Opini “Masa Depan” Departemen Agama

(Menjernihkan Citra Depag, Kembali ke Khittah 1946)

NU Online  ·  Sabtu, 12 Januari 2008 | 02:34 WIB

Oleh: Abdul Halim Fathani*)

Memang patut disayangkan kalau Depag (juga tubuh pemerintahan yang lain) menuai citra yang buruk. Padahal, lembaga ini adalah penjaga utama moralitas bangsa dan negara. Secara sosiologis, praktik korupsi di departemen yang membawa "kata" agama ini, muncul dua pandangan berbeda. Kelompok pertama termasuk ke dalam kelompok orang yang hyperperception, yaitu orang yang memosisikan Depag sebagai lembaga orang "bersih", yang mengelola masalah keagungan dan keluhuran budi. Depag dianggap penjaga gawang dari elite moral. Sementara kelompok lain, memosisikan orang Depag adalah manusia biasa, yang memiliki potensi dapat dirayu materi. Kelompok terakhir ini memosisikan orang Depag, atau lembaga Depag setara dengan lembaga lainnya. Dapat disebut dengan kelompok underpercep<>tion, yaitu kelompok yang memersepsikan lembaga pemerintah sebagai sesuatu hal yang rendahan, korup, dan buruk. (Sudarma, 2005).

Indikasi korupsi di tubuh Depag perlu didudukkan secara proporsional. Tidak  boleh dipolitisasi dan dijadikan arena pembunuhan karakter, yang pada  gilirannya membuat buruk dan anjlok citra Depag. Kalau memang kesalahannya  terletak pada administrasi dan prosedur, tinggal diperbaiki, dan para pejabat  yang disangka harus direhabilitasi. Sebaliknya jika memang kesalahan pidana, biarlah hukum yang berbicara demi tegaknya supremasi hukum.

Persoalan KKN di Depag atau departemen lain, di pusat atau daerah, harus  didekati secara hukum. Namun pendekatan lain, seperti moral-kultural, juga dapat digunakan guna menumbuhkan kesadaran dan keinsyafan. Di antara faktor penyebab seringnya Depag disorot, karena lunturnya semangat pengabdian dan keikhlasan bekerja pegawainya. Ketika Depag didirikan lebih setengah abad lalu, pengabdian dan keikhlasan merupakan ikon perjuangan. Itu sebabnya semboyan Depag adalah Ikhlas Beramal.

Menengok Sejarah

Dibanding lahirnya departemen lain yang rata-rata mulus, lahirnya Depag paling sulit, alot, membutuhkan kegigihan dan pengorbanan besar. Ini karena lahirnya  Depag 3 Januari 1946, dilatari kondisi revolusi dan transisi, antara masa penjajahan dan kemerdekaan. Penjajah Belanda, menurut Deliar Noer (1983), memperlakukan umat Islam sangat diskriminatif, berbagai urusan keagamaan dipersulit. Bagi Belanda ini disengaja agar penyebaran dan kemajuan Islam terhambat. Bila Islam kuat, antipati terhadap penjajah menguat pula, sebab umat Islam paling gigih melakukan perlawanan.

Ketika kemerdekaan diraih, pendirian Depag mengalami kendala hebat. Panitia ad-hoc yang diketuai Ahmad Soebarjo yang berkali-kali meminta agar departemen ini segera dibentuk, selalu terbentur. Tokoh Islam dan muslim nasionalis yang duduk dalam PPKI/KNIP tidak satu kata. Ada yang menyarankan, masalah agama cukup ditangani kementerian pendidikan, urusan agama tidak usah ditangani negara, dan agama harus dipisahkan dari negara (politik). Saat itu ide sekularisme sudah tumbuh akibat penjajahan Belanda yang sangat lama.

Sampai di sini, usaha mendirikan Depag gagal. Tetapi ulama dan tokoh Islam tidak menyerah. Akhirnya, supaya potensi kekuatan umat Islam yang sangat dibutuhkan mempertahankan kemerdekaan tetap utuh (mengingat NICA-Belanda datang kembali ingin menjajah), dan agar tidak terlalu mengecewakan umat Islam, Depag  pun terbentuk. Sekiranya negara tidak kritis, tak mustahil Depag gagal berdiri, seperti gagalnya menggolkan Piagam Jakarta. Para Menteri Agama yang duduk di  masa-masa awal, berusaha meyakinkan bahwa Depag benar-benar diperlukan dan sangat fungsional. Menteri Agama Prof Dr Mohammad Rasyidi, dalam Konferensi Depag di Surakarta 17-18 Maret 1946 mengatakan, berdirinya Depag di samping  realisasi pasal 29 UUD 1945, juga untuk mengakhiri dampak kebijakan Belanda dan  Jepang memecah belah umat. (Barjie, 2005).
 
Semangat Khittah 1946

Merenungi deskripsi historis di atas, seyogyanya orang-orang Depag kembali ke  khittah 1946. Nilai-nilai dasar kejuangannya harus benar-benar dihayati. Dengan segala kegigihan dan kerendahan hati, founding fathers negeri ini sekaligus juga pendiri Depag telah menyontohkan sikap yang sangat luhur dan  mulia. Bila proses berdirinya Depag dihayati, orang akan berpikir berkali-kali untuk berperilaku negatif, apapun bentuknya.

Sama dengan maraknya korupsi di negeri ini, sangat bertentangan dengan cita-cita pejuang bangsa. Jutaan pahlawan dan pejuang rela berkorban jiwa-raga, darah dan harta benda, mengusir penjajah untuk kebaikan anak cucunya. Mereka tidak menyangka pasca merdeka banyak pejabat, elit dan pengusaha hitam berlomba korupsi, sehingga terjadi ketidakadilan dan keterpurukan bangsa. Jadi siapapun pelaku KKN, selain menyalahi agama hakikatnya juga mengkhianati perjuangan pendiri  bangsa.

Orang Depag selayaknya membaca kembali tentang perjuangan historis pendahulunya. Diharapkan ini dapat menjadi kendali agar kinerja mereka senantiasa berlandaskan “pengabdian”, “kejujuran”, dan “keikhlasan”, sehingga ada keunggulan komparatif orang Depag. Kepentingan dan kemaslahatan umat harus di atas segalanya. Juga perlu ada upaya profesionalisasi manajemen dalam segala aspek di lingkungan Depag, baik di tingkat pusat maupun daerah.

*) Peneliti pada Lingkar Cendekia Kemasyarakatan (LACAK) Malang                                                                       

Citra negatif birokrasi pemerintahan di negara kita seolah-olah makin lama makin tumbuh subur. Inilah hukuman "sosial" yang melekat dalam diri budaya birokrasi negara ini. Lihat saja, mulai manajemen ruwet yang selalu mengiringi dalam pelayanan masyarakat, mahalnya ongkos pendidikan, bantuan pemerintah yang tidak tepat sasaran, mementingkan golongannya sendiri, tidak aspiratif, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan hal negatif lainnya. Hampir setiap hari, media massa, televisi memberitakan kelakuan buruk pemerintah, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Begitu juga Departemen Agama, ia sering disorot media, apalagi akhir-akhir ini yang bersamaan dengan penyelenggaraan ibadah haji, depag masih dinilai tidak becus untuk menyelenggarakakan ibadah haji yang profesional.