Opini

Memaknai Keragaman Bangsa

Sab, 26 Oktober 2019 | 02:15 WIB

Memaknai Keragaman Bangsa

Ilustrasi keragaman bangsa. (via Kompas)

Oleh Fathoni Ahmad

Al-Qur’an menyatakan, diciptakan-Nya manusia berbeda suku bangsa untuk saling mengenal (lita’arafu). Keragaman menggerakkan persatuan. Keragaman juga merupakan sarana untuk kemajuan peradaban. Karena peradaban tercipta salah satunya dengan kekayaan sudut pandang dan intelektualitas banyak manusia dan perbedaan-perbedaan.

Dengan saling mengenal perbedaan, kita bisa belajar membangun peradaban. Dengan saling tahu perbedaan, maka sikap saling menghargai dan menghormati akan terbangun, dan proses belajar akan tercipta. Kesalahpahaman sering terjadi karena kita belum saling mengenal keragaman di antara kita.

Namun, tidak cukup interaksi hanya untuk mengenal yang lain, mereka pun harus juga mengenal kita. Interaksi kedua belah pihak akan melahirkan tidak hanya simpati tapi juga empati. Kalau kita meminta orang lain memahami kita, maka pihak lain pun meminta hal yang sama. Langkah awalnya persis seperti pesan Al-Qur'an, saling mengenal.

Para leluhur masyarakat Nusantara sejak berabad-abad lalu telah mencetuskan bahwa walaupun berbeda-beda, tetapi kita tetap satu (bhinneka tunggal ika). Semboyan tersebut bisa ditemukan dalam Kitab Sutasoma karya Empu Tantular yang ditulis abad ke-14 pada era Kerajaan Majapahit.

Indonesia beruntung telah memiliki falsafah bhinneka tunggal ika sejak dahulu ketika negara Barat masih mulai memperhatikan tentang konsep keberagaman. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keberagaman.

Warisan kebudayaan yang berasal dari masa-masa kerajaan hindu, budha dan Islam tetap lestari dan berakar di masyarakat. Atas dasar ini, para pendiri negara sepakat untuk menggunakan bhinneka tunggal ika yang berarti "berbeda-beda tapi tetap satu jua" sebagai semboyan negara.

Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar.
 
Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku dan agama semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang dengan mengambil peran masing-masing.

Keselarasan atau harmoni Negara Republik Indonesia yang telah tercipta selama beberapa dasawarsa oleh instrumen bernama Pancasila tetap saja mendapat rongrongan dari beberapa kelompok. Untuk melegitimasi gerakannya, mereka bahkan menenteng panji agama Islam sehingga seolah mampu mengobarkan militansi semua dari diri seseorang.

Terkait hal ini, Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sering menekankan, pada hakikatnya mental intoleran ada pada setiap manusia. Sikap ini akan meledak-ledak ketika mendapat sedikit percikan api untuk melakukan rongrongan terhadap dasar negara sehingga pemahaman anti-Pancasila menyeruak. Mereka menilai bahwa sudah semestinya sebagai negara mayoritas muslim, dasar negara yang harus diterapkan juga harus berdasarkan syariat Islam.

Di titik inilah mereka memahami Islam secara simbolik yang harus bertengger menjadi formalisasi agama dalam sistem negara. Padahal Gus Dur (2012) sendiri menyampaikan bahwa Islam tak perlu dikerek menjadi bendera. Dalam konteks bangsa Indonesia yang plural, tentu arogansi sebagian kelompok Islam yang ngotot dengan khilafah akan membuat bangsa Indonesia tercerai berai.

Apalagi kelompok tersebut tak segan-segan berlaku keras dan menghilangkan nyawa manusia jika tak sepaham dengannya. Inilah yang disebut radikalisme berbaju agama sehingga muncul tindakan terorisme. Padahal terorisme sendiri tidak mempunyai agama. Artinya, agama dan keyakainan mana pun tidak mengajarkan kekerasan, apalagi membunuh sesama manusia.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa konsep negara di kalangan kaum muslimin masih belum mendapat kesepakatan. Setidaknya kaum muslim harus menyadari dan meletakkan agama Islam sebagai ruh kehidupan bangsa dan negara. Bukan sebaliknya, agama berusaha diformalisasikan ke dalam sistem negara. Apalagi di negara yang majemuk seperti bangsa Indonesia. Belajar dari Gus Dur, seluruh bangsa hanya perlu berempati tinggi untuk mewujudkan persatuan sehingga dapat memperkuat negara.

Gus Dur (1991) memberikan penjelasan substantif apa yang telah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama. Pertama, menurut Gus Dur, NU mampu menjaga agar tetap lurus dalam memandang kenegaraan sebagai sebuah bangsa. Terminologi bangsa dalam hal ini adalah kemajemukan, keberagaman, dan perbedaan yang harus terus dirawat. Karena menurut Gus Dur, semakin berbeda kita, semakin kita mengetahui titik-titik persatuan kita sebagai bangsa.

Pandangan negara bangsa (nation state) yang terus dirawat oleh NU karena ada kecenderungan manusia ketika menjadi modern menghendaki negara ini salah satu di antara dua: lepas dari agama sama sekali (menjadi negara sekuler) atau negara dimotivasi oleh agama seperti gairah mendirikan negara Islam. Tentu paradigma ini tidak terlepas dari kehidupan bangsa Indonesia yang semakin modern.

Dalam konteks ini, menjadi bangsa Indonesia yang mampu memodernisasi tradisionalitas dan mentradisionalisasi modernitas menjadi penting seperti prinsip NU dalam menyikapi perubahan global dengan tetap berpegang teguh pada, al-muhafadzah alal qadimis sholih, wal akhdzu bil jadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).

Kedua, NU mampu menjaga agama untuk tetap mewarnai kehidupan bangsa dan negara. Artinya, kehidupan beragama tetap menjadi penopang keharmonisan bangsa karena agama pada intinya mengajarkan kebaikan. Di titik inilah masyarakat muslim penting menempatkan Islam sebagai agama publik, yakni agama yang mampu menjaga harmonisasi interaksi sosial sesama anak bangsa.

Bukan sebaliknya, menempatkan agama di menara gading sehingga buta akan kebersamaan yang justru bisa diwujudkan oleh sesama penganut agama dengan dasar muwafaqah atau kesamaan sebagai anak bangsa dari sebuah negara bangsa.
 

Penulis adalah Redaktur NU Online
 
--------------------
Artikel ini diterbitkan atas kerja sama antara NU Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo RI