Opini

Menggagas Reformasi Kesehatan di Pesantren

Sen, 24 Oktober 2022 | 18:30 WIB

Menggagas Reformasi Kesehatan di Pesantren

Santri Pesantren Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto melewati tes sepulang dari libur panjang. (Foto ilustrasi: NU Online/Rofi)

Pandemi Covid-19 menjadi titik balik kedikdayaan pesantren di bidang kesehatan. Kemampuan pesantren dalam menangani wabah Covid-19 dan memastikan kebutuhan santri terhadap kesehatan terpenuhi secara layak patut diancungi jempol. Terlebih pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menunjukkan pengakuan yang layak terhadap kemampuan pesantren dalam pengelolaan pendidikan. Selain kegiatan belajar mengajar, pengelolaan pendidikan juga meliputi hal-hal lain yang menunjangnya, termasuk penanganan kesehatan.
 

Reformasi sistem kesehatan menjadi sangat penting dalam menghadapi pandemi serta segenap permasalahan kesehatan di pesantren. Presiden Republik Indonesia pada Pidato Kenegaraan tanggal 14 Agustus 2020 memberikan arahan bahwa sektor kesehatan harus direformasi secara mendasar dengan prioritas pada pencegahan penyakit dan penerapan pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Walaupun Sistem Kesehatan Nasional telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 sebelum adanya pandemi Covid-19, namun saat ini sistem kesehatan di Indonesia dinilai masih relatif lemah lantaran kecilnya investasi di sektor kesehatan, khususnya di sektor kesehatan masyarakat. Belum lagi soal infrastruktur dan kemampuan sumber daya pada aspek promotif preventif (pencegahan) maupun kuratif (perawatan dan penyembuhan) yang juga masih lemah.
 

Gerakan Masih Lemah

Pesantren memiliki investasi yang kuat dalam sumber daya promotif preventif, tetapi lemah dalam kuratif. Sebagai upaya mewujudkan santri sehat, pesantren kuat, indonesia maslahat, pemerintah hadir dalam kebijakan Pesantren Sehat, santri husada, dan gerakan masyarakat sehat (Germas) yang dalam praktiknya memang belum kuat dalam menjaga keberlanjutan program. Gerakan ini belum massif menjadi prioritas pesantren.
 

Gerakan ini berhenti hanya di pesantren yang mendapatkan program. Dalam pelaksanaannya pun, walau ada upaya survei mawas diri pesantren, semuanya tetap memakai konsep tertentu "dari atas", bukan dari dalam pesantren itu sendiri. Misalnya, tahun ini tema yang diberikan adalah Tuberculosis (TBC) maka Germas mengangkat TBC sebagai isu utama walaupun ada permasalahan kesehatan lain di dalam pesantren yang menjadi prioritas.
 

Melalui momentum hari santri, potensi besar dunia pesantren sebagai miniatur kesehatan masyarakat terlihat sangat jelas. Santri sebagai motor penggerak kesehatan pesantren dapat menjadi roda penguat pendidikan kesehatan pesantren. Namun pemerintah perlu memperkuat aspek yang tak mampu dijalankan pesantren yakni membuat pesantren mandiri dalam kesehatan masyarakat. Perlu ada upaya penguatan kemandirian kesehatan pesantren melalui Pusat Kesehatan Mandiri Pesantren (Puskesdirtren). Puskesdirtren dapat menjadi solusi integrasi upaya promotif, preventif, kuratif kesehatan di pesantren dengan pemberdayaan kekuatan internal dan eksternal pesantren. Ada lima pilar yang perlu diperkuat yaitu (1) kurikulum sehat, (2) poskestren untuk preventif, (3) santri husada, (4) klinik pesantren, dan (5) kader sehat Nusantara melalui penguatan majelis taklim berwawasan kesehatan.
 

Pusat Kesehatan Mandiri

Potensi besar yang harus dimanfaatkan adalah reformasi kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di mana kepesertaan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sudah berjumlah 222.056.973 orang pada 28 Februari 2021 (BPJS, 2021). Artinya saat ini peserta BPJS di Indonesia sudah di angka lebih dari 70%. Di antara mereka pasti ada santri yang sudah memiliki BPJS kesehatan. Sayangnya, pengorganisasiannya belum dapat menguntungkan pesantren. Santri tidak bebas memilih faskes (fasilitas kesehatan) sesuai tempat tinggal yang paling dekat dengan pesantren. Padahal, jika pesantren memiliki faskes sendiri, pesantren akan menjadi miniatur kesehatan masyarakat yang juga produktif. 
 

Dalam menjalankan upaya promotif preventif, pesantren tetap memiliki kebutuhan dasar kuratif dan hal ini dapat terpenuhi jika pesantren memiliki akses mudah dalam kuratif melalui klinik kesehatan pesantren. Klinik ini yang akan membina poskestren melalui penguatan kurikulum kesehatan pesantren. Harapannya sesuai amanat dana abadi pesantren dalam Pasal 23 Ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2019. Pesantren mendapatkan dana afirmasi untuk pengelolaan klinik dan poskestren di pesantren. Hal ini dalam kerangka mewujudkan amanat Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional yang menyatakan salah satunya memastikan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan baik formal maupun nonformal di lingkungan Kementerian Agama menjadi peserta aktif program jaminan kesehatan nasional. Jika BPJS santri dikelola oleh klinik pesantren, pesantren akan memiliki kekuatan dalam produktivitas kesehatan, tentunya dengan pembinaan dari puskesmas setempat.
 

Pusat kesehatan mandiri pesantren menjadi konsep penguatan kesehatan secara holistik untuk pesantren. Setiap stakeholder bisa saling memperkuat satu sama lain. Kita mengambil momentum-momentum perubahan di pesantren untuk membentuk sesuatu yang bisa dilaksanakan secara sustainabel.
 

Apa saja yang bisa kita laksanakan dalam melaksanakan perubahan perilaku dan penerapan kesehatan di pesantren secara berkelanjutan? Salah satunya dengan memperkuat kurikulum-kurikulum kesehatan pesantren dengan pembinaan dari klinik dan poskestren. Pesantren memiliki sistem kurikulum muadalah. Artinya memang mereka mempunyai satu skema kurikulum dengan berbagai konsep yang berbeda-beda di setiap pesantren. Ketika kita memasukkan kurikulum kesehatan pun juga sebetulnya tidak menjadi satu kontraindikasi dengan kurikulum. Beberapa pesantren sangat mumpuni atau sangat memungkinkan merekrut satu orang tenaga kesehatan yaitu dengan cara membuat klinik atau membuat fasilitas kesehatan di pesantren tersebut.
 

Dengan adanya UU Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 pemerintah pusat dan pemerintah daerah diharapkan memberikan dukungan dan fasilitas pesantren dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan. Dukungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit berupa ruangan, sarana dan prasarana, teknologi, pelatihan keterampilan, serta dukungan dan fasilitas  lainnya. Tujuannya agar stabilitas di pesantren, termasuk unsur kesehatannya, bisa dapat berjalan dengan baik dan benar. BPJS Kesehatan sebagai satu badan yang menggerakkan atau menjalankan perintah presiden seharusnya bisa langsung bekerja sama memperkuat klinik pesantren dengan memberikan keleluasaan pesantren memindahkan faskes santri ke klinik pesantren. Tentunya hal ini akan sangat membantu dalam melaksanakan tugas promotif preventif kuratif yang juga menjadi bagian mandat BPJS kesehatan. 
 

Ketika mempunyai santri lebih dari 5000, pesantren dapat dimotivasi untuk membuat 1 faskes sendiri milik pesantren. Kapitasi dalam pengelolaan untuk operasional faskes mengacu pada kehadiran peserta BPJS. Pesantren dapat mengajukan kapitasi pemindahan kepesertaan ke faskes yang ditunjuk secara general. Artinya dana ini dapat digunakan untuk membantu mensubsidi santri-santri yang belum mempunyai kepesertaan BPJS. Sehingga keluarga di pesantren dari pengasuh, peserta didik, sampai masyarakat majelis taklim akan mendapatkan pelayanan kesehatan secara memadai. Terbentuklah satu skema sistem pesantren sehat. Beberapa moto "Santri sehat, pesantren kuat, Indonesia maslahat" yang kita harapkan benar-benar tercapai.
 

Jika santri sudah baik informasi kesehatannya maka Pesantren akan semakin kuat. Pesantren semakin kuat artinya santri dan tenaga pendidik semuanya dapat beribadah maupun mendapat pendidikan secara baik, tidak sakit dan antisipasi wabah juga akan lebih kuat. Penyakit yang bersifat komunal akan semakin cepat tertangani kemudian Indonesia maslahat karena santri sudah terpapar informasi dan masalah-masalah kesehatan. Ketika dia lulus dari pesantren maka mereka akan menjadi promotor kesehatan di mana-mana. Mereka bisa menyisipkan terkait dengan masalah-masalah kesehatan dalam dakwahnya, ibadahnya, pergaulannya maupun praktik mereka sehari-hari di masyarakat.

 

dr. M. Makky Zamzami, pengurus Lembaga Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama