Opini

Menguak Sistem Pesantren

NU Online  ·  Senin, 20 Mei 2019 | 01:00 WIB

Oleh R. Ahmad Nur Kholis 

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam salah satu artikel yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah mengisahkan bahwa ia pernah bertanya kepada Kiai Adlan Ali sebagai seorang kiai besar yang pernah nyantri kepada Kiai Hasyim As’ari. Pertanyaan tersebut kurang lebih demikian: 

“Kiai Anda belajar apa saja ketika nyantri kepada Kiai Hasyim?” Tanya Gus Dur.

“Ah, saya kepada Kiai Hasyim hanya belajar kitab Taqrib saja,” jawab Kiai Adlan.

Kiai Adlan Ali adalah seorang kiai di Jombang yang merupakan salah satu santri Kiai Hasyim Asy’ari yang menjadi kiai besar. Penulis juga pernah mendengar Kiai Ali Mushtafa di Pamekasan selama belasan tahun mondok hanya mengaji kitab Durratun Nashihin; Syarah Ibnu Aqil, Riyadlus Shalihin, dan Fathul Qarib saja selama di pesantren. 

Secara sekilas kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa muatan kurikulum di pesantren hanya sekian saja. Meskipun pernyataan ini sepenuhnya tidak dapat dibenarkan. Karena hampir semua pesantren di Indonesia mengkaji berbagai macam kitab yang ditulis pada abad pertengahan. Hal demikian ini dengan berbagai macam tema dan judul kitab yang ada. Akan tetapi setiap pesantren memiliki beberapa literature tetap yang dikaji secara kontinyu. Dalam arti bahwa ada beberapa kitab yang dikaji sampai khatam dan kemudian diulang lagi dari awal. 

Dalam kenyataannya, di sebuah pesantren ada yang menggunakan beberapa literatur lintas bidang sebagai bahan kajiannya. Seperti di Pesantren PPAI Ketapang Kepanjen yang mengkaji secara rutin kitab Fathul Mu’in,  dan Fathul Wahab yang merupakan bidang kajian fikih dan Shahih Bukhari yang merupakan kitab hadits. Beberapa literatur lain digunakan namun bisa diganti dengan kitab lain jika sudah khatam. Hal demikian ini dijalankan sejak pesantren ini diasuh pendirinya sendiri Kiai Ahmad Said sampai sekarang.

Penulis sendiri sewaktu mondok di Pondok Pesantren Sumber Bungur, sang kiai pengasuh hanya mengajarkan kepada penulis selama 3 tahun keberadaan penulis di sana kitab Matan Jurumiyyah secara rutin dan kontinyu. Dalam arti bahwa, ketika kitab jurumiyyah ini khatam maka diulangi kajiannya dari awal lagi. Adapun kitab yang lain—masih dalam satu bidang nahwu—seperti kitab Mutammimah, Kafrawi, Nubdzah dan Ibnu Aqil sebagai kajian tambahan atau sebagai mengisi kegiatan Ramadhan yang disebut kilatan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana bisa pesantren menjadi sebuah pusat studi Islam dengan kurikulum yang relative statis seperti itu? Jawabannya adalah karena kegiatan pembelajaran di pesantren mengutamakan kemendalaman dan pengamalan ilmu serta penanaman nilai moral dalam kegiatan pendidikannya. 

Kita mengetahui bahwa banyak di antara para santri pesantren terutama yang sudah senior, mengkaji satu kitab kuning kepada berbagai guru di pesantren. Hal ini dengan sendirinya membawa seorang santri ke dalam pemahaman yang filosofis setidaknya mengenai kitab tersebut. Dan pengajian tambahan sebagaimana telah disebutkan akan memperluas wawasan akan sebuah bidang ilmu tertentu.

Dengan demikian tidaklah berlebihan jika pesantren sebagai lembaga pendidikan nonformal dalam budaya pendidikannya telah membawa para santrinya ke dalam pemahaman yang menjadi tujuan dari sekolah doktoral. Tentu saja dalam bidang keislaman. Bukankah tujuan dari strata tiga adalah pemahaman filosofis akan suatu bidang ilmu bagi mahasiswanya? 

Pemahaman filosofis akan Islam ini menjadi penting bagi kita untuk menjelaskan Islam secara kaffah. Karena pemahaman filosofis ini membawa kita mengetahui konstruksi pemahaman Islam yang relatif kamil (sempurna) dan syamil (komprehensip). 

KH Hasyim Asy’ari menjelaskan mengenai adab seorang pebelajar dengan gurunya dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim. Kiai Hasyim menyebutkan ada 12 (dua belas) adab. Dan pada adab yang kedua ia menyatakan demikian:

“Pebelajar harus berusaha untuk berguru kepada orang yang sudah mempelajari ilmu syariah secara matang. Dan seorang guru itu harus kredibel dan diakui keulamaannya di masanya itu. Telah banyak melakukan telaah  dan sudah lama berijtima’ (dalam arti menguji keilmuannya) dengan sesama ulama yang lain.” (Kitab Adabul Alim wal Muta’allim halaman:29)

Dan penekanan yang penting harus diketahui adalah pada lanjutan statemen itu, yakni:
“(guru tersebut) bukanlah orang yang hanya mengambil ilmu dari lembaran-lembaran buku saja. Dan tidak pernah mengaji kepada ulama yang mumpuni.” (Kitab Adabul Alim wal Muta’allim halaman:29)

Kiai Hasyim lalu mengutip maqolah dari Imam Syafi’i yang mengatakan: “Barang siapa belajar (agama) hanya dari lembaran kertas (buku) saja, maka ia sama saja seperti menghilangkan hukum (agama) itu sendiri.” (Kitab Adabul Alim wal Muta’allim halaman:29)

Mengethui perkara di atas, adalah sangat ironi bagi kita jika kita harus belajar dari terjemahan saja. Atau bahkan belajar kepada orang yang hanya belajar dari terjemahan saja. Karena hal itu justru hanya akan mereduksi agama itu sendiri. 

Terjemahan memang mencukupi sebagai konsumsi praktis. Tapi masih jauh dari cukup untuk memahami agama sampai pada tahap tabahhur (mendalam dan luas) dalam sebuah ilmu agama. Dan sangat jauh dari cukup untuk memahami agama secara filosofis. Sehingga adalah tidak pantas bagi seseorang yang hanya membaca terjemahan Al-Qur’an misalnya lalu membuka pengajian untuk umum dengan dalih mengkaji agama. Sebagai tabligh mungkin saja bisa dibenarkan. Akan tetapi sebagai kajian agama untuk memfonis bahwa ini benar ini salah dan apalagi hanya untuk menyalahkan orang lain dan merasa dirinya paling benar, adalah sebuah kesalah kaprahan yang luar biasa.

Mungkin saja orang yang demikian ini tersalah dalam memahami makna dakwah yang berarti tabligh untuk menyampaikan Islam dengan ta’lim yang berarti kajian Islam. Maka dari itu jika ingin mengaji agama, marilah ke pesantren.


Penulis adalah Nahdliyin, tinggal di Malang