Opini

PMII dalam Merawat Tradisi Intelektual NU

Ahad, 17 April 2022 | 16:00 WIB

Oleh Muchamad Nadzirummubin
Tepat 17 April 2022 organisasi kemahasiswaan berbasis keislaman dan keindonesiaan genap berusia 62 tahun sejak dideklarasikan oleh aktivis mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Organisasi yang identik dengan warna kebesaran biru-kuning tersebut telah melewati fase-fase penting yang mengarungi perjalanannya hingga hari ini.


Sebagai anak kandung dari NU, ideologi PMII mengikuti paham Ahlussunnah wal Jamaah Annahdliyyah. Meskipun pada tahun 1971, PMII menyatakan independen dari NU melalui Musyawarah Besar yang terkenal dengan Deklarasi Munarjati-Malang dan diwujudkan dalam bentuk Manifes Independensi PMII pada kongres tahun 1973 di Ciloto Jawa Barat. Menurut Kristeva (2012) sikap independen yang diambil PMII dilatarbelakangi adanya pengkerdilan fungsi dan penyederhanaan partai politik secara kuantitas yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Pada waktu itu NU dipaksa melakukan fusi bersama partai-partai Islam dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) (Lihat: Multy Level Strategy Gerakan PMII). Isu back to campus juga diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK sebagai upaya dari depolitisasi kampus dan meredam aktivitas politik mahasiswa. Sehingga PMII menegaskan visinya sebagai organisasi yang lepas dari kepentingan politik.


Terlepas dari hubungan antara PMII dan NU secara struktural yang masih menjadi perdebatan, kenyataannya PMII dengan NU tidak bisa dipisahkan baik secara kultural-ideologis maupun akses di lingkaran organisasi NU yang mayoritas didominasi oleh kader-kader PMII. Kristeva (2012) menambahkan bahwa Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) telah menjadi benang merah antara PMII dengan NU. Andaikan PMII dengan NU hari ini masih terpisah secara struktural, hal tersebut hanya sebatas kedudukan formal. Adanya keterpautan moral dan kesamaan backround membuat keduanya sulit untuk direnggangkan.


Hubungan PMII dan NU bukan hanya sebatas historis belaka, melainkan PMII memiliki akses untuk mengembangkan organisasinya di lingkup pesantren, dalam konteks ini kampus-kampus yang berafiliasi atau dalam naungan pesantren seperti Ma’had Aly (perguruan tinggi khas pesantren yang bersifat spesifik dalam mengkaji keilmuan Islam). Disadari atau tidak, selama ini PMII dirasa kurang concern terhadap kaderisasi dan pengembangan kader-kader PMII di lingkup pesantren. Padahal, mahasantri/mahasiswa secara umum, dan khusunya kader PMII yang ada di lingkup pesantren memiliki takhasus perihal diskursus keislaman. Kader PMII di lingkup pesantren erat kaitanya dengan tradisi intelektual NU yang berkembang, baik secara metodologis maupun dapat meng-elaborate secara komprehensif rujukan kitab-kitab klasik dan kontemporer. Hal ini mungkin menjadi diferensiasi dengan kader-kader PMII yang ada di kampus perguruan tinggi Islam non-pesantren.


Tradisi intelektual NU yang dimaksud seperti Lajnah Bahtsul Masail. Menurut Zahro (2004) Lajnah Bahtsul Masail merupakan forum resmi yang memiliki kewenangan dalam menjawab segala problematika keagamaan yang dihadapi warga Nahdliyin. Kegiatan Bahtsul Masail sudah ada sejak Muktamar pertama NU, meskipun institusi Lajnah Bahtsul Masail baru dibentuk pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta tahun 1989 melalui rekomendasi hasil halaqah yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang.

 

Pembentukan Lajnah Bahtsul Masail memiliki harapan agar dapat menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk melakukan istinbat jama’iy. Hal ini memberi signaling bagi PMII selaku pewaris peradaban NU untuk mempersiapkan kader-kadernya dalam rangka melanjutkan regenerasi NU dalam bidang tersebut, serta bagian dari aktualisasi pilar keislaman PMII yang meliputi keyakinan, pemahaman, pelaksanaan, dan penghayataannya atas ajaran agama. Meskipun ketiga pilar pengkaderan (Kemahasiswaan, Keislaman, dan Keindonesiaan) merupakan perwujudan yang utuh dan inheren dari setiap kader pergerakan.

 

Dalam menyikapi realitas sosial, kader-kader PMII cenderung bertumpu pada teori-teori konvensional dan hukum positif untuk melegitimasi tindikannya. Minimnya internalisasi narasi-narasi keislaman membuat PMII patah arah dalam mengejawantahkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin dari persepktif multidimensi. Dengan demikian, sama halnya PMII mereduksi nilai-nilai luhur yang selama ini menjadi landasan berpikir dan bergerak kader pergerakan.

 

Berangkat dari problematika di atas, Pengurus Besar PMII (PB PMII) periode 2021-2024 yang dinahkodai oleh Sahabat M. Abdullah Syukri melakukan transformasi gerakan dengan membentuk lembaga-lembaga profesi dan strategis guna merealisasikan visi PMII sebagai organisasi yang 'Maju Mendunia' melalui pengembangan berbasis ilmu pengetahuan. Salah satu lembaga yang dibentuk ialah Lembaga Bahtsul Masail yang digawangi oleh Sahabat Irfan Ali Syabana. Gus Abe panggilan akrab Ketua Umum PB PMII menekankan bahwa secara umum tujuan dibentuknya LBM PB PMII yang pertama, untuk merekomendasikan hasil-hasil ijtihad kader PMII kepada para stakeholders mengenai kebijakan dan advokasi publik dari perspektif fiqih sosial, khusunya mengenai isu-isu yang berkaitan dengan generasi millenial; dan kedua, merawat tradisi intelektual NU dan meneguhkan peran pesantren dalam membangun peradaban bangsa yang lebih baik.


Selamat hari lahir ke-62 PMII. Ilmu dan bakti kuberikan, adil dan makmur kuperjuangkan. Salam Pergerakan.

 

Penulis adalah Sekretaris LBM PB PMII.