Opini REFLEKSI HARI PENDIDIKAN

Pendidikan di Indonesia Hanya Memproduksi Tukang?

Sab, 2 Mei 2020 | 08:45 WIB

Pendidikan di Indonesia Hanya Memproduksi Tukang?

Prinsip imajinatif ialah mendidik generasi muda agar terbiasa menciptakan sesuatu yang baru dari proses berpikir imajinatifnya itu.

Oleh Fathoni Ahmad

Menyoal pendidikan adalah membicarakan sebuah agenda yang tidak akan pernah selesai (unfinished agenda). Bahkan di negara yang pendidikannya maju sekali pun. Mereka tetap terus berupaya menerapkan inovasi tanpa harus melepas prinsip pembelajaran imajinatif.

Prinsip imajinatif ini bukan dalam artian pintar menghayal sesuatu yang tidak realistis, tetapi mendidik generasi muda agar terbiasa menciptakan sesuatu dari proses berpikir imajinatifnya itu. Tidak meniru, tidak menjiplak, tidak plagiat sehingga mampu melahirkan seniman di segala bidang. Bukan hanya menciptakan generasi tukang, yang hanya mahir secara teknik tapi kebingungan ketika harus mencipta sesuatu yang baru.

Tidak ada maksud penulis untuk mengecilkan peran orang-orang yang cerdik secara teknik, tetapi hanya sebagai refleksi pedagogis bahwa selama ini dunia pendidikan di Indonesia hanya memproduksi tukang, bukan pencipta. Poin ini yang patut menjadi perhatian bersama terutama stakeholders atau para pengambil kebijakan di bidang pendidikan.

Dengan bahasa yang sederhana bisa dicontohkan bahwa bisa jadi di Indonesia saat ini banyak tukang pembuat film, tetapi seniman film jarang. Banyak tukang nyanyi, tapi musisi jarang. Banyak arsitektur, tetapi seniman arsitektur jarang. Artinya si arsitek tersebut hanya bisa mencontoh gambar orang lain, tetapi tidak mampu berimajinasi untuk mencipta hasil karya arsitektur sendiri yang benar-benar baru. Contoh-contoh serupa bisa di-list sendiri.

Sekarang kita bisa lihat bersama-sama bahwa output pendidikan tersebut tidak jauh dari sistem yang selama ini diterapkan, terutama ketika harus berjibaku mengejar kelulusan. Meskipun tidak sedikit yang menghasilkan karya terbaru dan asli, namun tidak jarang pula yang berhasil menggarap tugas akhir dengan hanya memindahkan lokasi penelitian tetapi variabel yang ditelitinya sama dengan penelitian-penelitian terdahulu. Ini di tingkat perguruan tinggi.

Di tingkat sekolah dasar dan menengah kita hanya bisa melihat siswa dihadapkan dengan rutinitas monoton di kelas tanpa pembelajaran berarti dan bermakna (meaningful). Padahal pendidikan terbaik di lingkungan mana pun (keluarga, sekolah, masyarakat) ialah ketika memberikan pengalaman (experience) kepada anak-anak didik.

Meskipun tidak maksud men-generalisasi, penulis melihat output pendidikan kita yang hanya mampu mencetak generasi tukang, bukan generasi imajinatif yang terbiasa mencipta hal-hal baru. Apalagi pemerintah di beberapa periode terakhir berupaya menguatkan pendidikan advokasi agar sesuai dunia kerja, lagi-lagi kebijakan ini hanya memunculkan tukang-tukang baru.

Pendidikan imajinatif secara sederhana bisa kita lihat dari proses perkembangan seorang anak balita. Perilaku dan tindakan anak-anak merupakan imajinasi kehidupan. Mereka bertindak dan berperilaku sesuai dengan imajinasinya. Perilaku anak-anak tersebut kerap memunculkan hal-hal baru. Bahkan para orang tua tidak jarang dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan baru yang terlontar dari mulut sang anak.

Imajinasi melahirkan sikap kreatif dan inovatif. Itu yang harus dibangun dari sistem pendidikan kita. Jika pemerintah belum mampu, tetapi setidaknya bisa menyediakan berbagai infrastruktur dan sistem untuk mendukung kreativitas dan inovasi bagi generasi-generasi mendatang agar cita-cita menjadi bangsa dan negara maju tidak terasa klise dan utopis, yakni hanya menjadi gambaran dan angan-angan tak pasti.

Berpikir kreatif tentu harus ditumbuhkembangkan pada diri anak didik oleh guru sehingga menciptakan generasi dengan kreativitas tinggi di berbagai bidang kehidupan. Namun, pada tataran peserta didik, mengembangkan kreativitas dalam ranah kecakapan hidup lebih krusial sehingga mereka lebih siap ketika menghadapi realitas kehidupan di tengah masyarakat. Bahkan dengan kreativitasnya itu bisa mendatangkan banyak manfaat bagi orang banyak dengan mencipta sesuatu yang baru sesuai kebutuhan masyarakat.

Guru Besar Emeritus Pendidikan H.A.R Tilaar (2012) menjelaskan, berpikir kreatif sangat perlu dikembangkan pada kemampuan siswa agar tumbuh generasi yang memiliki jiwa entrepreneurship tinggi di segala bidang. Jadi para entrepreneurship tidak hadir dari ruang kosong, tetapi ditumbuhkan melalui pembiasaan berpikir kritis, kreatif, juga berpikir kompleks dengan intensitas tinggi.

Bagaimana caranya? Tentu untuk menjawab pertanyaan ini juga memerlukan para pendidik kreatif yang mampu mengolah materi ajar menjadi energi pendorong kreativitas berpikir siswa melalui berbagai metode pembelajaran. Dan rasa-rasanya kurang adil jika hanya membebankan kemajuan pendidikan di tangan para guru, karena selama ini kebijakan pemerintah dinilai sangat administratif sehingga membatasi guru untuk berkreasi dalam memberikan pembelajaran.

Embrio berpikir kreatif hadir ketika keingintahuan secara epistemologis selalu bersemayam dalam diri pendidik dan anak didik. Tahap ini merupakan dasar berpikir kritis dari seseorang yang tidak mudah menerima begitu saja informasi yang datang kepadanya.

Dari proses tersebut, bisa dipahami bahwa seseorang yang kritis akan mempertanyakan ketentuan-ketentuan yang telah dianggap baku. Sikap baku ini tidak akan menghasilkan sesuatu yang baru dalam masyarakat. Karena kreativitas lahir dari tahap berpikir kritis atas segala sesuatu yang dianggap baku. Selamat berimajinasi, berkreasi, dan berinovasi!
 

Penulis adalah Pengajar di Fakultas Agama Islam Univesitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta