Opini

Multilingualisme Santri dan Misi Perdamaian Dunia

Rab, 23 Oktober 2019 | 02:15 WIB

Multilingualisme Santri dan Misi Perdamaian Dunia

Kemampuan multilingualisme santri menjadi prayarat lengkap untuk membawa misi perdamaian di kancah internasional (Foto: NU Online/Romzi Ahmad)

Oleh Muhammad Syakir NF
 
Globalisasi menjadi keniscayaan. Hari ini, informasi yang berseliweran sudah berada dalam genggaman tangan. Tak heran jika perusahaan kartu seluler nasional membuat tagline "Dunia dalam genggamanmu". Apapun, di manapun, dan kapanpun sudah dapat diketahui di waktu yang sama. Di luar hal itu, globalisasi juga menuntut masyarakat lebih kompetitif mengingat hidup tidak hanya bersama orang-orang di sekitar saja, tetapi juga bersama orang-orang yang di luar negeri sana.
 
Hal ini penting diantisipasi guna tetap dapat bersaing di tengah pusaran gelombang arus globalisasi yang makin deras. Antisipasi itu dapat dilakukan dengan penguatan bahasa asing dengan tanpa menafikan kemampuan berbahasa daerah dan bahasa persatuan. 
 
Santri sebagai seorang pembelajar tentu harus digembleng mengarah ke sana. Momen hari santri dan peringatan hari sumpah pemuda yang berdekatan ini sudah selayaknya meningkat ke arus yang lebih tinggi.
 
Kemampuan berbahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia, tentu sudah tidak diragukan lagi. Pesantren menggunakan bahasa tersebut sebagai pengantar dalam setiap pengajiannya mengingat santri tidak hanya berasal dari satu daerah saja, melainkan dari berbagai daerah yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa berbeda. Namun, santri juga dituntut untuk memahami bahasa daerah asal pesantren mengingat bahasa itu digunakan untuk menerjemahkan setiap kata perkata dari kitab yang berbahasa Arab. KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Berangkat dari Pesantren (1987) mengatakan, kiai mengajar dengan mengartikan bahasa Arab dalam kitab yang dikajinya itu ke dalam bahasa Jawa ‘khas pesantren’ kalimat demi kalimat. Penggunaan bahasa daerah itu sekaligus sebagai upaya mengenalkan fungsi-fungsi kalimat bahasa Arab, seperti utawi untuk mubtada (awal kalimat atau subjek), iku untuk khabar (predikat), sopo untuk fa'il (pelaku pekerjaan), ing untuk maf’ul (objek), dan sebagainya.
 
Pesantren paham betul bahwa melepaskan bahasa lokal dari pengajian menyebabkan bahasa tersebut akan semakin hilang dan membuat masyarakat secara perlahan terkikis dari akar budayanya sendiri. Dalam Pribumisasi Islam, KH Abdurrahman Wahid mengungkapkan bahwa budaya dan agama saling berkelindan dan memberikan simbiosis mutualisme, jalinan yang saling menguntungkan. Penerjemahan dengan menggunakan bahasa daerah akan memudahkan para santri untuk memahami fungsi setiap kalimat bahasa Arab, di samping penggunaan tersebut juga mimiliki keuntungan agar bahasa daerah tetap terjaga.
 
Melihat realitas yang demikian, kita  mendapatkan gambaran bahwa santri sebetulnya merupakan manusia multilingual, berkemampuan menggunakan tiga bahasa atau lebih, yakni bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa daerah sebagai bahasa asal, dan juga bahasa Arab sebagai bahasa pengetahuan. Tetapi, tiga bahasa itu saja tidak cukup untuk menghadapi dunia yang sudah mengalami lompatan peradaban yang begitu pesat ini.
 
Penyemaian Perdamaian Global
 
Kita tentu mengetahui bagaimana pergolakan dunia saat ini, terutama di wilayah Timur Tengah yang begitu porak poranda akibat peperangan yang tak berkesudahan. Hal itu juga yang menyebabkan masyarakat Eropa dan Amerika mengalami Islamofobia, ketakutan kepada Islam, karena migrasi besar-besaran bangsa Timur Tengah dan memori masa silam yang kembali segar dalam ingatan mereka tentang penyebaran Islam ke Barat melalui jalur peperangan.
 
Hal demikian tentu harus diatasi oleh para santri sebagai agen perdamaian. Santri memiliki sanad keilmuan yang runtut hingga Walisongo yang menyebarkan Islam melalui pendekatan kebudayaan, tanpa setetes darah jatuh di Bumi Pertiwi. Pemahaman dan pendekatan demikianlah yang harus disemai oleh para santri ke sana, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika agar mengatasi krisis, Islamofobia, dan persoalan lainnya.
 
Penyemaian pandangan santri tersebut tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan bahasa mereka. Karenanya, santri harus pandai-pandai berbahasa Inggris dan Perancis. Dua bahasa ini penting sebagai suatu pilihan bagi santri untuk menguasainya mengingat jangkauannya berada di semua benua.
 
Kita tentu ingat, negara-negara tersebut menjelajah sekaligus menjajah banyak negeri sehingga wilayah-wilayah bekas koloninya menggunakan bahasa mereka. Sebut saja Tunisia dan Maroko di Afrika yang menjadikan bahasa Perancis sebagai bahasa kedua mereka, Belgia dan Swiss di Eropa, Kanada di Amerika. Bahasa Inggris begitu digdaya di dunia.
 
Berbagai pertemuan internasional hampir bisa dipastikan menggunakan bahasa Inggris, termasuk pertemuan negara-negara Islam. Beberapa negara juga menjadikannya sebagai bahasa utama, seperti Amerika Serikat di Amerika, Australia dan Selandia Baru di Australia, Singapura dan India di Asia, dan sebagainya.
 
Hal ini bukannya belum dilakukan oleh para santri. Kita tentu mengenal beberapa sosok di antaranya, Nadirsyah Hosen. Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia dan Selandia Baru, yang menjadi dosen senior pada Universitas Monash di Australia. Di sana, ia mengajarkan hukum-hukum Islam. Kontribusinya terhadap Indonesia juga tidak lepas begitu saja. Putra Prof KH Ibrahim Hosen itu menulis beberapa buku seperti Tafsir Al-Qur’an di Medsos, QnA Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal hingga Memilih Mazhab yang Cocok, dan Kiai Ujang di Negeri Kanguru. Selain itu terbit juga Islam Yes Khilafah No, berbagai bantahan argumen khilafah dipaparkan di dalamnya.
 
Ada pula Ayang Utriza Yakin, dosen di Universitas Ghent, Belgia. Di sana, pengurus Lembaga Takmir Masjid Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LTM PBNU) itu mengajar tentang Studi Arab dan Islam. Selain fasih berbahasa Arab dan Inggris, tentu saja ia mahir berbahasa Perancis mengingat studi magister dan doktornya ditamatkan di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Perancis.
 
Namun, mereka saja tidak cukup. Masih banyak posisi yang belum diambil oleh santri Indonesia di luar negeri, seperti imam masjid dan juru dakwah. Para cendekiawan seperti Gus Nadir dan Gus Ayang yang menyebarkan melalui dunia intelektualismenya. Santri juga harus ambil peran menyebarkan Islam damai di tataran akar rumput di belahan dunia sana. Dunia begitu membutuhkan peran serta santri dalam menyampaikan Islam yang sesungguhnya, yang moderat, juga toleran terhadap sesama manusia.
 
Di Jawa Barat secara khusus, Gubernur Ridwan Kamil sudah membuat program pengiriman dai ke Inggris. Para ulama muda diajarkan agar mahir berbahasa Inggris untuk dapat menyampaikan pesan dakwah ke masyarakat di negeri Ratu Elizabeth itu. Santri-santri Jawa Barat harus dapat memanfaatkan momentum tersebut untuk mengambil peran penyemaian perdamaian ala Islam Nusantara di Britania Raya khususnya, dan dunia pada umumnya.
 
Tidak hanya itu, penulis kerap melihat berbagai program pertemuan internasional yang bertema perdamaian. Hal ini juga penting untuk diikuti oleh para santri. Dalam hal ini, penulis pernah mengikuti program Young Ambassador of Peace in Asia (YAPA) pada Oktober tahun 2018 di Chiang Mai, Thailand. Program tersebut diselenggarakan oleh Christian Conference of Asia (CCA) yang berkantor di Universitas Payap, Chiang Mai, Thailand. Di sana, penulis dipertemukan dengan berbagai pemuda dari Asia lintas iman. Membicarakan berbagai konflik yang terjadi di negaranya masing-masing dan solusinya. Program-program demikian penting untuk diikuti oleh para santri sebagai sarana penyebaran pemahaman Islam yang moderat dan toleran dan tidak menafikan budaya sebagai darah daging masyarakat setempat.
 
 
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta dan Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama.
 
--------------
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara NU Online dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo RI