Opini

Pantaskah Kita Ingkar terhadap Covid-19?

Kam, 22 Oktober 2020 | 05:00 WIB

Pantaskah Kita Ingkar terhadap Covid-19?

Pantaskah kita ingkar terhadap Covid-19 dalam arti tidak mempercayai keberadaan virus Corona ini dengan segala dampaknya terhadap keselamatan jiwa manusia?

Sejak Covid-19 atau lebih dikenal dengan virus Corona dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai virus yang membahayakan jiwa manusia awal Maret lalu, berbagai pihak seperti para dokter, ulama dan umara mengimbau masyarakat agar senantiasa mematuhi protokol kesehatan demi keselamatan bersama. Artinya mereka mempercayai bahwa virus Corona itu ada dan mengambil sikap hati-hati terhadap wabah ini. Namun demikian, tidak seluruh warga masyarakat menyambut baik imbauan itu. Ada sebagain dari mereka malahan ingkar terhadap Covid-19. 


Dalam berbagai obrolan di media sosial maupun di forum-forum diskusi terkadang muncul pembicaraan bahwa ada sebagian masyarakat yang tidak percaya bahwa Covid-19 benar-benar ada dan mengancam keselamatan jiwa manusia. Bagi mereka virus Corona hanyalah sebuah rekayasa atau merupakan konspirasi berbagai pihak untuk mengambil keuntungan atau demi kepentingan tertentu. Uniknya, ketidakpercayaan itu bersumber dari ucapan sebagian kecil tokoh agama yang tidak memiliki keahlian dalam bidang ilmu kedokteran. 


Kesan yang kemudian muncul adalah ada ketidakselarasan antara sebagian kecil tokoh agama dan para tokoh pada umumnya terkait bagaimana sebaiknya masyarakat menyikapi pandemi Covid-19. Dalam hal ini, sikap para dokter yang diamini para ulama mainstream dan para umara yang legitimate sudah sangat jelas sejak Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi global oleh WHO, yakni mengimbau masyarakat untuk senantiasa mempraktikkan protokol kesehatan, yakni dengan senantiasa memakai masker, tidak berkerumun atau jaga jarak minimal 1 meter, sering cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, membiasakan gaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari, dan sebagainya. 


Namun, sebagian kecil tokoh agama ingkar terhadap keberadaan virus Corona dan tidak mendukung sikap para dokter sebagaimana disebutkan di atas, terutama tentang anjuran untuk tidak berkerumun dalam jumlah besar dan menjaga jarak. Hal ini diikuti oleh sebagian warga masyarakat yang lebih mempercayai mereka daripada para dokter yang jelas-jelas memiliki kompetensi dalam bidang ilmu kesehatan atau kedokteran dan diamini oleh para ulama dan umara.


Parahnya, sebagian masyarakat yang mengikuti ucapan mereka banyak yang menolak dilakukan rapid test ataupun swab test virus Corona padahal mereka berdasarkan ketentuan tracing telah teridentifikasi melakukan kontak langsung dengan orang-orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. Bahkan ada dari mereka yang nekat meninggalkan rumah sakit ketika sedang dirawat demi mengikuti ucapan sebagian kecil tokoh agama yang tidak mempercayai pandemi ini. 
 


Tidak hanya itu, meski dari kalangan mereka ada yang telah meninggal dunia dan terkonfirmasi positif Covid-19, mereka tetap menolak kematian itu diakibatkan virus Corona karena mereka memang sendika dawuh (setia dan taat) terhadap ucapan sebagian kecil tokoh agama yang ingkar terhadap adanya virus ini. Jika hal seperti ini berlangsung terus tentu akan sangat berbahaya karena mempertaruhkan nyawa sebagian warga masyarakat yang mengikutinya sementara mereka tidak ada keberanian untuk tidak mengikuti ucapan sebagian kecil tokoh agama itu karena alasan-alasan tertentu. 


Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, adalah wajar ketika kemudian muncul pertanyaan, pantaskah kita ingkar terhadap Covid-19 dalam arti tidak mempercayai keberadaan virus Corona ini dengan segala dampaknya terhadap keselamatan jiwa manusia?


Jawaban dari pertanyaan itu adalah “tidak pantas” dengan berbagai argumentasi sebagai berikut:


Pertama, WHO adalah organisasi resmi internasional di bawah PBB yang berkompeten dalam bidang kesehatan. Pejabat penting WHO pada umumnya adalah para dokter yang kredibel di masing-masing negara anggotanya. Pernyataan WHO pada tanggal 11 Maret lalu bahwa virus Corona adalah pandemi global tentu berdasarkan pada data-data dan bukti-bukti yang bisa dipertangungjawabkan sehingga merupakan fenomana alam yang bersifat empiris. Dengan kata lain Covid-19 adalah ayat kauniyah Tuhan sehingga harus diterima sebagai kebenaran alamiah. 


Kedua, mengingkari adanya virus Corona dengan segala potensi negatif yang ditimbulkan dan membahayakan keselamatan jiwa manusia, merupakan pelanggaran setidaknya secara moral sebab berarti tidak percaya atau tidak mengakui keputusan pemerintah yang telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam, dan untuk itu dibentuklah suatu Gugus Tugas Percepatan Penanganan pada tanggal 13 Maret 2020 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tantang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). 


Ketiga, mengingkari adanya virus Corona berarti menganggap fatwa ulama yang didukung umara tentang bahaya virus Corona dan kewajiban mematuhi protokol kesehatan sejauh ini sebagai omong kosong yang tidak ada gunanya. Pengabaian terhadap fatwa ulama seperti ini bisa menurunkan kepercayaan masyarakat dan kepatuhan mereka terhadap para ulama yang telah mengeluarkan fatwa berdasarkan ijtihadnya. Hal ini bisa membahayakan masyarakat itu sendiri secara keseluruhan. 


Keempat, pengingkaran adanya virus Corona dan penolakan terhadap protokol kesehatan Covid-19 dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat luas. Hal ini bisa mengakibatkan makin sulitnya menghentikan penyebaran virus Corona yang memang sangat berbahaya dan terbukti berdampak buruk pada hampir seluruh aspek kehidupan. Sejauh ini jumlah orang meninggal dunia karena Covid-19 di Indonesia tercatat telah mencapai 12.617 per 19 Oktober 2020, pukul 12.00 WIB. 


Sebagai penutup, perlu digarisbawahi di sini bahwa keempat argumentasi di atas sudah cukup kuat untuk memberikan jawaban bahwa bersikap ingkar terhadap Covid-19 adalah tidak pantas terutama karena virus Corona ini sudah menjadi kenyataan alam dan merupakan wilayah tanggung jawab para dokter untuk menangani. Dalam kaitan ini kita harus memperhatikan nasihat Imam Syafi’i agar kita mempercayai ulama dan dokter dalam bidang masing-masing dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai berikut: 


لا تسكنن بلدا لا يكون فيه عالم يفتيك عن دينك، ولا طبيب ينبئك عن أمر بدنك


Artinya “Janganlah sekali-kali engkau tinggal di suatu negeri yang tidak ada ulama di sana yang bisa memberikan fatwa dalam masalah agama, dan juga tidak ada dokter yang memberitahukan mengenai keadaan (kesehatan) badanmu” (Abu Muhammad Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi, Adabu Asy-Syafii wa Manaqibuhu [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003] Cetakan I, Juz 4, Hal. 244). 
 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.