Opini

Terorisme dan Kontekstualisasi Makna Jihad

Sen, 14 Mei 2018 | 02:45 WIB

Oleh Fathoni Ahmad

Salah satu kata sakral dan banyak digunakan dalam Al-Qur’an adalah kata jihad. Namun, anehnya kata jihad sering disalahartikan dan identik dengan perang atau kekerasan. Beberapa tahun terakhir ini, terutama sejak reformasi, beberapa kekerasan atas nama agama  terjadi dimana-mana di berbagai daerah di Indonesia. Kekerasan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang terlatih atas nama jihad dengan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah.

Jihad dalam arti perjuangan fisik, perang, pertempuran di Indonesia tidak berlaku lagi. Karena penjajah sudah tidak ada. Sedangakan menjajah itu dilarang oleh Islam dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu UUD 1945 dan Pancasila. Akan tetapi, masyarakat wajib waspada atas serangan asing, dan juga pemberontakan-pemberontakan.

Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Tafsir al-Misbah menjelaskan, pada hakikatnya perintah untuk berperang sebagai salah satu makna jihad di dalam ayat Al-Qur’an, tidaklah dibutuhkan oleh Allah dan tidak juga oleh Rasul-Nya Muhammad SAW. Karena sesungguhnya Allah telah membela dan mendukung umat Islam ketika ia sendiri atau pun berdua.

Namun, jika manusia mengetahui betapa banyak sisi kebajikan yang disiapkan oleh Allah bagi mereka yang berjihad dan taat kepada Allah, tentu umat Islam akan melaksanakan perintah tersebut. Hal ini jika ditinjau dari berbagai aspek duniawi dan ukhrawi sebagaimana dipahami dari bentuk nakirah atau indifinitif kata khoir atau kebajikan.

Makna sebenar-benarnya jihad (haqqa jihadih) pada penjelasan di atas adalah bukan sekadar jihad. Seperti halnya ia diperintahkan untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa (haqqa tuqatih). Meski demikian, tidak berarti setiap Muslim wajib dengan pengertian fardhu‘ain untuk berperang di setiap saat.

Pengertian haqqa jihadih sangat luas, antara lain menurut pakar Tafsir Muqatil, beramal dan beribadah dengan sungguh-sungguh semata-mata karena Allah. Menurut Abdullah Ibn al-Mubarak, berjihad melawan hawa nafsu. Jihad berarti sebuah upaya sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang Muslim dalam melawan kejahatan dan kebatilan. Mulai dari yang terdapat dalam jiwa akibat bisikan dan godaan setan, sampai pada upaya memberantas kejahatan dan kemungkaran dalam masyarakat.

Upaya tersebut dapat dilakukan, antara lain, pertama, melalui kerja hati berupa kebulatan tekad dan niat untuk berdakwah. Kedua, kerja lisan berupa argumentasi dan penjelasan tentang hakikat kebenaran ajaran Islam. Ketiga, kerja akal berupa perencanaan yang matang, dan kerja badan yang berupa perang atau lainnya.

Arena jihad sendiri dalam Al-Qur’an sungguh luas. Pertama, bil maal dengan harta kekayaan yakni zakat, infak, sedekah, wakaf, maupun berbagai pengeluaran di jalan Allah. Jihad harta termasuk dengan memberikan nafkah bagi keluarga, menolong saat bencana, jihad menuntut ilmu, dan lain-lain.

Kedua, bi anfasikum yakni dengan kekuatan pada diri seperti jihad lisan (memberikan nasihat atau petunjuk), mengajar, membuat tulisan bermanfaat, dan memberikan contoh yang baik. 

Paling sulit berjihad dengan memberikan contoh baik kepada lingkungan karena kebesaran Islam kerap ditutupi kaum Muslim sendiri. Ada perkataan terkenal dari Muhammad Abduh yang menyatakan, al-Islaam mahjuubun bil muslimiin (kebesaran Islam tertutup perilaku kaum Muslimin).

Fariz Alniezar dalam bukunya Jangan Membonsai Ajaran Islam (2017) menerangkan, jika ditelaah lebih jauh, kata jihad merupakan satu rumpun (derivasi) dari kata jahada yang berarti berusaha (fisik). Dekat juga artinya dengan kata ijtihad, segala upaya yang lebih mengandalkan kerja otak dan intelegensia serta mujahadah, yakni usaha yang lebih menekankan pada dimansi intuitif (bathiniyah). Artinya, di titik ini bisa ditarik benang merah bahwa ideal seorang Muslim (bahkan mansuai secara umum) yaitu orang yang mendayagunakan keseluruhan dimensi-dimensi spiritual tersebut.

Pendayagunaan dimensi-dimensi tersebut secara anakronis (separuh-separuh, setengah-setengah, sepenggal-sepenggal), berdampak pada pemahaman Islam yang juga setengah-setengah. Perilaku ini tentu akan berdampak pada tereduksinya kebijaksanaan (wisdom) dalam menyikapi perbedaan keyakinan sehingga seorang tersebut menjelma menjadi manusia yang anti-budaya, anti-tradisi bahkan sampai pada titik anti-perbedaan. 

Dalam hal ini, muncul diktum, birds born in a cage think flying is an illness (burung yang lahir di sangkar akan berpikir bahwa terbang adalah sebuah kejahatan). Untuk itulah keterbukaan akses pemikiran dalam beragama tidak hanya teks, tetapi juga konteks yang melingkupi sehingga beragama tidak melulu simbol namun bagaimana melihat substansi nilai.

Mengutip Bernard Lewis, Most Muslims are not fundamentalist, and most fundamentalist are not terrorist, but most present-day terrorist are muslims and proudly identify themselves as such. Lewis ingin menunjukkan fakta bahwa sebagian besar Muslim bukanlah fundamentalis dan teroris. Artinya, berislam tidak harus dengan cara melukai apalagi membunuh manusia lain. Bahkan sangat tidak manusiawi membawa panji-panji Islam sebagai legitimasi kekejian dan kebengisan.

Dari Bernard Lewis itu juga sesungguhnya menjadi pukulan telak bagi umat Muslim karena kenyataannya tindakan teroris banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya beragama Islam, tetapi tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam berislam yang merupakan bagian integral dalam beragama.

Narasi besar yang tersirat dalam kutipan tersebut adalah fundamentalisme sebagai akar dari tindakan terorisme, tetapi fundamentalis sendiri belum tentu teroris. Artinya, akar dari segala akar terorisme adalah paham fundamentalisme yang menumbuhkan radikalisme sehingga kristalisasinya adalah terorisme. Wallahu a’lam bisshowab.

Penulis adalah Pengajar Sejarah Peradaban Islam di UNU Indonesia (UNUSIA) Jakarta