Opini AHMAD SAIFUDDIN*

Sumpah Pemuda: Untuk Apa?

Kam, 31 Oktober 2013 | 03:01 WIB

Setiap tanggal 28 Oktober bangsa kita senantiasa memperingati hari Sumpah Pemuda. Sumpah pemuda terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928, yang merupakan puncak awal perjuangan para pemuda Indonesia bersatu dalam memperjuangkan harkat, derajat, dan martabat bangsa Indonesia. Memperjuangan kemerdekaan sebagai bangsa yang mandiri dan tidak terjajah.
<>
Sumpah pemuda, tidak sekedar sumpah janji biasa, namun sebuah sumpah janji yang melebihi zaman dan waktu, yang mampu menyulut api perjuangan pemuda Indonesia melawan imperialisme dan kolonalisme penjajah dan mampu menghantarkan Indonesia menuju kemerdekaan sebagai bangsa dan negara.

Sumpah pemuda yang berisikan semangat nasionalisme dengan rincian berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia, mampu menyingkirkan fanatisme kesukuan dan agama, serta mampu memperkokoh jati diri pemuda Indonesia dengan sangat kuat sehingga mampu mengeluaran tenaga yang maha dahsyat dalam revolusi Indonesia.

Namun, apakah semangat sumpah pemuda masih dapat dilihat pada masa sekarang? Lalu, buat apakah Sumpah Pemuda dijadikan sebagai sebuah peringatan dan ditetapkan pada suatu tanggal, yaitu 28 Oktober?

Kondisi pemuda Indonesia saat ini, belum dapat dikatakan sangat membanggakan. Meskipun kita juga harus membuka mata pada hal positif yang dilakukan oleh banyak pemuda Indonesia, kita juga tidak boleh melupakan dan menutup mata pada sisi lain, yaitu kondisi pemuda Indonesia yang semakin hari semakin tidak membanggakan.

Berita kriminal dan anarkisme pada jaman sekarang, dipenuhi oleh pemuda. Mulai dari tawuran, bentrokan, perzinaan, pencurian, perkelahian, pembunuhan, dan kasus kriminal lainnya. Fakta ini hendaknya menjadi fokus utama dalam bangsa ini mengingat pemuda adalah tulang punggung bangsa ini.

Tahun 2012 lalu, sebanyak 22,2 persen pemuda Indonesia menganggur. Jumlah itu lebih tinggi dari statistik rata-rata pengangguran berusia muda kawasan Asia Tenggara dan Pasifik sebesar 13,9 persen. Selain itu, kaum muda pedesaan Indonesia yang bekerja di sektor formal hanya 20 persen dibanding kaum muda perkotaan. Angka pengangguran yang cukup tinggi akan menyebabkan peluang tindak kriminal tinggi dan tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup pemuda semakin menurun.

Berdasarkan data dari BKKBN  tahun 2013, anak usia 10-14 tahun yang telah melakukan aktivitas seks bebas atau seks atau seks di luar nikah mencapai 4,38 persen, sedang pada usia 14-19 tahun sebanyak 41,8 persen telah melakukan aktivitas seks bebas. 

Selain itu, banyak mahasiswa dan pemuda terlibat tawuran dan anarkisme di beberapa daerah hanya dikarenakan permasalahan sepele dan sederhana yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan baik. 

Berbagai permasalahan di atas mengindikasikan adanya krisis dalam pemuda Indonesia saat ini. Dengan semangat sumpah pemuda, hendaknya mampu menginternalisasikan nilai-nilai yang positif. Sumpah pemuda, berisikan semangat dan sumpah dari pemuda Indonesia untuk menyatukan kembali identitas diri yang mampu mengikat segala latar belakang dan semakin memperkokoh nasionalisme. Semangat satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa.

Namun, kondisi sekarang sungguh kontras dengan kondisi saat itu. Dimana ketika kemerdekaan sudah diraih dan seharusnya semangat sumpah pemuda tersebut diimplementasikan oleh para pemuda Indonesia saat ini, justru semakin merosot.

Kita harus belajar dan refleksi pada momen 28 Oktober 1928. Sungguh mengherankan, ketika identitias kesukuan disinggung oleh suku lain, maka anarkisme menjadi sebuah problem solving. Namun, di sisi lain ketika identias kebangsaan digerus oleh berbagai macam budaya Barat yang sarat akan nilai-nilai yang amoral, justru tidak dilawan dengan massif.

Sungguh menyedihkan, ketika para pemuda tempo dulu berusaha memperkuat bahasa kesatuan—bahasa Indonesia—namun di saat ini justru penggunaan bahasa Indonesia dengan baik tidak diimplementasikan dengan baik. Sungguh memprihatinkan, ketika para pemuda zaman dulu berusaha memperkokoh identitas nasional kebangsaan, namun di saat ini justru semakin banyak pemuda yang lebih senang melakukan imitasi dari budaya luar.

Kondisi seperti ini semakin lama akan menyebabkan krisis identitas. Krisis identitas ini akan menyebabkan menurunnya kepekaan terhadap permasalahan yang terjadi di belantara Nusantara ini. Jika kepekaan terhadap permasalahan menurun, maka urgensi pemuda juga akan semain merosot. Finalnya, kualitas bangsa juga tidak akan menunjukkan perbaikan secara signifikan, bahkan menjadi bangsa yang terjajah kembali.

Sumpah pemuda, yang berisikan penyatuan dan pengukuhan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, harus diinternalisasikan dengan baik pada zaman sekarang sebagai salah satu pemecah masalah atas krisis dan permasalahan pada pemuda Indonesia saat ini. Bagaimana kita menghayati perjuangan pemuda zaman pra-kemerdekaan yang berusaha bersatu demi meraih kemerdekaan yang hakiki.

Bagaimana kita bercermin pada semangat juang para pemuda pra-kemerdekaan demi menunjukkan bangsa yang bermartabat. Bagaimana kita mencontoh pada ketahanan dan kekuatan fisik dan mental para pemuda pra-kemerdekaan demi merebut hak-hak yang telah dirampas. Bagaimana kita meniru kepekaan dan kekritisan para pemuda pra-kemerdekaan yang diimbangi dengan aksi yang riil dan kreatif demi menjadi bangsa yang terhormat. Dimana kesemuanya itu masih berlangsung pada era mempertahankan kemerdekaan, dan semakin surut sampai era sekarang ini.

Peringatan Sumpah Pemuda setiap tanggal 28 Oktober hendaknya bukan dilaksanakan sebagai rutinitas belaka. Namun lebih jauh dari itu, peringatan sumpah pemuda hendaknya sebagai sarana refleksi diri serta penghayatan sejarah sehingga mampu menginternalisasikan nilai-nilai Sumpah Pemuda ke dalam diri terdalam. Pada akhirnya, nilai tersebut mengkristal di dalam diri dan mampu menjadi kepribadian (personality) yang holistik dan utuh serta memiliki mentalitas yang baik dan kepribadian yang sehat. Pemuda masa kini, pemimpin masa depan.



*Penulis adalah Ketua PC IPNU Kabupaten Klaten dan Mahasiswa S2 Program Magister Profesi Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta