Opini

Shalat Jumat di Masjid yang Membuat Bergelayut dalam Renungan 

Jum, 7 Juli 2023 | 22:00 WIB

Shalat Jumat di Masjid yang Membuat Bergelayut dalam Renungan 

Ilustrasi (istimewa)

Jamaah sudah memenuhi sebagian shaf di masjid itu walau sebagian shaf tampak 'bolong-bolong'. Berangsur jamaah yang baru datang menyelinap di antara jamaah yang sudah mulai terkantuk mengantuk mengisi shaf bagian depan. 


Sejurus kemudian jam digital tepat di atas mimbar khatib berbunyi bertanda waktu dzuhur masuk. Bilal pun melaksanakan tugas. Dengan suara pas-pasan ia mulai mengumandangkan adzan melalui speaker luar dan dalam yang berhiaskan suara 'ngeses' dan sedikit storing

 

Suaranya membangunkan jamaah yang duduk sambil tertidur dan mengundang jamaah yang semakin memenuhi masjid itu. Tidak ada suara bedug terdengar. Tidak ada shalawat dibaca sang bilal sebelum adzan. 


Saya sedikit ragu berdiri untuk shalat sunnah. Terlihat di kanan kiri jamaah masih anteng dengan posisi mereka. Namun, saya putuskan berdiri untuk shalat dua rakaat diiringi khatib menyampaikan muqadimah khutbahnya. Benar saja, ternyata masjid itu mempraktikkan adzan Jumat satu kali yang langsung disambung khatib naik mimbar menenteng sebuah buku. 


Buku itu terlihat lusuh dengan beberapa halaman tampak sudah sobek. Jilidannya pun mengelupas termakan waktu. Sampul halamannya pun sudah sobek membagi tulisan 'Khutbah Jumat' menjadi dua. 


Saya mencoba hitung rukun demi rukun yang dibaca khatib. Alhamdulillah, lengkap. Shalawatnya pun pakai 'Sayyidina' menjadikan ketidaknyamanan di hati ini berkurang. Namun, ketika sampai membaca ayat Al-Qur'an, sayamenarik nafas dalam-dalam sambil bertanya, di mana khatib belajar membaca Al-Qur'an? 


Tak berhenti sampai di situ, saat khatib membaca surat pendek dalam shalat, kembali terulang banyak bacaan yang seharusnya pendek dibaca panjang. Bukan hanya satu dua kali, sepertinya kesalahan ini memang berawal dari hapalannya yang tidak sesuai. 

 

Di penghujung shalat, saya lihat imam hanya berbalik menghadap jamaah dan saling diam seribu bahasa. Untung saja, materi khutbah saat itu masih standar-standar saja tentang meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Saya sempat khawatir, jangan-jangan materi khutbahnya tentang khilafah atau mengupas hadits "kullu bid'atin dhalalah...." 


Ternyata Aman! 

*** 

Inilah sekilas suasana shalat Jumat di satu masjid saat saya singgah untuk shalat Jumat. Secara demografi desa tempat masjid itu berada tidak berbeda dengan desa-desa lainnya. Petani dan buruh lepas mendominasi profesi penduduk di daerah tersebut. 


"Jarang dan hampir nggak ada yang mondok di pesantren, Mas," kata salah seorang jamaah yang sempat saya tanya setelah rampung shalat. 

 

Informasi ini sedikit bisa menggambarkan bagaimana kondisi masjid-masjid di daerah yang tidak ada sosok berpengaruh dari sisi agamanya. Saking tidak adanya yang bisa khutbah dan memimpin tahlil, sering dijumpai imam masjid di sebuah desa bermodalkan 'terpaksa' dan berani tampil ke depan. 


Sampai-sampai ada yang berkhutbah membaca versi Arabnya dengan transkrip huruf latin. Bukan hanya itu, semua ayat yang dibaca merupakan hasil hafalan dari membaca transkrip itu. 

 

Kondisi ini menurut narasumber yang tidak mau disebut namanya sudah berlangsung lama, sehingga sulit untuk mengubahnya karena sudah mengakar dan menjadi kebiasaan. 

 

"Pernah dicoba untuk melakukan perombakan. Tapi memang SDM-nya kurang dan ada rasa tidak enak dengan mereka yang sudah lama menjadi imam dan khatib," katanya. 

 

Kondisi ini tentu tak boleh dibiarkan terus menerus. Perlu adanya perhatian khusus semua pihak untuk mengatasi masalah yang tidak terjadi hanya di daerah ini. Semua pihak terkait perlu melakukan penyegaran keilmuan agama agar pelayanan ibadah kepada umat benar-benar berkualitas. 

 

Pesantren sebagai pencetak kader-kader yang kompeten di bidang agama harus terus menanamkan keberanian para santrinya untuk tampil di depan di tengah-tengah masyarakat. 

 

Jangan sampai kondisi seperti ini malah diisi oleh mereka yang semangat beragamanya tinggi, namun mudah menyalahkan dan mengafirkan amaliah orang lain. Santri perlu hadir memenuhi ruang-ruang kosong pada masyarakat di negeri ini. Menebarkan paham Ahlussunah wal Jamaah Annahdliyah yang sejuk dan menyejukkan dan membawa keberkahan. Amin. 


Muhammad Faizin, Redaktur NU Online