Opini

Obral Surga dengan Teologi Kebencian

Sab, 19 Mei 2018 | 09:30 WIB

Oleh Al-Zastrouw Ngatawi

Hari-hari ini kita melihat surga seolah-olah diobral, dijajakan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan miskin adab. Di tempat-tempat ibadah, di majelis taklim, di kampus-kampus, di lapangan bahkan di jalan-jalan surga ditawarkan dengan hasutan yang penuh kebencian dan kemarahan. Mulai dengan cara teriak di mimbar sampai bisik-bisik di balik dinding liqa' dan kamar batin yang senyap.

Berbeda dengan para ulama dahulu yang menawarkan surga dengan cara santun, simpatik, penuh hikmah dan akhlakul karimah. Memandang umat dan sesama manusia dengan tatapan mata penuh kasih (yandhuru ummah bil aini rahmah). Sehingga membuat wajah Islam menjadi sangat simpatik dan menarik. Pancaran keindahan surga bisa dirasakan siapa saja saat masih di dunia. Sebagaimana tercermin dalam kehidupan sosial yang damai, tenteram, bahagia, dan welas asih pada sesama.

Kini cara-cara menawarkan surga dengan akhlakul karimah seperti itu sudah hampir hilang. Tak perlu lama-lama mengaji pada para kiai. Tak perlu menunggu ajal menjemput. Surga bisa dimonopoli dan diperoleh dengan jalan pintas melakukan bom bunuh diri. Kapling surga seolah bisa dibeli dengan semangat membenci. 

Semakin membenci dan menista kelompok yang berbeda, maka pintu surga akan semakin terbuka lebar dan terlihat nyata. Demi mendapat surga secara cepat dan instan mereka harus memandang manusia yang berbeda keyakinan dengan rasa marah dan benci (yandhuru ummah bil aini ghadlab).

Cara-cara inilah yang membuat manusia menjadi gelap mata dan gelap pikir. Jangankan membenci, memfitnah dan caci maki, demi secepatnya mendapat surga, mereka tega mengorbankan nyawa siapa saja, termasuk nyawa keluarga bahkan nyawanya sendiri. Di sini surga seolah hanya ditukar dengan nyawa dan sikap membenci pada kaum kafir yaitu kelompok lain yang berbeda dengan keyakinanya.

Amal shalih yang berarti berbuat baik pada sesama, beribadah pada Tuhan dengan menjaga perdamaian dan menciptakan tata kehidupan yang lebih baik tidak lagi lagi diperlukan. Selain dianggap bisa merusak kemurnian Islam, sikap tersebut juga dianggap bisa mengurangi semangat perjuangan membela Islam.

Obral surga dengan cara menanamkan kebencian inilah yang kami sebut dengan "teologi kebencian" yaitu sikap membenci dan menghancurkan kelompok lain yang berbeda (kafir) sebagai ekspresi spirit keagamaan dan ketuhanan. Teologi kebencian inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya teroris.

Ini terjadi karena ukuran keimanan seseorang hanya dilihat dari sejauh mana dia bisa membenci dan menghacurkan kelompok lain yg dianggap kafir. Semakin mereka bisa membenci orang kafir, yaitu orang yang berbeda keyakinan dengan mereka, maka akan semakin dianggap kaffah Islamnya.

Yang lebih parah adalah munculnya keyakinan, semakin banyak mengorbankan nyawa orang kafir akan semakin dekat dengan surga. Siapa yang berani mengorbankan nyawa akan semakin cepat mendapatkan surga. Di sini seolah-olah surga harus dibeli dengan nyawa dan spirit kebencian.

Virus teologi kebencian ini sama bahayanya dengan narkoba karena sama-sama memiliki daya rusak yang dahsyat, baik secara individual maupun sosial. Manusia yang terpapar virus ini akan kehilangan akal sehat dan nurani. Mereka bisa menjadi mesin pembunuh yang tega melakukan apa saja demi memperoleh kenikmatan surga yang dijanjikan. Ini seperti orang yang kecanduan narkoba yang tega melakukan apa saja demi memperoleh kenikmatan narkoba.

Sebagaimana narkoba, virus teologi kebencian ini bisa menyerang siapa saja dan dari kelas sosial apa saja. Tidak hanya kelas bawah dengan ekonomi lemah, tetapi juga kelas menengah atas dengan derajad pendidikan tinggi bahkan kelas eksekutif yang sudah mapan secara ekomi.

Setinggi apapun pendidikan dan secerdas apapun akal jika sudah terkena virus ini semua akan lumpuh dan hancur. Mejadi manusia yang hilang akal dan tuna rasa. Jika narkoba lebih banyak menyerang kaum non-agamis, virus ini justru mudah masuk di kalangan agamis dan bisa menembus kalangan non-agamis.

Virus ini jelas lebih berbahaya dari narkoba, karena penyebarannya lebih masif. Kalau bandar narkoba, melakukan penyebaran secara sembunyi karena dia menjadi musuh semua orang. Tapi penyebaran virus teologi kebencian dilakukan secara terbuka dan agresif.

Ini terjadi karena mereka menggunakan topeng agama, sehingga yang melawan dan melarang akan dengan mudah dicap sebagai penentang agama, kriminalisasi ulama dan sejinisnya. Inilah yang membuat aparat gamang menidak mereka dan masyarakat awam jengah mengjadapi ulah para agen dan "distributor" teologi kebencian ini.

Melihat dahsyatnya daya rusak virus teologi kebencian dan maraknya penyebarannya yang masif, maka perlu ada kesadaran semua pihak dan seluruh warga bangsa untuk menganggap virus ini sebagai musuh bersama dan bertindak secara tegas untuk memberantasnya. Jika tidak demikian, bukan tidak mungkin kita sdh berada di antrean menunggu giliran menjadi korban berikutnya.

Penulis adalah pegiat budaya, dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta