Opini

Merayakan Penjajahan

Kam, 17 Agustus 2023 | 12:00 WIB

Merayakan Penjajahan

Kemerdekaan tidak akan pernah dinikmati oleh siapa pun yang rakus dan tak pernah selesai. Dalam selesai terkandung rasa cukup dan keikhlasan. (Ilustrasi: NU Online)

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.


Dalam pekik kemerdekaan selalu muncul euforia kebebasan. Kebebasan karena diri kita merasa telah lepas dari cengkeraman para penjajah. Penjajah yang dimaksud tentu saja segala apa dan siapa yang membuat kita terpenjara, tak bebas, hingga terbatas. Karena secara fitrah, manusia tak ingin terkungkung oleh apa dan siapa pun. Sehingga kemerdekaan yang kemudian dimaknai sebagai kebebasan dari segala penjajahan dianggap sebagai hak segala bangsa. Tapi tanpa disadari, peristiwa penjajahan atas manusia itu justru muncul pada diri manusia lantaran dirinya “melakukan penjajahan” kepada dirinya sendiri dalam melihat realitas.

 

Bagaimana mungkin kita akan dapat memuliakan dan mengagungkan kemerdekaan sementara dalam kehidupan kita sendiri masih sering melakukan penjajahan terhadap realitas. Realitas yang murni, polos dan merdeka, begitu sering kita jajah dengan asumsi-asumsi dan persepsi-persepsi kita sendiri. Kita begitu liar memerkosa realitas dengan semau kita sendiri meski hal itu masih berlangsung di dalam pikiran kita. Bayangkan jika asumsi liar itu diwujudkan dalam praktik. Tak terbayang bagaimana kekacauan dan kebrutalan yang terjadi.

 

Di antara realitas yang kita perkosa dan kita cabik untuk dijajah adalah diri kita sendiri. Atas nama kebebasan dan kepuasan diri, kita menyusun dan membangun identitas-identitas diri bila perlu dengan harga yang sangat mahal. Setiap hari kita sibuk untuk mendesain diri, mematutkan diri, menyeting, memoles diri demi sebuah bangunan identitas diri yang kita yakini dan kita banggakan.

 

Kesibukan dan perjuangan kita sehari-hari adalah menciptakan ilusi demi ilusi atas nama kemerdekaan. Kerakusan dan ketamakan yang menggerogoti diri kita, sama sekali tidak dianggap sebagai penjajahan yang laten dan paling berbahaya. Kita tidak pernah merasa cukup karena wilayah penjajahan kepada kemerdekaan kita masih terus diperluas dan tak berkesudahan.

 

Apakah kita pernah mengamati bagaimana benteng-benteng yang selama ini mengepung dan menjajah kemerdekaan kita? Kita merasa bukan siapa-siapa ketika tidak mengenakan dan menggunakan produk tertentu. Kita akan merasa bodoh dan terjajah karena tidak dikenal orang lain sebagai kaum terdidik dan terpelajar. Kita akan merasa hina dan terbelakang lantaran tidak pernah update dan istiqamah mengikuti percepatan informasi-informasi digital. Kita juga akan merasa sesat dan jauh dari Tuhan jika tidak memiliki simbol dan atribut keagamaan. Bahkan kemerdekaan yang merupakan anugerah Tuhan begitu gampang dijajah dengan cara begitu rupa lewat kotak-kotak kebenaran seraya mendesain kostum tertentu demi asumsi kesalehan yang diperjuangkan. Betapa kita adalah segala entah yang tak berkesudahan.

 

Lantas, Siapa yang Merdeka?

Banyak orang yang menyudahi persoalan tapi belum menyelesaikan persoalan. Mungkin dirinya sudah tua secara umur, tapi belum selesai dalam usia. Mungkin seseorang sudah tidak lagi berhubungan dengan musuh atau orang yang dibenci, tapi dirinya belum selesai dengan orang yang dimaksud. Seseorang mungkin sudah menjadi pemimpin atau seorang cendekia, tapi dirinya mungkin belum selesai untuk selalu dipuja dan diagungkan.

 

Kemerdekaan tak cukup dengan sudah, melainkan mengandaikan adanya penyelesaian. Karena kemerdekaan adalah segala hal yang selesai. Maka kemerdekaan tidak akan pernah dirasakan dan dinikmati oleh siapa pun yang rakus dan tak pernah selesai. Selesai adalah selesai. Dalam selesai terkandung rasa cukup. Dalam selesai tersimpan rela dan keikhlasan; itulah hakikat kemerdekaan.

 

Maka, wakafa billahi syahida adalah kesadaran kemerdekaan. Begitu juga hasbunallah wa ni’mal wakil, juga merupakan rasa kemerdekaan. Bukan seperti penjajah yang merasa merdeka lantaran dapat menjajah orang lain. Justru para penjajah itulah yang terbelenggu dalam penjajahan dirinya sendiri karena mereka belum selesai.

 

Suatu negara dianggap merdeka karena negara tersebut dapat berdiri sendiri tanpa bergantung (independen) pada negara lain. Begitu juga seorang manusia. Ia melangkah dan bersikap dalam hidupnya tanpa merasa diikat dan terikat oleh kepentingan apa pun. Dirinya melangkah polos dan murni. Meminjam ungkapan Syekh Junaidi al-Baghdadi, an ta’budallah bilaaalaqah, yakni mengabdi kepada Allah tanpa relasi kepentingan apa pun.

 

Akhirnya, seorang komandan upacara berjalan gagah dan tegap untuk menghadap inspektur upacara. Saat berdiri di hadapan inspektur upacara, sang komandan dengan tegas berseru, “Laporan selesai!” 


Abdullah Wong, Pengurus Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lesbumi PBNU)