Opini

Sel-sel NII (7): Modernis Radikal, Tradisionalis Radikal

Jum, 28 Januari 2022 | 17:00 WIB

Sel-sel NII (7): Modernis Radikal, Tradisionalis Radikal

Ilustrasi. (Foto: today.ru)

Radikalisme lazimnya datang dari aliran pemurnian. Agenda mereka secara umum adalah meloncati madzhab, dengan jargon kembali kepada Al-Qur’an dan hadis. Mereka menganggap madzhab adalah sekat yang membuat umat Islam terpecah belah. Mereka ingin menyatukan umat Islam di bawah dua sumber primer itu. Mereka dikenal sebagai kaum muwahhidûn. Pelopornya Ibn Taimiyah. Sejumlah besar literatur menyebutnya sebagai Bapak Fundamentalisme Islam. 


Pengusung aliran pemurnian terbelah ke dalam dua arus. Pertama, salafisme. Sanadnya dari Damascus ke Nejad, dari Ibn Taymiyah ke Muhammad bin Abdul Wahab. Mereka menganggap Islam mundur dan terbelakang karena umat meninggalkan agamanya. Solusinya adalah kembali ke Qur’an dan hadis, lalu ikut generasi salaf. Mereka ingin memurnikan Islam dari campuran bid’ah dan khurafat.

 

Tidak boleh mengada-adakan hal baru dalam agama. Islam sudah sempurna dan tak perlu inovasi. Tugas umat hanya mencocokkan perilaku kita hari ini dengan generasi salaf. Mereka lebih tahu apa yang baik dalam agama. Andaikata sesuatu itu baik, niscaya generasi salaf telah melakukannya. Mereka mengutip ucapan Ibn Taimiyah, yang sedikit dimodifikasi: « لو كان هذا خيرا لسبقونا إليه ». Aliran ini muncul pada abad ke-18 M. Literatur modern menyebut mereka sebagai kaum fundamentalis generasi pertama.

 


Kedua, modernisme. Mereka ingin kembali kepada sumber primer Islam, tanpa terikat madzhab, sebagai bekal untuk mengejar komodernan. Mereka yakin Islam dapat bersaing dengan Barat, asal bersatu. Mereka mengusung panji-panji persatuan Islam dalam politik. Agendanya adalah Pan-Islamisme. Pelopornya Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Mereka disebut sebagai kaum modernis. Fajar gerakan ini terbit dari Mesir, lalu bergulir ke tempat-tempat lain. Mereka tetap menghadirkan Ibn Taimiyah, dengan sejumlah penyesuaian.  


Apa beda salafisme dan modernisme? Dua-duanya sama-sama emoh bid’ah dan mengusung pemurnian. Bedanya di cermin. Salafisme cerminnya ke dalam, yaitu generasi salaf. Mereka menganggap generasi salaf adalah cermin terbaik umat Islam untuk semua zaman. Modernisme cerminnya ke dalam dan keluar. Mereka melihat masa lalu, lalu menengok Barat dan ingin mengejarnya.

 

Dengan Islam yang benar, tanpa TBC, Islam dapat bersaing, dan bila perlu, menggantikan Barat sebagai pemimpin peradaban. Agendanya lalu bersifat politik. Modernisme dikenal sebagai salafi politik atau salafi yang bervisi pergerakan (salafi haraki). Dengan visinya itu, mereka punya andil dalam mengenyahkan kolonialisme Barat di sejumlah dunia Islam.  


Salafi haraki menjadi katalisator lahirnya salafi politik dalam wajah yang lebih garang. Mereka menganggap mentor mereka kurang revolusioner. Kalau ingin nizam Islam tegak, jangan berkompromi dengan sistem Barat. Mereka menyebutnya thaghut. Orang Islam harus mengingkari thaghut sebagai syarat iman:  «فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى». Mereka membolehkan jalan kekerasan. Kelompok ini menjelma menjadi salafi jihadi.

 


Orang-orang Islam penganut doktrin pemurnian punya modal separo untuk menjadi ekstremis. Salafi ortodoks dan salafi politik punya terowongan menuju salafi jihadi, tergantung kondisi. Ini pun yang terjadi di Indonesia. Kaum Wahabi puritan punya pandangan keagamaan eksklusif dan intoleran. Tetapi, mereka tidak serta merta radikal dalam perbuatan, lalu jadi teroris. Kaum modernis juga punya elemen salafi, tetapi tidak serta merta jadi Wahabi. Dua-duanya punya irisan sebagai pengusung purifikasi. Dua-duanya dapat menjadi pemasok salafi jihadi, tergantung kondisi. 


Maka kita temukan kaum jihadis, umumnya, berlatar belakang pengikut salafi atau anggota ormas Islam modernis. Contohnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, anggota-anggota JI dan JAD, JAT, JAK, dan JAS. Latar belakang ormas mereka adalah modernis. Latar belakang pesantren mereka adalah salafi atau modernis. Tidak heran, banyak sekali dari mereka, termasuk pentolan-pentolannya, adalah alumni Gontor. 


Tetapi kita temukan kasus unik di Indonesia. Kaum radikal atau jihadis bisa datang dari pengikut Islam tradisional. FPI, yang telah dibubarkan itu, adalah penganut Islam tradisional. Islam tradisional adalah nama lain dari Islam madzhab. Para habaib pendiri FPI adalah pengikut madzhab Syafi’i dalam fikih dan Asy’ari dalam tauhid.

 

Ajengan Jawa Barat pegiat NII juga berlatar belakang Islam tradisional. Mereka mayoritas bermadzhab Syafi’i. Kiai Ahmad Sanusi, pendiri PUI di Jawa Barat, juga penganut madzhab Syafi’i. Begitu juga KH Yusuf Tauziri dan Ajengan Choer Affandi. Ajengan Masduki, nama lengkapnya Abdullah Muhammad Masduki, Imam NII pasca Kartosoewirjo dan Adah Djaelani, juga penganut Islam tradisional. 


Beberapa bulan lalu saya berkesempatan berkunjung ke kediaman almarhum dan ziarah ke kuburannya. Saya bertemu dengan isteri dan putra-putrinya. Isteri beliau, yang sudah sangat sepuh, bercerita banyak tentang perjuangan beliau membersamai suaminya di gunung selama belasan tahun. Lalu, semasa Orde Baru, mereka pindah dari satu pulau ke pulau untuk mengonsolidasikan para pendukung negara Islam. Salah seorang putra Ajengan mengaku keluarga mereka adalah NU.

 

Putri bungsu Ajengan belajar di pesantren Cipasung asuhan tokoh NU dan aktif di PMII. Putra sulung Ajengan, H. Acep Badruddin, mendirikan pesantren Al-Ittihad Cianjur, yang dikelola oleh putri dan menantuya, Hj. Etty Muflihah dan KH Kamali Abdul Ghani. Dua-duanya alumni pesantren Daarur Rahman, asuhan KH Syukron Makmun. KH Kamali Abdul Ghani sekarang menjabat sebagai Rais Syuriah PCNU Kabupaten Cianjur.


Alhasil, radikalisme bisa datang dari penganut Islam puritan dan tradisional. Jika puritanisme secara intrinsik membayang-bayangi fundamentalisme, radikalisme dari kelompok Islam tradisional dibentuk oleh kekhasan wilayah. Islam tradisional di bagian barat, persisnya Jawa Barat dan sekitarnya, punya persentuhan intens dengan politik Masyumi yang kanan.

 

Ubudiyah mereka berbeda dengan kaum Islam modernis, tetapi visi politik mereka segendang sepenarian. Islam tradisional Jawa Barat punya karakter khas yang berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Islam tradisional di Jawa Barat tidak identik dengan NU. Karena itulah mereka rentan sekali terserat ombak fundamentalisme dan radikalisme.


M. Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum PP ISNU