Opini

NU Care dan Kebangkitan Gerakan Filantropi Nahdliyin

Kam, 23 Maret 2017 | 08:00 WIB

Oleh Nur Rohman Suwardi

Filantropi atau kedermawanan sudah menjadi roh dari kebangkitan ulama yang lahir sejak 1926, dengan nama Nahdlatul Ulama. Perjalanan ormas Islam terbesar di dunia ini dibiayai oleh kedermawanan dari para anggota atau simpatisan Nahdliyin. Kedermawanan yang dalam istilah Islam disebut dengan zakat, infak, atau sedekah, menjadi kekuatan penunjang prinsip pokok dalam perjuangan Nahdlatul Ulama.

Zakat sebagai rukun Islam dan tiang dalam agama Islam mempunyai peran yang sangat vital. Islam dan perjuangan para pengggerak Islam akan kuat jika kedermawanan masih dijalankan oleh para pemeluknya. Allah menegaskan di dalam Al-Qur’an tentang sinergi antara rukun shalat dan zakat dalam mengatasi persoalan hidup. Zakat dan shalat menjadi tawaran solusi dahsyat  yang Allah berikan kepada hambanya. Zakat sebagai penjaga hubungan dengan manusia dan shalat sebagai penjaga hubungan dengan Allah secara vertikal.

Perjalanan filantropi Islam di Nahdlatul Ulama secara konsisten didakwahkan dan disosialisasikan dan ini menjadi komitmen semua warga Nahdliyin dalam memeluk ajaran Islam sampai sekarang. Kebangkitan zakat dan gairah perzakatan di Indonesia pun tumbuh. Atas dasar Undang-Undang Zakat nomor 38 tahun 1999, lembaga amil zakat, infak dan sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) dibentuk oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Donoyudan Solo tahun 2005. Dari situ perkembangan filantropi Islam di tubuh Nahdlatul Ulama juga mengalami perkembangan yang menggembirakan.

Perjalanan lembaga filantropi di Nahdlatul Ulama yang dinamakan LembagaAmil Zakat Infak dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) mengalami perkembangan dari waktu ke waktu semenjak didirikan secara resmi di Muktamar Donoyudan Solo, yang dipimpin oleh Prof. Dr. Fathurrahman Rouf. Sebagai lembaga baru di tubuh Nahdlatul Ulama, LAZISNU sudah mengumpulkan rata-rata Rp800 juta per tahun, dari tahun 2004 sampai dengan 2010.

Perkembangan mulai dirasakan ketika fase kedua setelah Muktamar di Makassar, LAZISNU dipimpin oleh KH. Masyhuri Malik, pada perkembangan di era ini LAZISNU berkembang dengan performa manajemen yang lebih modern. Potret yang bisa kita lihat dari perolehan LAZISNU setiap tahunnya di rata-rata Rp6 miliar dimulai dari 2010 sampai dengan 2015.

Kemudian selepas Muktamar ke-33 NU di Jombang, LAZISNU dipimpin oleh Syamsul Huda SH Harus berjuang keras untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat karena beban yang harus ditanggung sebagai Lembaga Zakat Nasional. Lembaga Zakat Nasional seperti LAZISNU harus mampu mengumpulkan perolehan fundraising minimal Rp50 miliar. Tapi alhamdulillah pada awal 2016, beban yang diwajibkan kepada LAZISNU dalam perolehan minimal satu tahun Rp50 miliar sudah terpenuhi. Sekarang, saatnya LAZISNU yang melakukan rebranding NU CARE-LAZISNU harus mengerakkan spirit NU dalam kesadaran “berbagi bagi sesama.”

Sosialisasi tentang pentingnya filantropi selalu digalakkan sampai sekarang. Filantropi berbeda dari charity. Filantropi lebih terlihat sebagai gagasan yang terstruktur dan teratur ketimbang hanya memberi kepada yang lain dan terlebih kepengen mendapatkan dampak secara langsung bagi para donatur (direct impact).

Secara umum, konsep zakat itu harus diatur supaya teratur. Nidham (manajemen) menjadi hal yang sangat penting di warga Nahdliyin. “Kalau sudah ngasih ya sudah yang lillahita’ala,” sering ada ucapan begitu. Ini seolah-olah melegitimasi tentang tidak penting melaporkan akan kinerja yang dilakukan oleh para amilin. Padahal, pelaporan tersebut sama sekali bukan hendak menghilangkan aspek keikhlasan, melainkan sebagai konsekuensi logis nidham itu.

Kini LAZISNU diuji dan ditantang dengan harus menunjukkan keberanian untuk menjadi Lembaga Zakat Nasional, berdasar Undang-Undang 23 tahun 2011. Sesungguhnya, Undang-Undang 23 tahun 2011 ada plus dan minus dalam era kebangkitan gerakan filantropi NU. Tuntutan untuk eksis menjadi lembaga yang trusted, kredibel, dan tranparan menjadi tuntutan tidak hanyaUndang-Undang, tapi juga para donatur dan masyarakat. Pimpinan organisasi para ulama ini, Rais ‘Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin menggelorakan “Gerakan NU Berzakat Menuju Kemandirian Umat”. Ini bukan tidak ada sebab, tapi gerakan ini justru yang menjadi embrio dan spirit bagi gerakan zakat di warga Nahdliyin.

Tiga Titik Tolak


Ada tiga hal yang harus menjadi titik tolak bangkitnya filatropi NU, pertama adalah memberikan pengertian kepada masyarakat Nahdliyin tentang pentingnya berjamaah, tidak hanya berjamaah shalat, tahlilan, zikiran saja tapi harus diperluas dan diperlebar jamaah terlebih berjamaah untuk aksi berbagi kepada sesama. Masyarakat modern ini lebih suka kalau ada kegiatan aksi, bukan hanya kegiatan seremoni. Membangkitkan jamaah dengan aksi kepada sesama ini harus menjadi spirit yang digelorakan di  warga Nahdliyin. Berjamaah atau sinergi ini akan mejadi lebih sempurna jika ulama, umara (pemerintah), aghniya (kalangan berpunya) dan umat menjadi satu kesatuan dalam menyelesaikan masalah bersama terlebih isu yang menjadi pesan utama Muktamar Jombang, yaitu ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Kedua, adalah pentingnya manajemen yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Pentingnya manajemen ini yang kemudian Lazisnu Pusat berinisiatif untuk menstandarkan manajemen dengan menggunakan ISO 9001-2015 dengan nomor sertifikat izin 49224. Ini membuktikan komitmen yang tinggi terhadap kebangkitan filantropi di NU untuk menjadi yang lebih baik dalam rangka mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Betapa pentingnya motto “kerjakan apa yang ditulis, dan tulis apa yang akan dikerjakan,” itulah manajemen. Semua harus berbasis data, bukan hanya katanya atau ucapan mulut.

Ketiga, pergerakannya harus dibangkitkan lagi, harakah an-nahdliyyah lizzakah, itulah gerakan yang dimotori Rais ‘Aam PBNU, supaya komitmen membangun NU lewat jalur filantropi menjadi lebih hidup dan berkembang sesuai dengan cita-cita mulia para pendiri NU. Pelopor sekaligus model percontohan yang di gerakkan almarhum Abuya KH. Abdul Basit Sukabumi menjadi contoh yang patut di tiru dan diteladani. Abuya mampu membuat konsep Allah yang termaktub didalam Al Qur’an dan Hadist Baginda Nabi Muhammad SAW menjadi membumi dan gampang di kerjakan dan diaplikasina umat dalam kehidupan sehari-hari. Kekuatan sedekah mampu memberikan manfaat kepada umat dengan pola yang sangat sederhana dan bisa di aplikasikan di mana saja kita berapa. Konsep membumikan sedekah merupakan konsep lama yang dalam Bahasa sederhana kita sehari-hari kita sebut denga  konsep gotong royong. Sedekah atau gotong royong menjadi mahluk mulia yang mampu memberikan manfaat bagi umat jika dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong (sedekah berjamaah).

Semoga Allah memberikan kekuatan dan keberkahan NU Care-LAZISNU dalam memegang amanat yang mulia untuk memberikan manfaat kepada umat. Amiin.


Penulis adalah Direktur Fundraising NU Care