Opini

Pesan KH Hasyim Asy’ari tentang Berwisata: Healing ala Pencari Ilmu

Kam, 4 Januari 2024 | 12:00 WIB

Pesan KH Hasyim Asy’ari tentang Berwisata: Healing ala Pencari Ilmu

Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. (Foto: NU Online)

"Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar (menuntut ilmu), maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan" - Imam Syafi'i

 

Menuntut ilmu merupakan kegiatan yang dianggap melelahkan dan seringkali memunculkan kebosanan dalam prosesnya. Pasalnya, para penuntut ilmu biasanya mau tidak mau harus melakukan hal yang cukup berat khususnya bagi pikirannya dan dilakukan secara berulang-ulang di setiap harinya. Contohya seperti berkutat pada buku-buku atau berjibaku dengan berbagai materi yang disampaikan oleh guru di dalam kelas dengan jam yang cukup padat. Akhirnya, kelelahan dan kebosanan menjadi seperti santapan tiap tahun, bulan, pekan, bahkan bagi sebagian orang mungkin tiap hari yang tidak terhindarkan.


Walaupun merupakan sesuatu yang niscaya, baik kelelahan maupun kebosanan keduanya adalah hal yang perlu diatasi. Sehingga, para penuntut ilmu tetap dapat mencapai titik optimal dalam proses belajar. Saking pentingnya, KH Muhammad Hasyim Asy’ari sampai menyinggung soal itu dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal Muta’allim. Setidaknya, terdapat dua hal sebagai solusi yang ditawarkan Kiai Hasyim Asy'ari untuk mengurangi lelah dan bosan, yaitu mengurangi waktu tidur dan melakukan kegiatan wisata.


Sebelum membahas berwisata, Kiai Hasyim Asy'ari terlebih dahulu berpesan kepada para pencari ilmu untuk mengurangi waktu tidur selama tidak menimbulkan bahaya. Artinya, semakin sedikit waktu yang digunakan oleh pencari ilmu untuk tidur, maka semakin baik, asal tidak berdampak buruk bagi kesehatan fisik maupun jiwanya. Beliau juga membatasi maksimal waktu tidur, yaitu delapan jam yang merupakan sepertiga dari satu hari atau 24 jam. Hal ini dikonfirmasi oleh dunia medis bahwa terlalu banyak tidur justru akan menimbulkan stres dan kelelahan yang ekstrem sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.


Setelah berpesan tentang tidur, Kiai Hasyim Asy'ari menyinggung soal bolehnya berwisata bagi penuntut ilmu sebagai pengisi daya semangat ketika kembali belajar. Berikut redaksinya dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim pada bab dua, yaitu adab penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri, poin kesembilan.


"ولابأس أن يريح نفسه وقلبه وذهنه وبصره إذا كل شيء من ذالك وضعف بتنزه وتفرج في المتنزهات بحيث يعود إلى حاله ولايضيع عليه." انتهى


“Tidak masalah bagi penuntut ilmu untuk mengistirahatkan jiwa, hati, pikiran atau matanya ketika lelah dan lemah (bosan/tidak bersemangat dalam belajar) dengan cara berwisata dan bersantai di tempat-tempat destinasi wisata dengan harapan dapat kembali pada kondisi semula serta tidak menyia-nyiakan kondisi tersebut.”


Kata al-mutanazzahat pada dasarnya berarti kebun, taman (secara alamiah maupun buatan) atau tempat untuk relaksasi atau melepaskan segala keterpaksaan (al-makruh). Secara istilah, kata ini ternyata tidak hanya dimaknai dalam arti kebun, melainkan juga pantai, pegunungan atau danau. Pada intinya, istilah tersebut dapat diartikan sebagai tempat wisata yang berupa taman atau sejenisnya yang berbasis alam dan biasanya digunakan untuk relaksasi.


Dalam konteks sekarang, kegiatan berwisata dengan mengunjungi al-mutanazzahat semacam ini seringkali disebutkan sebagai salah satu bentuk healing. Istilah ini secara bahasa artinya adalah pengobatan, sedangkan makna secara kontekstualnya adalah kegiatan relaksasi atau pengobatan dari lelah dan bosannya berbagai kesibukan rutinitas setiap hari, baik itu belajar maupun bekerja. Dalam arti yang lebih luas, healing berarti proses penyembuhan psikologis jiwa, perasaan, dan batin seseorang.


Setelah ditelusuri, ternyata kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim ditulis oleh Kiai Hasyim Asy'ari sekitar tahun 1343 Hijriah atau bertepatan 1925 Masehi. Pada saat itu, Indonesia masih dalam era pemerintahan Hindia-Belanda yang notabene belum terlalu berkembang dalam sektor wisata, terlebih wisata semacam taman. Melalui lembaga Vereeniging Toeristen Verkeer (VTV) pada 1908 saja, pemerintah baru mulai mengakomodasi beberapa tempat wisata, itu pun sangat terbatas.


Jika pribumi –  seperti para penuntut ilmu kebanyakan di Indonesia – ingin menikmati wisata yang dikelola pemerintah, maka sangat sulit diwujudkan. Sebab, hal itu berkaitan dengan aksesibilitas dan juga kesenjangan status sosial yang cukup besar, selain juga karena faktor ekonomi dan politik.


Tempat-tempat seperti itu biasanya hanya boleh diakses oleh orang-orang dari kalangan Belanda sendiri atau para bangsawan. Walaupun demikian, akses terhadap wisata alam yang belum dikelola masih cukup bebas untuk dikunjungi pribumi, seperti pantai, pegunungan, dan danau.


Dilihat dari aspek sosio-historisnya, mungkin yang dimaksud Kiai Hasyim Asy'ari dengan istilah al-mutanazzahat adalah segala tempat berbasis alam yang dapat merelaksasi jiwa, hati, pikiran serta menyegarkan mata ketika memandangnya. Pada konteks masa kolonial Hindia-Belanda, tempat berbasis alam seperti sawah dan perkebunan milik pribumi menjadi tempat healing yang paling mudah untuk dijangkau. Melihat keindahan hamparan sawah yang luas dan masih asri ketika itu sudah pasti cukup untuk merelaksasikan hati dan pikiran pada penuntut ilmu dari lelahnya belajar.


Kini, healing dengan berwisata atau mengunjungi al-mutanazzahat atau destinasi wisata dengan arti yang lebih luas karena akses yang lebih mudah dan minimnya kesenjangan sosial. Penuntut ilmu dapat mengunjungi tempat seperti kebun atau taman, air terjun, pantai, pegunungan danau yang sekarang hampir seluruhnya dikelola pemerintah. Asalkan, semua tempat itu tidak membuat mereka melakukan hal yang melanggar norma agama (kemaksiatan) atau normal sosial yang berlaku, serta sesuai dengan tujuan berwisata.


Berkaitan dengan tujuan, Kiai Hasyim Asy'ari menyebutkan tujuan dari healing dengan berwisata ini adalah untuk merelaksasikan jiwa, hati, pikiran dan mata. Merelaksasi jiwa berarti kaitannya dengan kondisi psikologis atau mentalitas penuntut ilmu yang menurun, hati berarti perasaannya yang tertekan, pikiran berarti otaknya yang penat, serta mata berarti pandangannya yang jenuh dengan hal-hal yang itu-itu saja.


Adapun motivasi dasar untuk melakukan bepergian ke tempat wisata menurut Kiai Hasyim semestinya adalah karena lelah (كَلَّ) dari padatnya kegiatan rutin yang dilakukan ketika dalam proses belajar. Selain itu, rasa kurang bersemangat (ضَعُفَ) yang muncul juga menjadi motif untuk perlunya melakukan healing dengan berwisata.


Harapannya, manfaat yang didapatkan dari berwisata ini adalah kembalinya energi dan rasa semangat mereka nantinya ketika kembali dalam proses menuntut ilmu. Beliau juga menambahkan bahwa dengan melakukan wisata semacam ini, penuntut ilmu dapat lebih menghargai waktu belajar mereka dengan tidak menyia-nyiakannya.


Sebagai refleksi dari tulisan ini, berwisata merupakan healing yang dapat dilakukan oleh para penuntut ilmu untuk mengatasi rasa lelah dan bosan dalam proses belajar. Berwisata yang dimaksud adalah seperti pergi ke destinasi wisata alam seperti kebun, sawah, pantai, air terjun, danau atau pegunungan.


Healing dengan model seperti ini menurut Kiai Hasyim Asy'ari dapat mengistirahatkan atau merelaksasikan jiwa, hati, pikiran dan mata mereka agar dapat kembali berenergi dan penuh semangat ketika kembali ke tempat belajar mereka. Wallahu a’lam.


Ananda Prayogi, Santri Tebuireng