Opini

Meninjau Kembali Hadits 'Islam yang Asing'

Ahad, 4 Juni 2017 | 05:27 WIB

Oleh Miftakhur Risal

Dalam berbagai kesempatan, kita sering mendengar soal keterasingan dan keanehan Islam. Bahwa Islam dimulai dengan keadaan yang asing dan aneh, selanjutnya akan berakhir dalam keterasingan dan keanehan pula. Diucapkan dalam khutbah dan ceramah untuk membesarkan hati mereka yang “galau” dalam hijrahnya. Seolah ada pemahaman bahwa Islam yang benar adalah Islam yang teralienasi. Yang asing dan tidak familiar, itulah Islam yang sejati.

Seseorang yang pindah (hijrah) dari sifat dan laku non-Islami menuju jalan hidup yang dianggapnya lebih Islami, memang kadang diselimuti kegalauan. Seseorang yang baru saja memutuskan bercadar, misalnya, harus menata diri berjumpa dengan kawan-kawan lamanya yang tidak sepemahaman. Saya tidak ingin membahas soal hukum cadar, tapi kondisi seperti ini jelas memerlukan pegangan yang kuat. Hadits soal “asingnya” Islam adalah satu di antaranya.

Kondisi di atas sebenarnya bukanlah masalah serius. Menjadi genting ketika hadits yang sama digunakan oleh para pendukung radikalisme dan terorisme. Seolah menjadi pembenar bahwa meski tindakannya dikutuk mayoritas umat beragama, ia tetaplah aksi yang heroik. Tidak mengapa ada anggapan  aneh dan “asing”. Toh Islam juga dimulai dari situasi yang aneh dan asing. Kira-kira seperti itulah argumen yang sedang dibangun.

Doktrin seperti ini nyata. Kita bisa melacaknya jika memiliki banyak waktu untuk lakukan cyber-patrol. Cukup banyak penghuni dunia maya yang sorak-sorai rayakan aksi teror, alih-alih mengutuknya. Mengambil sisi mendukung tindakan pemerintahan yang (dalam kacamata mereka) thaghut. Hal yang demikian, saya rasa patut diluruskan.

Hadtis keterasingan Islam yang dimaksud, tertuang dalam Shahih Muslim dari Abi Hurairah yang berbunyi:

إنّ الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا كما بدأ، فطوبى للغرباء

“Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing”

Merujuk pada sejarah Islam awal, keadaan asing yang dimaksud cukup beralasan. Nabi diutus dengan ajaran tauhid di tengah masyarakat yang mayoritas menyembah banyak berhala. Islam datang dengan ajaran-ajaran yang sebagian besarnya asing di telinga masyarakat. Keadaan asing yang dimiliki oleh Islam awal ini cocok digambarkan dengan hadits di atas.

Lantas bagaimana dengan keadaan Islam di masa depan? Apakah akan betul-betul asing seperti awal kehadirannya?

Pertama, perlu kita kompromikan hadits tersebut dengan ayat 33 dari at-Taubah yang artinya:

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.”

Potongan ayat di atas berbicara mengenai janji Allah yang akan memenangkan Islam atas kelompok lain. “Menang” di sini tentu masih butuh banyak penafsiran. Namun tetap saja, menang dan asing adalah dua hal yang bertolak belakang. Pemenang biasanya akan dikenal, atau yang dikenal biasanya adalah yang menang. Bagaimana mungkin Islam dalam keadaan asing, tapi menjadi pemenang? Atau bagaimana mungkin Islam menang tapi tetap terasing?

Ada banyak tawaran untuk memaknai arti “asing” pada hadits tersebut. Salah satunya dengan mencerna riwayat Sahl bin Sa’d al-Sa’idi. Berdasar riwayat tersebut, ada penambahan kalimat tanya yang berbunyi, “siapakah mereka yang asing itu?” Rasul menjawab, “orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia yang berbuat kerusakan”.

Dengan mengambil tawaran makna ini, bisa kita ajukan pertanyaan: apakah aksi teror adalah aksi perbaikan? Apakah sekian banyak manusia di Kampung Melayu, misalnya, sedang berbuat kerusakan, sehingga perlu “diperbaiki” dengan bom? Atau bukankah justru pelaku teror itu sedang—literally—melakukan kerusakan itu sendiri? Ini pertanyaan yang mestinya tidak terlalu sulit dijawab.

Alternatif pemaknaan yang kedua adalah dari riwayat Amr bin ‘Ash. Ketika Rasulullah Saw ditanya perihal orang asing yang beruntung tersebut, Rasulullah Saw menjawab, “Mereka (orang asing) adalah orang-orang salih di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang buruk. Yang membangkang orang-orang shalih, lebih banyak dari yang menaatinya”.

Dalam kerangka ini, maka perlu dibuat kategori asing:

1. Asing dalam kebenaran di tengah masyarakat yang batil.
2. Asing dalam kebatilan di tengah masyarakat yang benar.

Jadi, tidak serta merta keterasingan dimaknai sebagai sesuatu yang Islami. Salah besar jika ada anggapan “semakin asing seseorang, semakin ia dekat dengan Islam”. Bukan begitu!

Yang juga menarik adalah jika memaknai “orang asing” sebagaimana riwayat Imam Baihaqi yang mengisahkan dialog antara Umar bin Khattab dan Mu’adz bin Jabal. Mu’adz menceritakan pada Umar satu hadits dari Rasulullah Saw yang berbunyi:

“Allah mencintai orang-orang yang tersembunyi, takwa, dan suci. Ketika mereka tidak ada, masyarakat tidak merasa kehilangan; ketika mereka ada, masyarakat tidak menyadari. (Namun demikian) Hati mereka (seperti) lampu-lampu hidayah, mereka keluar (menjauh) dari fitnah”. Gambaran di atas sangat identik dengan laku para sufi. Low profile, tidak menonjolkan diri, hidup damai, dan tentram. Jauh dari hingar-bingar kehidupan duniawi.

Apa pun yang digunakan untuk memaknai “orang asing”, tidak ada satupun yang bisa menjadi pembenar untuk pelaku teror.

Sebebarnya, hadits tersebut juga sama sekali tidak berisi perintah untuk mengasingkan diri. Untuk jauh dari kerumunan. Di banyak kesempatan justru sebaliknya, kita diminta untuk ambil peran dalam kehidupan masyarakat. Umat Islam diminta menjadi ummatan-wasathan. Secara literal berarti umat yang berada di tengah. Namun, secara kontekstual adalah umat yang senantiasa mengambil peran.


Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta; penyuka kajian keislaman dan bahasa; penikmat film