Opini

Maroko, Moro, Morisco

Jum, 23 Desember 2022 | 20:00 WIB

Maroko, Moro, Morisco

Ilustrasi: peta negara Maroko. (Foto: iStock)

Nama Maroko naik daun seiring kesuksesannya masuk 4 besar atau babak semifinal Piala Dunia 2022 Qatar. Yang menarik, setelah lolos penyisihan grup, lawan Maroko adalah negara-negara yang dahulu punya cerita panjang bersama Maroko. Masuk 16 besar, Maroko bertemu Spanyol. Masuk 8 besar, Maroko bertemu Portugal. Dua negara tersebut berada di semenanjung Iberia yang umat Islam menyebutnya dengan Andalusia.


Semenjak 711-750 mereka berada di bawah kekuasaan Dinasti Umaiyah yang berpusat di Damaskus, 751 pasca tumbangnya dinasti Umaiyah oleh dinasti Abbasiyyah, Abdurrahman al-Dakhil mempertahankan kekusaan dinasti Umaiyah di Andalusia. 1050-1173 di bawah dinasti al-Murabit dan al-Muwahhid Maroko yang tunduk pada Penguasa Abbasiyah Baghdad, dan seterusnya dikuasai oleh raja-raja kecil. Penguasa muslim terakhir adalah Emir Granada, Abu ‘Abdillah Muhammad ke-12 (Spanyol: Boabdil) yang takluk pada 1492. Dia menyerahkan diri setelah sekian lama dia dan para pendahulunya membayar upeti kepada penguasa Spanyol sebagai bukti ketundukan.


Selepas itu, memasuki abad ke 15, tidak hanya kekuasaan yang hilang keberadaan umat Islam pun habis dalam tragedi pengusiran, penangkapan, penyiksaan dan pembantaian yang memaksa umat Islam pergi ke Maroko atau pindah agama Kristen dan itu pun masih terus terancam.


Di antara wilayah yang terdampak oleh berakhirnya kekuasaan Islam di Andalusia adalah negara kecil kepulauan di laut Mediteranian yang sempat dikunjungi penulis pada 1995 saat masih kuliah di Universtias al-Azhar Kairo. Saat itu, bersama seorang teman Libya, kita berjalan hingga berhenti di sebuah pub di tepi jalan. Sang kawan mencoba  berbicara dalam bahasa Arab Libya dengan yang pemilik pub yang mampu memahami meski dengan tidak mudah.

 

Dari obrolan itu, tampak  bahwa sang pemilik pub adalah keturunan Maroko meski sudah putus hubungan terlalu lama. Dari tato yang tampak di tubuhnya, menunjukkan dia adalah pemeluk Katolik. Pemilik pub pun bertanya kepada Munsif, nama kawan Libya: “kamu muslim mengapa kamu minum bir?”. “Saya muslim tapi tidak taat / ana al-muslim al-`ashi, kata sang kawan. Kata pemilik pub: “dulu orang Arab meminum ini (bir), tapi kemudian tidak”. Dia pun mengatakan bahwa istrinya adalah orang setempat. 


Dari bahasa yang digunakan, Arab dialek Afrika Utara (dengan banyak metamorfosa), menunjukkan bahwa warga Malta adalah keturunan Arab yang muslim. Nenek moyang mereka mendiami Spanyol dan Portugal selama 7 abad (711-1492) hingga penguasa Kristen memaksa mereka pindah agama atau hengkang dari Spanyol.

 

Aksi pengusiran massal masyarakat muslim dan perebutan kembali Andalus ke tangan penguasa Kristen dikenal dengan istilah reconquista atau recapturing dalam bahasa Inggris. Mereka yang bertahan dengan keislamannya dan memilih keluar dari Spanyol pindah ke Maroko demi agamanya, disebut dengan Moor / Moro (orang Maroko). Sedangkan yang memilih menetap dan mau tidak mau pindah ke agama Kristen disebut dengan Morisco.


Morisco hidup dalam pengawasan dan intimidasi  penguasa Spanyol. Di antara mereka ada yang lari ke gunung dan hidup di gua-gua untuk menghindari pemburuan. Banyak dari mereka yang sebenarnya tetap muslim tapi hanya di permukaan mengaku Kristen. Kalau di rumah mereka salat secara sembunyi-sembunyi tapi kalau di luar, jika ditanya, mereka menjawab Kristen. Tidak hanya bagi penguasa Kristen mereka dicurigai, dengan umat Islam yang di Maroko pun mereka tidak diterima dengan sepenuhnya karena dianggap pindah agama. 


Setelah lebih seabad terancam dan hidup tanpa suasana Islam, Morisco banyak yang di kemudian hari menjadi pemeluk Kristen yang 100 persen. Mereka menganut aliran Katolik yang mengidolakan Bunda Maria. Seperti tampak dari banyaknya patung ibunda nabi Isa itu di Malta. Bisa dipastikan, penduduk Malta adalah Morisco yang pada akhirnya, setelah berabad-abad, sepenuh hati memeluk Kristen.

 

Saat kunjungan ke negara itu yang merupakan destinasi utama masyarakat eropa termasuk ratu Inggris pada 1995, semula penulis mengira warga Malta yang Katolik dan berbicara bahasa Arab itu adalah keturunan Arab Lebanon atau sekitarnya: Palestina, Jordania, Suriah, Irak, dan Mesir yang populasi Kristen lumayan banyak. Tapi rupanya tidak. Mereka adalah Morisco, orang Arab yang nenek moyangnya muslim yang dipaksa masuk Kristen. Peninggalan leluhur yang tersisa adalah bahasa Arab dialek Afrika Utara yang ditulis dengan huruf latin. Seperti: “buang sampah di sini”, dalam bahasa Malta: “Termiz zibal hawn”; gereja: kanisah.


Meski mereka tidak mendukung Turki Otoman saat masuk ke kawasan, mereka tetap dianggap ancaman bagi penguasa Spanyol. Raja Philip II (1527-1598) pun  mengeluarkan dekret  yang melarang mereka berbahasa dan berbudaya Arab dalam keseharian mereka. Tapi hal itu tidak sepenuhnya terpenuhi. Dari sisi busana, mereka sudah sepenuhnya seperti masyarakat Eropa plus kalung salib dan rosario. Sudah 2 generasi Morisco dibaptis dan itu sudah cukup sebagai Katolik meski mereka berbahasa Arab. 


Penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad al-Fatih penguasa Turki Otoman pada 1453 oleh seorang pengamat disebut sebagai penyebab pengusiran umat Islam dari semenanjung Iberia yang telah mereka tempati berabad-abad. Besarnya populasi muslim di Spanyol dikhawatirkan akan menjadi modal kekuatan Turki menyerang penguasa Kristen.


Demikian juga di Malta yang semenjak abad 10-13 didominasi pemeluk Islam. Hal ini terbukti dengan adanya makam-makam Islam di Malta dan Gozo. Dokumen sejarah Normand di Sicilia dan Malta juga menyebut dominasi muslim di sana. Pada masa kekuasaan Romawi suci, kaisar Frederick II 1224-1249, dia mengusir umat Islam dari Sicilia dan Malta untuk alasan agama dan politik. 


Tidak hanya orang Islam yang diancam keberadaannya karena perbedaan agama dan budaya oleh penguasa Spanyol. Orang Yahudi pun diusir kecuali mereka mau masuk Kristen. Dalam kondisi terancam itu, mereka kaum Yahudi banyak yang hijrah ke Maroko dan  mendapat perlindungan di sana.  Puluhan ribu warga Yahudi datang dan menetap di Maroko bersama keluarga dan relasi Yahudi yang telah lama menetap dan sukses di Maroko.


Bilangan Yahudi di Maroko amatlah besar semenjak zaman dahulu, bahkan sebelum Islam, hingga akhirnya negara Israel 14 Mei 1948 dan mereka migrasi ke sana. Banyaknya simbol Palestina yang dibawa oleh suporter timnas Maroko pada piala dunia Qatar kemarin menunjukkan bargaining Maroko yang kuat terkait Isu Palestina. Mereka seolah ingin menunjukkan bahwa dahulu kaum Yahudi hidup aman di Maroko mengapa pula sekarang orang Palestina tidak merasakan yang sama.


Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya