Opini

Mencintai Ulama Kita: Jangan Sowan Dulu di Tengah Pandemi!

Sel, 22 September 2020 | 13:00 WIB

Mencintai Ulama Kita: Jangan Sowan Dulu di Tengah Pandemi!

Menahan sementara tadisi sowan ke kiai mungkin berat tapi itu bisa jadi salah satu cara kita mencintai beliau di tengah pandemi.

Sejak awal Maret lalu sekitar 70 kiai dan nyai telah wafat. Diduga sebagian besar dari jumlah itu ada kaitannya dengan wabah Covid-19 yang hingga kini belum terkendali di Indonesia. Sebagian ulama kita memang berstatus suspek atau bahkan terkonfimasi positif Covid-19 sebelum wafat meski tak semua fakta itu terpublikasi di media massa.


Bagi kebanyakan orang, meski baru dugaan, angka 70 ini cukup mengagetkan sebab selama ini jarang ada berita resmi seorang kiai wafat karena wabah virus Corona. Ada kesan berita seperti itu ditutup-tutupi dengan alasan-alasan tertentu yang bisa dipahami seperti khawatir mendapat stigma dari masyarakat. 


Stigma yang dimaksud adalah bahwa karena kurangnya pengetahuan masyarakat beranggapan terinfeksi virus Corona adalah aib sebagaimana aibnya HIV/AIDS. Tentu saja anggapan seperti ini tidak benar sama sekali sebab sebagaimana tha'un, orang-orang yang meninggal akibat Covid-19 adalah orang-orang yang berstatus mati syāhid. Sedangkan penyakit HIV/AIDS terjadi akibat perbuatan yang sangat buruk baik dilihat dari kaca mata medis, dan apalagi dari kaca mata agama. 


Akibat ditutup-tutupi itu, masyarakat tidak cukup mendapat informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi bahwa para kiai yang wafat selama masa pandemi ini sebetulnya banyak dari mereka meninggal akibat Covid-19. Tetapi belakangan ada perkembangan baru, bahwa beberapa kiai yang wafat pada bulan-bulan ini diakibatkan virus Corona, setidaknya ada berita itu di media sosial. Sebelumnya tidak ada pemberitaan seperti ini karena ada upaya menutupinya dari publik.


Dari perkembangan itulah, mencuat kabar mayoritas dari puluhan kiai yang wafat itu diduga akibat virus Corona sebagaimana disinggung di atas. Dugaan ini berdasarkan statemen KH Abdul Ghaffar Rozin, Ketua RMI PBNU (asosiasi pesantren NU), yang disampaikan kepada Gus Kholid Rozaq – putra menantu almarhum Mbah KH Achmad Warson Munawir Krapyak Yogyakarta beberapa hari lalu. Keterbukaan informasi ini penting bagi masyarakat karena dengan demikian mereka mendapatkan informasi yang sebenarnya bahwa virus Corona adalah ancaman nyata dan bisa menjangkiti siapa saja tanpa pandang bulu termasuk terhadap para masayikh dan kiai. 


Artinya masyarakat harus disiplin menjalankan protokol kesehatan dengan baik ketika berinteraksi dengan mereka terutama yang sudah sepuh-sepuh demi menjaga kesehatan dan keselamatan mereka dari ancaman virus Corona yang hingga kini di Indonesia telah merenggut 9.837 jiwa manusia per 22 September 2020. 


Urgensi sikap disiplin seperti itu harus dipahami dan diterapkan secara nyata sebagai cara yang bijak menghormati dan mencintai para kiai di tengah pandemi Covid-19. Namun tentu saja sikap seperti ini tidak cukup. Masih ada cara lain lagi yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mencegah para kiai terjangkiti oleh Covid-19, yakni dengan tidak sowan dulu untuk sementara waktu. 


Sejalan dengan pemikiran itu, Gus Ulil Abshar Abdalla sebelumnya dalam akun Facebooknya pada Sabtu, 19 September 2020, juga telah mengingatkan masyarakat khususnya warga Nahdliyin untuk sementara waktu tidak sowan para masayikh dan kiai dulu sebab umumnya mereka sudah sepuh sehingga sangat rentan tertular virus Corona. 


Gus Ulil mengamati orang-orang yang sowan kepada para masayikh dan kiai itu sebagian besar adalah orang-orang yang masih cukup muda umurnya sehingga bisa saja mereka ini adalah pembawa virus dengan tanpa gejala alias OTG.


Berangkat dari pemikiran dan pengamatan seperti itu, Gus Ulil memberikan imbauan lebih jauh yang berlaku sampai beberapa bulan mendatang, dan bahkan mungkin setahun hingga keadaan di Indonesia benar-benar normal dan kurva Covid-19 melandai. Imbauan itu selengkapnya adalah sebagai berikut:


Pertama, jika keadaan memaksa untuk bertemu dengan para kiai, sebaiknya tidak usah berjabat tangan, apalagi cium tangan. Menurut Gus Ulil, keinginan para santri mencium tangan kiai sangat besar, tetapi kontak langsung seperti ini di tengah pandemi virus Corona harus dihentikan untuk sementara waktu karena cukup riskan bagi para kiai jika sang santri adalah OTG. 


Dalam situasi seperti ini memang mencium tangan kiai harus dihindari karena sering kali terjadi telapak tangan para kiai menjadi basah oleh ciuman para santri. Cairan basah yang berasal dari mulut atau hidung para santri itu tidak tertutup kemungkinan mengandung virus Corona.


Kedua, masyarakat sebaiknya menghentikan atau mengurangi untuk sementara waktu mengundang kehadiran para kiai dalam acara-acara yang dihadiri orang banyak dan membentuk kerumunan para jamaah seperti walimah pernikahan dan sebagainya. Sebagai gantinya cukuplah masyarakat ngaturi pirsa (memberi tahu) saja seraya meminta doa dan restu para kiai tersebut.


Imbauan Gus Ulil sebagaimana di atas sangat penting untuk dipatuhi karena sangat relevan dengan perkembangan virus Corona akhir-akhir ini yang telah mengakibatkan banyak kiai wafat selama enam bulan terakhir ini. Peningkatan jumlah kiai wafat naik tajam selama pandemi Covid-19 ini. Jumlah ini belum termasuk para nyai yang juga wafat akibat virus ini baik yang diberitakan maupun tidak.


Fakta tersebut harus dibaca bersama oleh masyarakat terutama warga Nahdliyin sebagai warning bahwa wafatnya sekitar 70 ulama adalah angka yang sangat besar dan menyedihkan sekali sebab satu orang alim, faqih dan wira’i saja lebih utama daripada seribu ahli ibadah yang tak berilmu sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallau anhu. Rasulullah juga telah mengingatkan sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari bahwa meninggalnya ulama berarti terangkatnya ilmu mereka dari muka bumi, dan ini berarti menjadi ancaman bagi keselamatan umat dari kesesatan.


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.