Opini

Saat Teman-Teman Memanggilku ‘Cino Kenthir’

Ahad, 27 Desember 2020 | 01:00 WIB

Saat Teman-Teman Memanggilku ‘Cino Kenthir’

Keragaman harusnya mendidik kita untuk lebih menghormati dan saling mengisi satu sama lain. (Foto ilustrasi: AP)

Oleh Widya Resti Oktaviana


Hidup 24 tahun sebagai keturunan China pada awalnya tidak banyak memberikan pengaruh besar di dalam hidup saya. Tetapi seiring berjalannya waktu, kondisi tersebut berubah karena kechinaan saya diangkat-angkat. Di bangku SD, wajah saya mulai dipertanyakan oleh teman-teman yang penasaran kenapa beda sendiri. Sebagai anak SD yang polos, pertanyaan itu tidak terlalu saya tanggapi, karena bingung mau menjawab apa. Semakin banyak orang yang bertanya, saya pun turut penasaran.


Sejak kecil keberagaman sudah dekat dengan saya. Bersekolah di salah satu SD negeri favorit di Kota Yogyakarta dengan berbagai agama di dalamnya, tidaklah membuat saya menjadi orang yang membatasi diri sendiri. Justru menyadarkan betapa keragaman itu bukanlah sekat. Ada Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu. Setiap Hari Paskah, anak-anak beragama Kristen akan diajak guru agamanya ke gereja dekat sekolah untuk ibadah dan menghias telur rebus. Lalu sekembalinya ke sekolah, mereka mengajak kami yang beragama Islam untuk makan telur rebus bersama-sama. Masa-masa SD yang indah tanpa ada prasangka sedikit pun dan tembok pembatas tentang realitas bahwa kamu Kristen dan saya Islam.


Begitu juga dengan saudara-saudara dari Papa. Setiap Imlek kami merayakannya bersama. Saya juga menemani cici sembahyang ke vihara dan pulangnya kami diajak makan ke rumah seorang penganut agama Buddha yang memasakkan makanan lezat. Mereka adalah vegetarian, jadi makanan yang disediakan halal semua. Saat Idul Fitri tiba, saudara-saudara Papa yang beragama Buddha turut ikut bersilaturahim, bahkan apek (pakde) saya mengenakan peci dan baju koko yang dikenal mayoritas masyarakat sebagai ciri khas Islam. Pada kenyataannya hal tersebut adalah bagian dari budaya yang bebas dikenakan oleh penganut agama apa saja tanpa menunjukkan identitas suatu agama.


Papa yang keturunan China mulai saya ketahui ketika dirinya lebih sering bicara bahasa Hokkien dan semakin dekatnya hubungan saya dengan saudara-saudara di Medan. Sejak kecil, Papa memang tidak banyak mengenalkan tentang nenek moyangnya. Tapi saya dan adik kerap dibelikan VCD lagu-lagu Mandarin dan lagu Hokkien yang sering diputar di rumah. 


Rasa penasaran pun terjawab sudah. Ternyata Papa adalah orang keturunan China yang sekaligus juga saya ketahui bahwa Papa sebelumnya beragama Buddha lalu pindah Islam ketika menikah dengan Mama. Di saat SD kelas 4 saya sudah bisa menjawab pertanyaan teman-teman yang masih penasaran kenapa wajah ini berbeda. Meskipun sindiran masih kerap terlontar, namun hal tersebut tidak lantas membuat saya merasa tersinggung. Kami saling bercanda tanpa ada unsur saling menjatuhkan dan menjelek-jelekkan.


Sebenarnya saya adalah orang yang tertutup. Tetapi jika sudah saling  kenal, tanpa ragu bisa bersikap blak-blakan dan tingkah saya bisa dianggap menggila. Jadilah ketika SD dijuluki teman-teman dengan sebutan “Ciken”. Bukan Ciken ayam, melainkan “Cino Kenthir” atau China Gila. Saat itu julukan Ciken tidak membuat marah maupun sakit hati. Saya menganggapnya gojek, karena sehari-hari mereka masih belajar dan bermain seperti biasa tanpa merendahkan atau menjauhi saya karena keturunan China. 


Tahun 2009 saya naik ke bangku SMP dan Papa mengajak kami pindah ke Medan karena bisnisnya bangkrut. Hidup saya yang di kelas-kelas yang sebelumnya tidak banyak terganggu tiba-tiba berubah drastis ketika naik ke kelas IX. Di kelas ini kechinaan saya kembali diangkat bahkan di-bully habis-habisan hingga tidak dianggap ada di kelas itu. Ketika waktu istirahat, anak laki-laki pernah menyembah-nyembah sembari berlutut di depan saya seolah Dewi Kwan Im yang sering muncul di serial Kera Sakti tahun 90-an. Ejekan kali ini berbeda rasanya, yang terpaksa membuat saya baper karena tampak sarkas. Padahal paras Dewi Kwan Im yang ada di serial itu sangatlah cantik.


Ketika itu saya tidak mengenal apa itu rasis, juga tidak terlalu paham jika darah China saya sedang direndahkan. Pulang sekolah hanya bisa menangis dan mengadu ke Mama dan Papa. Barulah ketika duduk di bangku perkuliahan, keberagaman menjadi topik yang saya anggap paling menarik. Saat itu juga kasus penistaan agama oleh Ahok tengah viral yang ditaburi bumbu-bumbu politik sehingga makin sedap dalam sajian pemberitaan tanah air. Perebutan kepemimpinan cara kuno yang menjadikan agama sebagai tameng, pikir saya waktu itu. Toh kenapa rupanya jika tampuk kepemimpinan diduduki oleh orang China? Dan semakin meradang karena orang China itu beragama Kristen. Sontak, “panitia surga-neraka” pun bermunculan. Terkadang, berislam dengan kecenderungan ekstrem membuat orang sering ketakutan dengan hal-hal yang dicampurtangani oleh yang bukan beragama Islam. Akibatnya, demonstrasi, ketidaksetujuan, dan prasangka yang berujung tuduhan pun terlontar dengan kejam. Entah bagaimana perasaan mereka yang tertuduh, padahal maksud hati juga untuk kebaikan bersama. Di saat seperti inilah terkadang wajah Islam tampak galak dan melarang-larang. 


Ketertarikan pada keberagaman membuat saya bergabung dalam Peace Camp selama tiga hari dua malam yang diadakan oleh Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC). Inilah yang menjadi komunitas pertama saya untuk berinteraksi lintas iman setelah sekian lama berada dalam lingkungan kampus Islam yang didominasi akhi-akhi dan ukhti-ukhti. Meski sekamar dengan berbeda agama, suku, dan ras, kami saling menghargai dan menghormati prasangka masing-masing untuk kemudian dalam suatu sesi diskusi saling menjelaskan secara perlahan tanpa memunculkan perdebatan. Bahkan candaan antara saudara Kristen dan Islam yang berbau agama sering terjadi. Saudara Kristen mengajak saudara Islam untuk dibaptis, begitu juga saudara Islam mengajak saudara Kristen untuk mengucapkan syahadat. Mengingat kedua agama ini selalu dihantui dengan isu Kristenisasi dan Islamisasi yang tak berkesudahan. Kami tidak saling sakit hati dan saudara Islam tidak merasa diracuni juga. Candaan nyerempet agama ini tidak akan berujung tawuran jika ditanggapi dengan selow.  


Selama bergabung dengan komunitas yang menjunjung tinggi keragaman ini, saya menemukan tulisan-tulisan mengharukan dan menenangkan dari sosok almarhum Gus Dur. Beliau merupakan ulama nyentrik dengan pemikiran-pemikiran pluralisnya yang populer. Melalui pemikirannya itulah, saya seolah mendapat perlindungan dari beliau. Kami yang Islam dan Kristen di dalam YIPC sangatlah merindukan keberadaan beliau yang hangat dan merangkul. Kami rindu wejangan beliau akan keragaman yang harus selalu dipupuk.


Gus Dur adalah seorang yang telah menyelesaikan kasus diskriminasi pada etnis Tionghoa di Indonesia. Kiai bersahaja yang pernah memimpin rakyat Indonesia, gemar melahap banyak bacaan, menelurkan segudang karya tulis, serta menggaungkan keberagaman di negeri ini. Beliau telah menjadi sosok panutan Muslim yang mampu menunjukkan bahwa Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia bukanlah raja negeri ini yang satu-satunya harus diagungkan. Tetapi merangkul semua agama dan etnis untuk maju bersama dan saling menghormati satu sama lain.


Meski terlambat, tapi saya bersyukur masih diberi kesempatan mengenal sosok beliau dan membaca pemikiran-pemikirannya di sisa hidup saya. Saat bergabung bersama YIPC inilah, selain mulai mengenal pemikiran Gus Dur tentang keberagaman, kegelisahan akan masalah di masa-masa SD dan SMP mulai terjawab. Merendahkan suatu ras maupun agama memanglah salah. Namun, bagaimana cara kita menghadapinya sebagai target yang direndahkan? Haruskah marah-marah? Haruskan juga merendahkan? Haruskah menjelek-jelekkan? Apa bedanya kita dengan mereka? Kemajemukan adalah anugerah dari Tuhan yang bisa diterima oleh orang-orang tertentu saja. Karena nyatanya masih ada orang yang alergi dengan kemajemukan. Tetapi Gus Dur mampu mengendalikan orang-orang yang alergi kemajemukan tersebut dengan mengkombinasikan antara keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan untuk kemudian Islam menjadi agama yang ramah atau Islam rahmatan lil alamin.

 

Widya Resti Oktaviana, perempuan 24 tahun lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, konsentrasi Jurnalistik. 
 

 


Tulisan ini merupakan 1 dari 10 esai terpilih Lomba Menulis Esai #HarlahGusDur bertema "Kita Butuh Islam Ramah, Bukan Islam Marah", hasil kerja sama gusdurian.net, islami.co, dan nu.or.id.