; Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin karya Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani; dan Kitab Sifat Dua Puluh, Irsyadul Anam, dan Tujuh Faedah karya Habib Utsman bin Yahya, dan Safinatun Naja karya Syekh Salim bin Sumair Al-Hadhrami.

Ada pula karya-karya ulama Nusantara yang ditulis oleh ulama era tahun 70-an sampai tahun 2000-an yang juga menjadi sumber bahan ajar di beberapa majelis taklim kitab kuning di DKI Jakarta saat kajian ini dilakukan dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2018. Salah satunya adalah Kitab Miftahus Shudur yang merupakan kitab tasawuf karya Syekh KH Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom), Kitab Misbahuz Zhulam yang merupakan kitab fiqih hadits karya Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary, Kitab Imam Syafi’i fi Madzhabaihi: Al-Qadim wal Jadid yang merupakan kitab fiqih karya Syekh Dr Ahmad Nahrawi Abdus Salam; Kitab Silsilatul Haramain yang merupakan kitab kumpulan wirid dan tawasul karya KH Abdul Hannan, Cirebon; Taysir Musykilat fi Qira'atil Ayat karya KH Abdul Hanan Said; dan Kitab Mirats yang merupakan kitab hadits (hadits qudsi) karya KH Abdurrahmin Radjiun bin Muallim Radjiun Pekojan.
 
Keempat, hampir semua kitab yang diajarkan di majelis taklim-majelis taklim kitab kuning di Jakarta yang telah dikaji mencerminkan ortodoksi Islam di Nusantara, yaitu akidahnya Asy`ari dan Maturidi, fiqihnya bermadzhab Syafi`i dan tasawufnya Imam Al-Ghazali dan Junaidi Al-Baghdadi.

Kelima, hasil kajian ini juga menunjukkan sanad atau silsilsah keilmuan dari sebagian pengajar majelis taklim kitab kuning di Jakarta memiliki ketersambungan dengan ulama Betawi, yaitu dengan KH Noer Ali, KH Abdullah Syafi`i; KH Hasbiyallah; Guru Hasan Murtoha Cawang; Muallim Thabrani Paseban; Guru Asmat; Muallim KH M Syafi‘i Hadzami; KH Rasyid Ramli (Muallim Rasyid Kampung Mangga); KH Abdul Hanan Said; Syekh Dr Nahrawi Abdus Salam; Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary; KH Abdurrahim Radjiun bin Muallim Radjiun Pekojan dan lain-lain yang sebagian besar bersanad kepada Guru Marzuqi bin Mirshod Muara, Guru Mughni Kuningan, Guru Manshur Jembatan Lima, Guru Madjid Pekojan, Guru Mahmud Romli yang juga bersanad kepada Habib Ali Kwitang dan Habib Ali Bungur.

Adapun Habib Ali Kwitang bersanad kepada Habib Utsman bin Yahya, Mufti Betawi.  Dengan demikian, dari hasil kajian ini, sanad ulama Betawi masih terus tersambung dan terjaga melalui pembelajaran atau pengajian di sebagian majelis taklim kitab kuning di Jakarta.

Keenam, sebagian para pengajar majelis taklim kitab kuning di Jakarta-baik dirinya sendiri atau gurunya-tersambung kepada Syekh Yasin Al-Fadani yang nama lengkapnya beserta gelarnya adalah Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani. Perjalanan hidupnya dalam menuntut imu dipergunakannya untuk memburu sanad, silsilah periwayatan hadits dan ijazah ilmu atau kitab, sehingga dirinya digelari Al-Musnid Ad-Dunya (pemilik sanad terbanyak di dunia).

Gelar itu diberikan kepadanya karena dirinya dipandang sebagai orang yang paling banyak memiliki sanad, bukan hanya di Makkah dan Timur Tengah, tetapi juga di dunia. Gelar Al-Musnid Ad-Dunya didapat Syekh Yasin Al-Fadani lantaran bukan hanya karena banyaknya guru yang mencapai 700 orang, tetapi lebih dilihat pada kepakarannya dalam bidang yang dia geluti.

Ketujuh, dari penjelasan hasil kajian ini diketahui bahwa sampai saat ini, Jakarta tetap menjadi “pesantren besar” bagi umat Islam.  Seratus sebelas kitab yang diajarkan di majelis taklim-majelis taklim kitab kuning di Jakarta, jika diikuti oleh seseorang secara sistematis, maka sudah cukup untuk menjadikan dirinya ulama terkemuka pada disiplin ilmu keislaman tertentu, sebagaimana para ulama terdahulu di Betawi, sebagai contoh Muallim KH M Syafi‘i Hadzami atau KH Abdurrahman Nawi yang merupakan ulama hasil didikan majelis taklim-majelis taklim kitab kuning yang dulu juga tersebar di seluruh wilayah Jakarta.
 

Rakhmad Zailani Kiki, Peneliti di Jakarta Islamic Centre dan Sekretaris RMI NU (asosiasi pesantren NU) DKI Jakarta.