Opini

Tentang Cahaya Fajar dan Awal Waktu Shubuh

Rab, 21 April 2021 | 04:30 WIB

Tentang Cahaya Fajar dan Awal Waktu Shubuh

Ilustrasi (via alfetn.com)

Oleh Hendro Setyanto


Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah menggelar kajian formal tentang cahaya fajar dan awal waktu Shubuh di Indonesia secara berturut-turut dalam 8 bulan sejak Syawwal 1441 H (Juni 2020) hingga Jumadal Akhirah 1442 H (Februari 2021).


Kajian cahaya fajar dan awal waktu Shubuh diselenggarakan guna menjawab pertanyaan terkait dinamika cahaya fajar dan awal waktu Shubuh di Indonesia, khususnya dari sudut pandang Nahdlatul Ulama. Telah diketahui terbitnya cahaya fajar merupakan penanda awal waktu Shubuh.


Kajian tersebut melibatkan para peneliti Nahdlatul Ulama di bidang ilmu falak dan ilmu fiqih yang telah menggeluti topik cahaya fajar di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir. Beberapa di antara peneliti ilmu falak tersebut adalah pionir dalam penelitian di bidang ini.


Cahaya fajar merupakan produk penyinaran matahari secara tak langsung, di mana matahari belum terbit namun berkas cahayanya telah sampai di permukaan bumi akibat sifat optis atmosfer bumi. Selain menandai awal waktu Shubuh, terbitnya cahaya fajar juga menjadi awal waktu puasa sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 187.


Pengamatan cahaya fajar untuk menentukan kriteria awal waktu Shubuh adalah selaras dengan pandangan Nahdlatul Ulama bahwa waktu-waktu ibadah yang berlandaskan pada fenomena langit tertentu sebaiknya diamati atau dirukyah. Inilah yang melandasi aktivitas rukyatul hilal yang telah menjadi agenda rutin LFNU guna menentukan awal bulan kalender Hijriyyah setiap bulan (tak terbatas pada Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah).


Demikian pula pengamatan Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan guna menentukan waktu shalat gerhana. Berbeda dengan rukyatul hilal, tidak ada perintah syar’i untuk menyelenggarakan pengamatan matahari secara terus menerus guna menentukan waktu shalat, sehingga pengamatan kedudukan matahari tidak bersifat ta’abuddi. Namun pada saat-saat tertentu secara periodik pengamatan digelar sebagai bagian dari upaya kehati-hatian dalam menjaga hasil perhitungan waktu shalat agar tetap konsisten dengan posisi matahari yang menjadi acuannya.

 

 

Waktu shalat Shubuh


Kajian cahaya fajar dan awal waktu Shubuh Lembaga Falakiyah PBNU bertumpu pada dua disiplin ilmu, yakni ilmu fiqih dan ilmu falak. Hasil kajian ilmu fiqih menyimpulkan terdapat dua jenis fajar, yakni fajar kadzib (fajar semu) dan fajar shadiq (fajar nyata). Fajar shadiq menjadi penentu awal berpuasa dan awal waktu Shubuh seperti disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Khuzaimah.


Menurut riwayat Hakim dari hadits Jabir terdapat hadits serupa dengan tambahan tentang fajar yang diperbolehkan memakan makanan sebagai “fajar yang memanjang di ufuk.” Dalam riwayat lain disebutkan “dia seperti ekor serigala.”


Jumhur ulama sepakat awal waktu Shubuh ditandai oleh terbitnya fajar shadiq. Baik dalam pandangan fukaha klasik maupun kontemporer. Terbitnya fajar shadiq terjadi pada waktu gholas, yakni waktu gelap di akhir malam yang bercampur cahaya fajar. Saat waktu gholas maka seseorang belum bisa mengenali wajah orang lain di sampingnya. Hal ini diterangkan dalam Bughyatul Mustarsyidin, Sayyid Abdurrahman,  juz 1 shaf 33.


Jumhur ulama juga sepakat waktu Shubuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq dan berakhir pada saat terbitnya matahari. Kecuali Imam Qosim dan sebagian ashab Syafi’i yang berpendapat berakhirnya waktu Shubuh pada saat ishfar.  


Para ulama berbeda pendapat tentang waktu terbaik untuk menunaikan shalat Shubuh. Sebagian ulama khususnya dari mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat menyegerakan shalat Shubuh pada waktu gholas. Demikian pula Syaikh Wahbah az–Zuhaili dan Imam Thantawi. Sementara sebagian lainnya, seperti para ulama mazhab Hanafi dan Imam ath–Thabari lebih mengutamakan pada waktu ishfar. Waktu ishfar adalah waktu terang buram, yakni saat langit telah kekuning-kuningan sehingga jalan-jalan dan lingkungan mulai terlihat.


Definisi fajar shadiq dijelaskan cukup lengkap dalam beberapa hadits Nabi. Dalam hal ini pendapat para ulama tentang identitas fajar shadiq terbagi menjadi tiga. Pendapat pertama bersandar pada Ibnu Abbas RA dan lain–lain, yaitu fajar shadiq adalah cahaya yang sudah cukup terang di ufuk timur dan cukup terang sehingga sudah menerangi puncak-puncak pegunungan / perbukitan. Sedangkan pendapat kedua berasal dari Imam Ghazali dan lain-lain, di mana fajar shadiq adalah pancaran cahaya putih kemerah-merahan terang di ufuk timur yang menyebar secara horizontal (paralel) terhadap ufuk dan mudah dikenali mata.


Dan pendapat yang ketiga berasal dari al-Zamakhsyari, Fakhruddin ar-Razi dan lain–lain, yakni fajar shadiq adalah cahaya selain fajar kadzib yang sudah muncul di ufuk timur meskipun masih kecil (samar). Jika diurutkan, maka terangnya cahaya fajar shadiq dalam pendapat pertama adalah cukup terang, dalam pendapat kedua adalah terang dan dalam pendapat ketiga adalah samar.


Imam Ghazali menyebutkan fajar shadiq mulai terbit pada 2 manzilah sebelum terbitnya Matahari (thulu’us syams). Ulama yang lain berpendapat terbitnya fajar shadiq bila dikira-kirakan terjadi 1 jam 30 menit sebelum terbitnya matahari. Rentang waktu yang setara dengan membaca Al-Qur’an 3 juz secara perlahan atau setara 1/8 malam.


Identitas fajar shadiq sebagai pancaran cahaya tipis putih kecil (samar) di ufuk timur menjadi definisi operasional yang melandasi pengamatan-pengamatan cahaya fajar dalam ilmu falak.


Adapun dalam kajian ilmu falak, atmosfer Bumi memiliki sifat optis yang mampu membiaskan, menghamburkan dan menyerap berkas cahaya matahari. Atmosfer merupakan medium bening berlapis-lapis dengan kerapatan yang berbeda-beda untuk setiap lapisan. Maka setiap lapisan atmosfer memiliki indeks biasnya sendiri  dan membiaskan berkas cahaya yang melaluinya. Berkas cahaya dari ruang angkasa yang datang akan dibiaskan mendekati garis normal. Sehingga berkas cahaya tersebut dapat tiba pada sebuah titik di permukaan bumi meskipun matahari belum terlihat secara langsung.


Kemampuan atmosfer Bumi untuk menghamburkan berkas cahaya Matahari ditopang oleh adanya molekul-molekul (Nitrogen dan Oksigen) serta partikulat mikro. Hamburan oleh atmosfer tersebut menyebabkan langit nampak berwarna biru di siang hari dan kemerah-merahan di saat fajar/senja. Adapun kemampuan atmosfer Bumi untuk menyerap berkas cahaya Matahari disebabkan oleh kandungan molekul tertentu (terutama Ozon). Molekul Ozon menyerap berkas cahaya Matahari sehingga lebih melalukan komponen cahaya biru dibanding komponen lain. Kombinasi ketiga faktor tersebut menjelang Matahari terbit melahirkan fajar shadiq.

 

 

Fajar Shadiq dan Fajar Kadzib


Secara kualitatif fajar shadiq merupakan cahaya tipis berkedudukan horizontal terhadap ufuk dan kian bertambah terang seiring waktu. Sebelum hadirnya fajar shadiq, fajar kadzib akan menghiasi langit timur terlebih dahulu. Fajar kadzib merupakan cahaya berintensitas lemah (dibanding fajar shadiq) membentuk struktur mirip segitiga yang khas dan menjulang sepanjang garis ekliptika. Meskipun intensitas cahaya fajar kadzib juga meningkat secara perlahan seiring waktu namun tidak pernah seterang cahaya fajar shadiq. Saat fajar shadiq terbit maka terjadi tumpang tindih dengan cahaya fajar kadzib.


Selain mata, pengamatan fajar shadiq dan fajar kadzib dapat pula dilaksanakan dengan instrumen modern seperti kamera digital dan instrumen pengukur kecerlangan langit seperti Sky Quality Meter (SQM). Kamera digital dapat merekam langit timur secara konsisten dari waktu ke waktu. Dengan metode olah-foto (citra) intensitas cahaya langit bisa diperoleh. Adapun SQM sebagai sebuah alat ukur menghasilkan nilai intensitas cahaya secara langsung.


Nilai–nilai tersebut membentuk kurva cahaya kecerlangan langit (sky brightness) seiring waktu. Dalam kurva cahaya tersebut fajar kadzib terlihat mempunyai pola linear sementara fajar shadiq membentuk pola eksponensial. Pola linear dalam fajar kadzib merupakan salah satu temuan para peneliti Nahdlatul Ulama yang belum pernah dijumpai sebelumnya oleh peneliti lain. Terbitnya fajar shadiq dengan peningkatan intensitas cahaya yang lebih besar dibanding peningkatan linier khas fajar kadzib dan merupakan bagian dari pola eksponensial.

 

Peningkatan tersebut akan terlihat sebagai titik belok dalam kurva, yang dinamakan titik belok fajar (TBF). Apabila fajar kadzib tidak terdeteksi pada saat pengamatan maka yang terbentuk adalah titik belok kurva (TBK). Dalam kondisi normal maka nilai TBK akan sangat dekat dengan nilai TBF. Tapi bila lokasi pengamatan terganggu, maka nilai TBK akan berbeda terhadap nilai TBF.


Kajian juga menunjukkan bahwa pengamatan fajar shadiq tidak bisa dilaksanakan di sembarang lokasi, sembarang waktu dan sembarang kondisi atmosfer. Lokasi pengamatan seharusnya gelap dengan skala Bortle maksimum 3. Lokasi pengamatan tidak boleh terganggu sumber cahaya buatan, baik yang bersifat permanen seperti kota dan pemukiman hingga yang bersifat temporer seperti lampu sorot kendaraan. Dan atmosfer pada lokasi pengamatan juga tidak boleh tertutupi serakan awan tebal.

 

Apabila ketiga faktor tersebut hadir di lokasi pengamatan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, maka titik belok kurvanya akan bergeser cukup jauh terhadap titik belok fajar. Dengan kata lain bila ketiga faktor tersebut tidak diperhitungkan, maka kurva kecerlangan langit di lokasi tersebut akan menyajikan hasil yang mengecoh (false) dan bisa diikuti dengan penafsiran yang keliru.


Para peneliti Nahdlatul Ulama menggunakan beragam metode guna menentukan TBF. Mulai dari analisis gradien, analisis nilai modus, analisis visual, analisis solver dan pendekatan fungsi linear. Dalam berbagai pengamatan setempat-setempat dan mandiri sejak 2010 hingga 2020 diperoleh 37 data yang tak terganggu dengan titik belok kurva lebih kecil daripada negatif 18º. Distribusi lokasi pengamatan mulai dari pulau Jawa (Madiun, Klaten, Pati, Rembang, Banyuwangi), pulau Bawean hingga kepulauan Nusa Tenggara (Labuhan Bajo, Kolbano).


Di dalam 37 data tersebut terdapat 17 data dengan fajar kadzib terlihat. Sehingga titik beloknya merupakan titik belok fajar.  Nilai rata–rata dari 17 data tersebut adalah negatif 19,89º +- 0,40º (negatif 19º 54’ +- 0º 24’). Sebaliknya terdapat 20 data dengan fajar kadzib yang tidak terlihat, maka titik beloknya merupakan titik belok kurva semata. Nilai rata–rata dari 20 data tersebut adalah negatif 19,48º +- 1,07º (negatif 19º 29’ +- 1º 04’). Berdasarkan pada nilai rata–rata dan deviasi standar di antara dua kelompok data tersebut, maka dari sudut pandang statistika dapat disimpulkan kedua kelompok data memiliki titik belok yang sama. Maka kedua kelompok tersebut merupakan satu kesatuan.


Sebagai satu kesatuan data, di dalam 37 data tersebut dijumpai 8 data yang memiliki nilai titik belok lebih kecil dari negatif 20º. Bila berpijak pada prinsip persamaan batas dengan nilai terendah seperti diadopsi dalam pembentukan kriteria visibilitas hilal, cukup rasional bahwa titik belok terendah dari seluruh data adalah 21º. Maka dari sudut pandang ilmu falak, titik belok ini adalah fajar shadiq yang disimpulkan dari kajian fiqih sebagai telah munculnya cahaya samar minimal di titik azimuth tempat Matahari akan terbit, mengacu pada pendapat Imam Fakhruddin ar–Razi, az–Zamakhsyari dan lain–lain.

 

Tetapi dalam kajian fiqih juga dikenal langkah pengamanan sebagai bagian dari kehati-hatian dan menjamin fajar shadiq memang sudah benar-benar terbit. Langkah pengamanan yang rasional adalah dengan menambahkan 1º lebih tinggi dibanding angka negatif 21º. Maka tinggi matahari negatif 20º adalah lebih tepat dan menjadi bagian dari kehati-hatian.

 

Sehingga dapat disimpulkan kriteria awal waktu Shubuh dengan nilai tinggi Matahari negatif 20º tetap digunakan. Sebab memiliki landasan ilmu fiqih dan ilmu falak yang kuat. Dari sisi ilmu fiqih, kriteria tersebut sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi’in, para tabi’it tabi’in, para shalafus shalih dan para auliya. Terbitnya fajar shadiq merupakan penentu awal waktu Shubuh dalam pendapat jumhur ulama. Identitas fajar shadiq adalah sebagai cahaya putih kecil (samar) di ufuk timur yang menyebar secara horizontal terhadap ufuk. Turunan definisi tersebut di sisi ilmu falak dengan berdasarkan pada pengamatan terkini di Indonesia menyimpulkan fajar shadiq terbit pada tinggi Matahari negatif 20º.


Syaikh al–Dimyathy dalam Hasyiyah ’Ianah at-Thalibin juz 1 shaf 115 menyebutkan salah satu pedoman keabsahan suatu ibadah adalah keyakinan pada diri yang melaksanakan ibadah dan ibadah tersebut benar-benar dilaksanakan tepat pada waktunya. Diperlukan data pengamatan fajar yang ideal dari lokasi yang ideal pula untuk semakin menguatkan keyakinan tersebut dalam penentuan awal waktu Shubuh.


Dengan demikian kriteria awal waktu Shubuh di Indonesia berdasarkan tinggi Matahari negatif 20º memiliki landasan ilmiah yang kuat karena didukung data hasil pengamatan. Data-data tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena diperoleh dari pengamatan dengan beragam instrumen dan nilainya berulang-ulang dijumpai dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda.


Sehingga kriteria awal waktu Shubuh di Indonesia tetap dapat merujuk ke kriteria yang dipedomani Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama RI. Dengan demikian Umat Islam di Indonesia dapat tetap menjalankan ibadah Shubuh dan puasanya dengan lebih tenang dan nyaman. Warga Nahdlatul Ulama juga tetap dapat menggunakan jadwal shalat dan jadwal imsakiyah Ramadhan yang disusun oleh Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama. Karena menggunakan kriteria awal waktu Shubuh yang sama.


Mengutip pernyataan Hendro Setyanto, M.Si. Astronom & Wakil Ketua Lembaga Falakiyah PBNU) menyebutkan: “Mengamati fajar shadiq tanpa mengelaborasi seluas mungkin ibarat orang buta menganalisa gajah. Hendaknya kita perlu menganalisa dengan seksama dari semua aspek yang terkait dengan kemunculan fajar shadiq. Tak terkecuali fajar kadzib. Hadist Nabi SAW secara tidak langsung mengindikasikan perlunya mengenali kemunculan fajar kadzib.”. Wallahua’lam.


Penulis adalah Wakil Ketua Lembaga Falakiyah PBNU