Opini

Pentingnya Menulis Biografi Orang Tua Sendiri

NU Online  Ā·  Senin, 9 April 2018 | 07:30 WIB

Pentingnya Menulis Biografi Orang Tua Sendiri

Ilustrasi (bbc.com)

Oleh Muhammad Ishom

Banyak orang tertarik menulis biografi orang-orang besar. Memang dilihat dari sisi mana pun, menulis biografi seorang tokoh terkenal banyak manfaatnya alias tidak ada ruginya. Setidaknya nama penulis akan terangkat juga ke permukaan sebagai berkah. Tetapi tidak demikian menulis biografi orang-orang kecil. Jika orang tua kita orang besar, tentu tidak banyak persoalan dengan penulisan biografinya. Banyak orang tertarik dan mau membuatnya. Tetapi jika orang tua kita bukan seorang tokoh di masyarakat, kita perlu menulisnya sendiri.Ā 

Itulah salah satu hal yang menggelisahkan saya beberapa tahun terakhir ini. Almarhum kedua orang tua saya sebagai orang kecil tidak menarik bagi para penulis untuk mengabadikan kisah hidupnya dalam sebuah kisah biografis meski tak bisa dipungkiri sudah ada seorang penulis yang berhasil menulis sebuah bukuĀ  tentang orang-orang kecil yang terbit pertama pada tahun 2014. Dalam salah satu sub judulnya buku itu memuat fragmen salah satu orang tua saya yang suka bersedekah meski hanya berupa makanan sepeleĀ  seperti tahu, tempe dan bakwan kepada para santri di sebuah pesantren.Ā 

Penulisan itu dimungkinkan karena secara kebetulan sang penulis cukup mengenal orang tua saya secara pribadi dan cukup lama berinterkasi ketika masih nyantri di pesantren. Jadi persoalannya, salah satu penyebab dari sekian banyak alasan mengapa tidak banyak orang menulis kisah hidup orang tua kita yang notabene orang kecil adalah karena di sampaing dianggap kurang menguntungkan juga mungkin karena kurang mengenal mereka secara mendalam.Ā 

Persoalannya adalah jika kisah hidup orang tua kita tidak ditulis secara utuh sudah pasti secara perlahan akan hilang ditelan zaman. Jika hanya diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi bisa jadi akan ada banyak hal terlewatkanĀ  dan pada akhirnya akan terlupakan begitu saja,Ā  atau bahkan bisa dianggap hanya omong kosong. Sekarang kita telah sampai pada zaman di mana kita perlu menulis seperti apa pun wujudnya. Pepatah Jawa mengatakan, ā€Mikul dhuwur mendhem jeroĀ (Mengangkat tinggi-tinggi dan menanam dalam-dalam).ā€Ā 

Pepatah itu berarti bahwa ada kewajiban anak untuk menghormati orang tua meski sudah meninggal dunia. Salah satu cara menghormati adalah dengan tidak melupakan jasa-jasa orang tua kepada anak dan memperlihatkan apa saja dari orang tua baik yang berupa ucapan atau sikap dan tindakan yang memang layak untuk ditiru dan diteruskan oleh anak keturunannya. Termasuk dalam hal ini adalah meneruskan nasihat-nasihat bijaknya untuk dijadikan pedoman hidup bagi generasi berikutnya.Ā 

Sedangkan hal-hal yang kurang baik tidak perlu diungkit-diungkit karena di dalam ajaran Islam kita dianjurkan untuk menyebut-nyebut kebaikan orang yang sudah meninggal dunia dan bukan sebaliknya mengungkit-ungkit keburukan-keburukannya sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut: "Sebutlah kebaikan orang-orang yang telahĀ  meninggal dunia dari kalian dan janganlah menyebut keburukan mereka."Ā  (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).Ā 

Berdasar pada hadits di atas, maka menurutĀ  saya menulis biografi orang tua sendiri meski hanya singkat dan sederhana menjadi penting tanpa ada maksud melebih-lebihkan atau bahkan memamerkan hal-hal yang tak perlu. Objektivitas harus tetap dijunjung tinggi dengan mengedepankan fakta tanpa perlu menyebut hal-hal negatif.Ā  Upaya menghindari pujian yang tak perlu juga harus diperhatikan sehingga tidak terkesan hanya membanggakan leluhur.Ā 

Tentu saja jika kita menulis biografi kedua orang tua kita yang bukan orang besar, hal yang kita tulis sudah pasti bukan tentang ketokohannya di masyarakat karena dalam bidang ini mereka nyaris tak memiliki peran, tetapi lebih pada keteladanannya dalam bidang moralitas, seperti kejujuran, dedikasi, keikhlasan dan ketulusan, kesabaran dan ketabahan, kedermawanan, kerendahan hati,Ā  kegigihan, kepasrahan diri kepada Allah, istiqamah dalam beribadah dan seterusnya.

Sekali lagi menurut saya kita perlu menulis sendiri biografi orang tua kita sendiri terutama karena kita tidak dihadapkan pada persoalan untung dan rugi secara materi. Jika sangat terpaksa, tidak menjadi masalah kita meminta bantuan orang lain untuk menuliskannya.Ā  Prinsipnya, keteladanan orang tua sendiri (ibu dan bapak) tidak boleh diabaikan dan perlu ditulis setidaknya untukĀ  menginspirasi anak-anak dan cucu-cucunya sendiri sebagai warisan yang harus diuri-uri (dipelihara dengan diamalkan) dalam kehidupan sehari-hari. Jadi jangan hanya warisan harta benda yang dipikirkan.Ā 


Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.