Opini ESAI RAMADHAN

Mencegah Terjadinya Kekerasan di Pesantren

Rab, 12 April 2023 | 13:30 WIB

Mencegah Terjadinya Kekerasan di Pesantren

Peristiwa kekerasan yang terjadi di pondok pesantren ini menjadi sesuatu yang harus segera ditangani bersama. (Foto ilustrasi: Kemenag/Elik Ragil)

Beberapa tahun belakangan ini telah terjadi sejumlah bentuk kekerasan seksual di beberapa lembaga pendidikan keagamaan, termasuk di dalamnya pondok pesantren.Terjadinya kekerasan-kekerasan tersebut tentu sangat menyedihkan bagi kita semua. Lebih ironis dan tragisnya lagi tindak kekerasan sampai menimbulkan korban jiwa. Tak pelak hal ini membuat para wali santri merasa cemas dan khawatir terhadap putra-putrinya yang tengah menimba ilmu di pondok pesantren.


Peristiwa kekerasan yang terjadi di pondok pesantren ini menjadi sesuatu yang harus segera ditangani bersama. Pemerintah dengan segala perangkatnya harus bahu-membahu bekerja sama dengan pengelola pondok pesantren untuk melakukan tindakan-tindakan preventif guna mencegah kembali terjadinya kekerasan di pondok pesantren.


Upaya-Upaya Preventif

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama adalah melakukan pembinaan dan sosialisasi pesantren ramah anak. Kementerian Agama bersama Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak juga telah menyusun buku panduannya.


Selain itu, komunikasi dengan pihak pengelola pesantren terus kami upayakan. Kami mengingatkan kepada mereka bahwa santri adalah titipan orang tua kepada para kiai, ibu nyai, dan ustadz. Sehingga, santri harus diperlakukan seperti anak sendiri. Dengan kata lain, selain mendapatkan hak belajar santri juga harus mendapatkan perlindungan.


Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang jumlahnya lebih dari tiga puluh tujuh ribu lembaga tentu sosialisasi pesantren ramah anak ini tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Butuh waktu yang cukup serta koordinasi dan komunikasi yang baik dan intensif antara Kementerian Agama dan juga pengelola lembaga pesantren. Oleh karena itu, kami juga melibatkan Kepala Bidang dan Kepala Seksi di Kanwil Kemenag Provinsi yang bertugas dalam pembinaan pesantren untuk melakukan sosialisasi pesantren ramah anak.


Para pemangku pondok pesantren juga diharapkan membaca dan memahami regulasi-regulasi terkait dengan perlindungan anak dan perempuan. Bahkan, saya menyebutnya regulasi itu sebagai kitab kuning baru. UU pelindungan anak dan perempuan diharapkan menjadi panduan pesantren dan seluruh masyarakat Indonesia. Pengajaran di pesantren memang berbasis kitab kuning, akan tetapi para pemangku pondok pesantren juga harus belajar terhadap bentuk regulasi yang berlaku di Indonesia.


Dalam konteks Kementerian Agama, kami juga sedang berupaya menyusun Rancangan Peraturan Menteri Agama (RPMA) tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dan anak di pesantren. Saat ini proses penyusunannya sudah memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.


RPMA ini terdiri dari 8 bab dengan kurang lebih 50 pasal. Definisi kekerasan seksual dalam regulasi ini berbeda dari definisi dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Pasalnya, aturan Permendikbud memiliki klausul “tanpa persetujuan korban” untuk mendefinisikan tindakan kekerasan seksual. Dalam RPMA ini, definisi dibuat dengan pendekatan agama.


RPMA juga memuat bab pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Aturan ini akan mendorong lembaga pendidikan agama untuk membuat satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).


Dalam bab penanganan, regulasi ini akan mengatur alur pelaporan bagi korban kekerasan seksual. Kemenag akan bekerja sama dengan Dinas Sosial dan lembaga swadaya masyarakat untuk membantu mendampingi korban dari aspek psikologis. Bab ini juga mengatur sikap lembaga pendidikan terhadap pelaku dan korban.


Terkait pelaku kekerasan seksual dalam lembaga pendidikan agama, regulasi yang sedang disusun ini mengatur tentang sanksi dalam bentuk administratif dan pidana. Jika memenuhi unsur pidana, pelaku akan diserahkan ke penegak hukum.


Proses pelindungan korban tindak kekerasan pada anak dan perempuan, apalagi tindak kekerasan seksual, perlu melibatkan banyak “stakeholders”. Para pihak perlu memikirkan nasib korban kekerasan. Misalnya, apakah langsung dipulangkan ke orang tua masing-masing? Lalu bagaimana masa depan pendidikannya? Kalau korban hamil dan punya anak, bagaimana langkah dan solusinya? Kalau korban tidak mau pulang dititipkan ke siapa? Dan sederet pertanyaan lainnya yang harus menjadi perhatian bersama demi kemaslahatan semuanya.

 

Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI